Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesawat bernomor registrasi PK MZG parkir di depan hanggar Bandar Udara Internasional Xi’an Xianyang, Provinsi Xian, Cina. Warna putih mendominasi burung besi berbaling-baling ganda ini. Tiga garis sejajar kuning menghiasi ekor pesawat yang bercat biru muda. Di bagian tengah pesawat tampak tulisan ”Merpati”.
Menurut sumber Tempo di lingkungan pemerintah, pesawat itu satu dari 13 pesawat tipe MA-60 buatan Xian Aircraft Industry Co. Ltd. pesanan PT Merpati Nusantara Airlines. ”Pesawat-pesawat itu sudah siap dikirim,” katanya di Jakarta pekan lalu. Pesawat berkapasitas 60 penumpang ini, kata dia, sudah ngendon di Xian sejak Agustus 2008. Tapi, hingga kini, 13 MA-60 belum dikirim ke Indonesia lantaran Merpati menunda pembeliannya.
Xian pun meradang dan meminta Merpati membayar ganti rugi atas biaya penyimpanan, pemeliharaan, dan vendor sejak Agustus tahun lalu sampai Februari 2009. Xian mengklaim, sejak Agustus 2008 sampai 21 Januari 2009 (155 hari), telah mengeluarkan biaya US$ 88 juta atau hampir Rp 1 triliun, naik dibanding periode Agustus-November 2008 sebesar US$ 58,6 juta. ”Kami akan melakukan tindakan hukum jika Merpati menolak mematuhi kontrak,” kata Jack Liu, penasihat hukum Xian, kepada Tempo lewat surat elektronik.
Pengadaan MA-60 bermula dari keinginan Merpati memiliki pesawat komuter propeler berkapasitas 50 penumpang yang bisa menjangkau 200 kabupaten, terutama di Indonesia timur. Pesawat ini untuk menggantikan armada lama Merpati, seperti Fokker-27 dan CN-235, yang sudah tua.
Sumber Tempo yang terlibat dalam proses pencarian pesawat ini mengisahkan, manajemen Merpati telah menemui pabrikan pesawat top, seperti Bombardier Prancis (produsen pesawat Q-400), Avions de Transport Regional (ATR, produsen pesawat patungan Italia dan Prancis), serta Embraer (produsen pesawat Brasilia).
Tapi pendanaan selalu menghambat upaya ini. ”Mereka tidak bersedia memberi 100 persen pembiayaan,” ujarnya. Bank Exim dan pemerintah produsen-produsen pesawat tersebut memasang bunga komersial. Itu pun mesti dijamin pemerintah Indonesia.
Awal 2005, kata dia, Xian menawarkan MA-60. Semula manajemen Merpati menolak karena sindrom ”buatan Cina”. Tapi Xian menjelaskan semua komponen utama MA-60 sudah menggunakan teknologi Barat, sama persis dengan yang dipakai ATR atau Bombardier. Mesinnya juga dari Pratt Whitney Amerika Serikat, kokpit dari Collins, dan propeler dari Sustrand. Desain Cina hanya modifikasi bingkai udara, yang aslinya dari Antonov Rusia. Kebetulan, Bank Exim Cina mau memberikan pembiayaan ringan dan murah. Alhasil, manajemen Merpati kepincut.
Singkat cerita, manajemen Merpati, yang saat itu dipimpin Direktur Utama Hotasi Nababan, menandatangani kontrak jual-beli pesawat dengan Xian. Merpati setuju membeli 15 MA-60 senilai US$ 232,4 juta atau sekitar Rp 2 triliun pada 7 Juni 2006. Sebagai bagian dari transaksi, Merpati terlebih dulu menyewa dua MA-60 selama 24 bulan sejak 30 Januari 2007, dengan harga sewa US$ 70 ribu per bulan per unit.
Pemerintah Cina dan Indonesia pun oke atas transaksi jual-beli MA-60. Bentuknya dituangkan dalam sebuah perjanjian pinjaman (government concession loan agreement) antara Bank Exim Cina (The Export-Import Bank of China) dan Departemen Keuangan pada 5 Agustus 2008.
Sesuai dengan perjanjian ini, Bank Exim Cina akan memberikan fasilitas pembiayaan (financing) senilai maksimal 1,8 miliar yuan. Masa pinjamannya maksimal 15 tahun, dengan bunga 2,5 persen per tahun. Lantaran pinjaman Bank Exim Cina diberikan kepada pemerintah Indonesia, Merpati harus menandatangani perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) dengan Departemen Keuangan agar bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan pembelian pesawat itu.
Nah, masalah mulai muncul di sini. Xian menganggap transaksi pembelian MA-60 sudah efektif setelah Bank Exim Cina dan Departemen Keuangan menandatangani perjanjian pinjaman. Xian mendesak Merpati segera menerima 13 unit MA-60. Merpati menolak karena belum menandatangani perjanjian penerusan pinjaman dengan Departemen Keuangan. ”Bagi kami, transaksi belum efektif,” kata Ketua Tim Restrukturisasi Merpati Sahala Lumban Gaol.
Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu pun mulai turun tangan. Kedutaan Besar Cina di Jakarta pada 3 September 2008 meminta perjanjian penerusan pinjaman segera diteken. Bank Exim Cina pada 12 September 2008 juga meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla mendorong hal itu. Tertundanya pengiriman MA-60 ke Merpati sempat mampir juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber Tempo di pemerintahan menceritakan, dalam jamuan makan malam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Europe Meeting, 22-26 Oktober 2008, di Beijing, Cina, petinggi Bank Exim Cina bertanya kepada Presiden Yudhoyono soal terkatung-katungnya pembelian MA-60 itu. ”Presiden kaget. Presiden pun meminta Menteri BUMN Sofyan Djalil menyelesaikan masalah itu,” ujarnya kepada Yandhrie Arvian dari Tempo.
Belum ditekennya perjanjian penerusan itu tak lepas dari keberatan direksi dan komisaris Merpati sekarang atas kondisi dan harga MA-60. Sumber Tempo di Merpati mengungkapkan, harga satu unit MA-60 sebesar US$ 15 juta terlalu mahal, lebih tinggi US$ 3-4 juta dibanding pembelian oleh Zimbabwe. Harga itu juga tak sesuai dengan kondisi pesawatnya. ”Itu bukan pesawat baru,” ujarnya. Berdasarkan perhitungan kasar, pembelian pesawat ini akan merugikan Merpati sekitar US$ 60 juta (lebih-kurang Rp 600 miliar).
Sumber di maskapai pelat merah ini mencium ada yang tak beres soal harga. ”Ada hantu belau yang memasukkan simulator dan suku cadang ke dalam harga jual,” katanya. Semua inilah, kata dia, yang membuat Komisaris Utama Merpati Said Didu tak mau memberikan persetujuan kepada direksi Merpati untuk meneken perjanjian penerusan. Said Didu, yang dimintai konfirmasi oleh Tempo, enggan berkomentar. ”Tanya saja Tim Restrukturisasi dan pemerintah,” katanya.
Tapi Sahala juga berkelit. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga hanya mesem saat ditanyai soal Merpati. Penjelasan lebih gamblang datang dari Direktur Pengelolaan Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan Soritaon Siregar. Dia mengatakan Departemen Keuangan tak mungkin memaksa Merpati meneken perjanjian itu. ”Bolanya di Merpati,” ujarnya.
Mengenai harga jual yang dinilai kemahalan, sumber Tempo yang terlibat dalam proses pencarian pesawat tadi membantahnya. Harga MA-60, kata dia, jauh lebih rendah daripada ATR-72 (US$ 19 juta) atau Q-400 (US$ 21 juta). Mantan Direktur Utama Merpati Hotasi juga hakulyakin tak ada permainan dalam pembelian pesawat itu. ”Semuanya sesuai prosedur.”
Terlepas dari soal harga, kata Sofyan, pemerintah Indonesia dan Merpati berkomitmen melanjutkan transaksi. Tapi Merpati meminta ada negosiasi ulang soal harga, jumlah, dan jaminan kualitas. Harga lama terlalu berat untuk Merpati, yang hampir bangkrut dan sedang masuk penyehatan. ”Produk Xian itu juga bukan barang baru,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta pekan lalu.
Kondisi Merpati memang masih terseok-seok. Asetnya hanya Rp 952 miliar, lebih rendah daripada utangnya, yang mencapai Rp 2,3 triliun. Tak mengherankan bila Jusuf Kalla sempat mengusulkan skema pembelian diubah menjadi sewa beli (leasing). Sumber di Merpati tadi membenarkan soal usul leasing itu. Tapi, setelah kemampuannya dipertimbangkan, katanya, Merpati masih bisa membeli pesawat MA-60. ”Tapi hanya delapan unit dengan harga yang wajar.”
Kini bola panas ada pada tim negosiasi yang dipimpin Sahala. Menurut sumber Tempo di pemerintahan tadi, Merpati tak bisa membatalkan kontrak pembelian pesawat Xian karena akan digugat di pengadilan internasional. Kredibilitas Indonesia pun bisa tercoreng karena tak bisa mematuhi kontrak. Terlebih lagi, katanya, posisi Indonesia sangat lemah dalam transaksi ini. Alhasil, negosiasi ulang memang menjadi pilihan terbaik.
Padjar Iswara, Amandra Megarani, Wahyudin Fahmi, Vennie Melyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo