Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK sari-sarinya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil menghabiskan akhir pekan di Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan, Jalan Purnawarman, Jakarta Selatan. Apalagi hingga larut malam. Tapi nyatanya di tempat itulah, Sabtu dua pekan lalu, ia berkumpul bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, serta Komisaris Utama Pertamina Sutanto selama enam jam.
Mereka bertemu untuk menyisir satu per satu calon Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina. ”Semua calon yang masuk bursa kami panggil,” kata Sofyan pekan lalu. Mereka diminta datang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas, Direktur Hulu Pertamina Karen Agustiawan, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Pertamina Waluyo, dan Presiden Direktur Rio Tinto Indonesia Omar Sjawaldy Anwar termasuk yang datang dalam ”kontes” itu.
Tapi pejabat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Pertamina membisikkan, proses yang digelar malam itu cuma kemasan. ”Tidak seperti fit and proper test sesungguhnya,” kata sumber tadi. Wawancara yang digelar hari itu cuma ngobrol-ngobrol biasa karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal sudah punya calon. ”Presiden pegang nama Karen,” katanya. Nama itu kabarnya disodorkan Purnomo.
Sofyan mengakui pertemuan malam itu tidak layak disebut uji kelayakan dan kepatutan. ”Kami memang hanya ngomong-ngomong biasa,” katanya. Namun ia memastikan para calon yang dipanggil itu sudah lama dipantau. ”Rekam jejaknya terbukti,” ia menambahkan. ”Tidak mungkin mereka muncul begitu saja.”
Hasil ”omong-omong” itu kemudian dilaporkan Sofyan ke Presiden Yudhoyono, yang juga ketua tim penilai akhir, Rabu malam pekan lalu. Lebih dari satu jam Sofyan berada di ruang kerja Yudhoyono di Istana Negara. Besoknya, Sofyan mewartakan Karen dan Omar didapuk menjadi Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina. Keduanya menggantikan Ari H. Soemarno dan Iin Arifin Takhyan. Mereka dilantik di Kementerian Badan Usaha Milik Negara sore itu juga. Sedangkan Gita Wirjawan, Humayun Boscha, dan Sony Soemarsono menempati kursi komisaris.
TERPENTALNYA Ari Soemarno sesungguhnya cuma menunggu waktu. Ini bermula dari pemasangan iklan Pertamina pada acara televisi swasta yang menayangkan wawancara khusus dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Iklan tentang pencapaian kinerja perusahaan pelat merah itu muncul hampir di setiap jeda. Sumber Tempo di lingkungan Istana mengatakan Presiden kesal soal iklan itu. Ari Soemarno buru-buru meluruskan hal itu melalui Menteri Purnomo Yusgiantoro.
Kejengkelan Yudhoyono memuncak ketika terjadi kelangkaan bahan bakar minyak di pengujung tahun lalu. Isu pergantian makin santer karena Pertamina dinilai gagal mengamankan distribusi saat pemerintah dua kali menurunkan harga bensin pada Desember 2008. Para pengusaha enggan menebus order. Buntutnya, sejumlah pompa bensin kosong melompong.
Gara-gara kejadian itu, Yudhoyono terang-terangan mengungkapkan kejengkelannya kepada publik. Dalam pidato pembukaan Bursa Efek Indonesia, 5 Januari lalu, gong rencana pergantian Direktur Utama Pertamina kian nyaring ditabuh. ”Saya benar-benar tidak happy,” kata dia. Besoknya, kekesalan serupa diungkapkan Presiden di Istana Negara saat menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran.
Sejak itu, Ari tidak diberi akses bertemu dengan Yudhoyono. Permohonannya menemui Presiden untuk menjelaskan soal kelangkaan bensin tidak direspons. Ari dan Achmad Faisal, Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina, akhirnya diterima Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kegerahan Yudhoyono menjadi-jadi ketika depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, terbakar 18 Januari lalu. Tidak hanya mengganggu suplai, kejadian ini membuat Pertamina tekor Rp 22 miliar. Yudhoyono mengungkapkan kekesalannya kepada media sebelum melakukan kunjungan kerja ke Batam sehari setelah insiden itu.
Padahal, kata sumber Tempo, Ari siap mundur dari kursi panas Pertamina bila Presiden sudah tidak menghendakinya. ”Dengan catatan ia diberi tahu langsung dan tidak ada publikasi ke media,” kata sumber tadi. Syarat ini pernah diajukannya saat ia menggantikan Widya Purnama tiga tahun lalu.
Saat ditemui Tempo akhir bulan lalu, Ari menyerahkan sepenuhnya ihwal pergantian dirinya kepada pemegang saham. Ia mengakui pernah terjadi kelangkaan bensin. Tapi ia berharap kinerja pertamina dinilai secara utuh. ”Saya berharap masyarakat bisa proporsional,” katanya.
Masalahnya, bukan hanya presiden yang mangkel terhadap Ari. Seorang pejabat di pemerintahan mengatakan Purnomo Yusgiantoro termasuk yang kecewa kepada Ari. Di mata Purnomo, Ari sudah tidak bisa diatur dalam setahun terakhir. ”Mereka pecah kongsi,” seorang importir minyak menambahkan. Dulu Purnomo jugalah yang mengajukan nama Ari. Ihwal kedekatan khusus ini pernah ditepis keduanya.
Purnomo sendiri berusaha memupus kabar tak sedap itu. Dalam diskusi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar, di Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat, Selasa pekan lalu, Purnomo memuji Ari sambil sesekali menepuk paha bos Pertamina itu, yang duduk di sebelah kirinya. ”Selama kepemimpinan Pak Ari, laba Pertamina tahun lalu mencapai Rp 30 triliun,” kata Purnomo. Drama itu berlangsung dua menit. Tapi Ari tidak menanggapi sanjungan itu. Bahkan posisi duduknya lebih sering memunggungi Purnomo.
RENCANA pergantian direksi Pertamina itu digagas satu hari sebelum insiden Plumpang. Di kediamannya di Puri Cikeas, Presiden Yudhoyono memanggil Sri Mulyani, Sofyan Djalil, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Sutanto. Hatta dan Sofyan Djalil mengakui adanya pertemuan ini. Namun keduanya membantah kabar bahwa materinya soal pergantian Ari.
Tapi sumber di Istana mengatakan, dari pertemuan inilah justru muncul sejumlah nama. Sri Mulyani dan Sofyan dalam rapat itu mengusulkan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Kuntoro Mangkusubroto dan Erry Riyana. Sutanto mengusulkan orang dalam Pertamina, yakni bekas Direktur Umum dan Sumber Daya Mineral Sony Soemarsono, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Achmad Faisal, dan Komisaris Pertamina Maizar Rahman.
Sofyan dan Sri Mulyani, kata sumber tadi, menyiapkan nama Kuntoro dan Erry sejak jauh hari. Nama Endriartono Sutarto, bekas Komisaris Utama Pertamina, juga sempat muncul ke permukaan. Dari tiga nama itu, Kuntoro, yang akhir bulan ini habis masa jabatannya di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, mendapat prioritas. Namun, ketika nama Kuntoro disampaikan di Cikeas, ada sinyal Yudhoyono tidak begitu happy. Melihat gelagat itu, nama Erry diajukan. ”Tapi SBY juga tidak berkomentar.”
Yudhoyono meminta nama-nama itu diuji, selain Kuntoro. Namun Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Sofyan menunda tahap ini. Kalla merasa alasan untuk mencopot Ari tidak cukup kuat. Ia menyampaikan hal itu kepada Presiden sampai tiga kali. Namun Yudhoyono minta uji kelayakan dan kepatutan tetap digelar. Saat itulah nama baru bermunculan.
Presiden, misalnya, sempat mengusulkan Gita Wirjawan, bekas Senior Country Officer JP Morgan Indonesia. Namun, kata Sofyan, Gita menolak tawaran itu. Ia lagi senang mengurus Ancora Capital Management, perusahaan pengelola dana yang dia dirikan setelah hengkang dari JP Morgan tujuh bulan lalu. Ia akhirnya setuju saat disodori posisi komisaris. ”Posisi ini lebih fleksibel,” ujarnya.
Beberapa sumber di pemerintahan mengatakan Purnomo lalu mengusulkan nama Karen. Menurut Purnomo, seperti dikutip seorang sumber, Karen adalah sosok perempuan sukses, pintar, dan mengerti soal minyak. Yudhoyono tertarik. Dia lalu meminta Karen diikutsertakan dalam uji kelayakan dan kepatutan. ”Itu sebetulnya sinyal bahwa peluang kontestan lain sudah tamat,” kata sumber di pemerintahan. Sofyan dan Sri Mulyani kabarnya kecewa Kuntoro dan Erry tidak direken Presiden.
Sri Mulyani enggan mengomentari hal itu. Sofyan juga menepis kabar tersebut. ”Semua yang kami lakukan untuk mencari orang yang paling tepat buat Pertamina,” katanya. Termasuk saat memunculkan wacana nama Kuntoro dan Erry. Adapun Karen—beserta Achmad Faisal dan Waluyo—adalah figur dari dalam Pertamina yang sudah lama dipantau pemerintah. ”Wajar kalau Pak Purnomo ikut mengusulkan,” kata Sofyan. Sedangkan nama Faisal timbul-tenggelam karena ia dianggap bertanggung jawab atas kelangkaan bensin dan petaka di Plumpang.
Selain tiga orang itu, nama Omar sudah lama masuk daftar. Menurut Sofyan, bekas Direktur Consumer Finance Bank Mandiri itu bahkan pernah beberapa kali ditawari posisi di perusahaan pelat merah lain. Tapi ia menolak. Dan Sabtu dua pekan lalu itu Omar sudah diputuskan menjadi wakil direktur utama mendampingi Karen.
Namun, entah kebetulan atau tidak, ”kontes” untuk menyeleksi nakhoda Pertamina itu diadakan saat Kalla pergi melawat ke Amerika Serikat. Tidak dilibatkannya Kalla, sebagai wakil ketua tim penilai akhir, dibantah Sofyan. ”Saya sudah berkonsultasi ke Pak Kalla lewat telepon dua kali,” katanya. Dua nama yang terpilih itu juga sudah disampaikan ke Kalla. Sofyan mengaku ia hati-hati membuka proses pergantian direksi ini ke publik karena muatan politisnya besar.
Karen sendiri sejak awal sudah memberi pagar. Melalui Purnomo, ia pernah mengajukan syarat kepada Presiden agar diberi kewenangan penuh bila menjadi direktur utama. Perempuan yang pernah meniti karier di Mobil Oil dan Halliburton itu tidak mau diintervensi oleh siapa pun. ”Saya tidak akan melayani segala bentuk intervensi yang bisa merugikan negara dan perusahaan,” katanya. Hal itu dikemukakannya lagi seusai pelantikan.
Purnomo menegaskan bekas anggota staf ahli Direktur Utama Pertamina itu terpilih karena kemampuan teknis yang dimilikinya. ”Saya tidak melihat dari sisi politis, tapi terpilihnya Karen sepenuhnya untuk kebutuhan Pertamina,” katanya. Karen, di mata Purnomo, sosok yang mengerti industri hulu. Bisnis hulu Pertamina memberikan kontribusi hingga 70 persen. Hatta menambahkan, terpilihnya Karen bukan hasil lobi atau titipan pihak tertentu. Katanya, pemerintah tidak menganut drop-dropan dan Presiden meminta sistem harus berjalan.
Yandhrie Arvian, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo