Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pertaruhan <font color=#CC3300>Penguasa Hulu</font>

Pencopotan Ari Soemarno menambah panjang masalah Pertamina. Berharap pada direksi baru.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil terkesima. Baru kali ini ia melihat pelantikan direktur perusahaan negara mendapat sorotan begitu luas. "Ini menjadi beban yang luar biasa bagi Bapak-Ibu," kata Sofyan ketika melantik direksi baru Pertamina, Kamis pekan lalu. Direktur Hulu Karen Agustiawan dikukuhkan sebagai direktur utama, sementara mantan Presiden Direktur Rio Tinto Indonesia Omar S. Anwar menduduki kursi nomor dua Pertamina.

Menurut Sofyan, ini adalah pergantian biasa di tubuh perusahaan negara dan itu dilakukan sesuai dengan prosedur, seperti melalui uji kemampuan dan kelayakan. Salah satu tujuannya adalah peremajaan. Namun banyak yang menilai alasan tersebut isapan jempol belaka. Apa latar belakang pergantian yang sesungguhnya tetap tak gamblang. Ari Soemarno sendiri mengaku tidak tahu penyebab pastinya.

Seorang sumber di Pertamina mengatakan langkah pemerintah malah menimbulkan masalah baru. Dasar-dasar perubahan yang dikembangkan direksi terdahulu bisa melambat. Hal itu juga menunjukkan tidak adanya strategi pemerintah yang jelas di industri minyak dan gas. "Ini kan main-main terus. Baru setahun, dua tahun, diganti," katanya. Maka slogan pemerintah untuk membesarkan Pertamina tak lebih dari permainan kata.

Bongkar-pasang orang nomor satu di perusahaan minyak dan gas negara itu memang bukan cerita baru. Pergantiannya pun selalu menyisakan tanda tanya. Lihat saja ketika Menteri BUMN Laksamana Sukardi pada 10 Agustus 2004 mengangkat Widya Purnama. Salah satu alasan menteri di era Megawati Soekarnoputri itu adalah direksi yang dikomandani Ariffi Nawawi tidak kompak, antara lain dalam penjualan tanker Pertamina.

Pelantikannya juga menimbulkan tanda tanya besar. Penyematan posisi direktur utama kepada Widya, yang sebelumnya Direktur Utama PT Indosat, hanya dilakukan oleh Deputi Menteri BUMN Roes Aryawijaya. Sedangkan yang diberi amanah datang ke pelantikan juga hanya bermodal pesan pendek dari Laksamana.

Tak sampai dua tahun, Widya mengalami hal serupa. Perseteruan dengan Menteri BUMN Sugiharto membuatnya terdepak. Pada awal 2006, media banyak mencatat kegeraman Sugiharto atas tindak-tanduk Pertamina. Menurut dia, direksi telah gagal menjalankan roda perusahaan. Bahkan mantan petinggi Medco Energi itu sempat mengirim lembar teguran. Klimaksnya pada Maret tahun itu, ketika Sugiharto menandatangani surat keputusan pemberhentian Widya.

Melihat sejarah tersebut, Ari tahu persis bahwa posisi yang ditempatinya sejak tiga tahun lalu itu sama rentannya seperti masa-masa sebelumnya. Lulusan Aachen University, Jerman, itu sudah membayangkan kemungkinan sejarah bakal berulang. "Semua orang tahu kursi Pertamina panas," kata Ari. Baginya, yang penting masyarakat mengetahui duduk perkaranya secara profesional.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, M. Ikhsan Modjo, mengatakan problem Pertamina tidak cukup dibereskan dengan geser-menggeser posisi. Apalagi bila keputusan itu lebih karena faktor politik, bukan berdasarkan pertimbangan ekonomi. Padahal pekerjaan rumah yang dihadapi Pertamina tidaklah ringan.

Menurut Ikhsan, urusan utama Pertamina adalah sektor hulu dan hilir. Dia mencontohkan, problem kronis menyusutnya produksi mesti dihentikan. Maka Pertamina jangan pelit mengeluarkan investasi besar untuk mencari sumber baru agar bisa mencapai produksi 200 ribu barel per hari. "Bila sukses, impor minyak bisa dikurangi," kata Ikhsan. Langkah cekatan pun harus dilaksanakan dalam memperbaiki distribusi bahan bakar minyak dan gas. Sebab, di sektor hilir, faktor politisnya begitu besar.

Pengamat perminyakan Kurtubi sepakat perubahan direksi bukanlah jalan tepat menyelesaikan masalah. Menurut dia, regulasi adalah pangkal perkara kerdilnya Pertamina dibanding perusahaan energi negara lain, seperti Petronas Malaysia atau StatOil Norwegia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengebiri Pertamina.

Dia mencontohkan klausul pencabutan kuasa pertambangan dari Pertamina. Akibat pasal tadi, perusahaan pelat merah itu hampir tak pernah mengelola ladang besar secara mandiri. Keharusan menjual minyak dan gas bagian negara lewat pihak lain, kata doktor lulusan Colorado School of Mines, Denver, Amerika itu, tak kalah menyakitkan dan menekan kekayaan perusahaan. "Masak, minyak negara harus dijual melalui calo?" kata Kurtubi. "Mestinya kan melalui Pertamina."

Walau persoalan di hilir juga menumpuk, kata Kurtubi, pembenahannya lebih gampang. Hanya, di lini itu lebih pekat nuansa sosial dan politiknya. Ini berkaitan dengan pemenuhan bahan bakar minyak dan gas. Untuk itu, yang diperlukan adalah membangun infrastruktur distribusi. Bila regulasi dan distribusi ini tidak segera dibereskan, wajah Pertamina tak akan berubah. "Siapa pun yang menjadi direktur utama, mustahil membawa Pertamina menyamai Petronas," katanya.

Berbagai tudingan itu ditangkis Sofyan. Menurut dia, estafet kepemimpinan semata untuk kemajuan perusahaan. Duet Karen-Omar akan menciptakan pasangan mumpuni. Rekam jejak Karen, yang lama berkecimpung di sektor hulu ketika di Mobil Oil dan di perusahaan jasa perminyakan Halliburton Indonesia, mewakili kemampuan teknis. Sedangkan Omar, yang malang-melintang di dunia perbankan dan pertambangan, dianggap memiliki insting bisnis yang kuat.

Soal ganti-mengganti, Sofyan hanya berujar, pemerintah menganggap memang sudah saatnya. Sampai kapan pasangan ini akan terus bergandengan, jelas ia belum bisa menjawab. Namun mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini berharap hal itu berlangsung lama, mengingat usia keduanya tergolong muda, baru menginjak setengah abad. "Mudah-mudahan bertahan satu periode, bahkan seperti Petronas," kata Sofyan kepada Yandhrie Arvian dari Tempo. "Dengan itu diharapkan ada kesinambungan usaha."

Karen menjawab harapan itu dengan meyakinkan bahwa dia akan membawa Pertamina menjadi perusahaan besar. Ia sudah membuat enam agenda, antara lain akan meneruskan rencana jangka panjang yang dibuat mantan bosnya. Tahun ini, ia menargetkan produksi minyak mencapai 171 ribu barel per hari, lebih besar daripada tahun lalu, yang rata-rata 150 ribu barel. "Yang paling diprioritaskan adalah security of supply," kata Karen. Mungkin ia ingin membuktikan, sebagai orang hulu, juga dapat menangani distribusi bahan bakar.

Sumber Tempo mengatakan Karen bisa diharapkan membawa Pertamina berkelas dunia bila berpegang teguh pada Pertamina Charter. Namun itu butuh keteguhan prinsip untuk tidak diintervensi, termasuk dari pemerintah. Sebab, langkah yang didasari prinsip-prinsip good corporate governance itu sering membuat banyak pihak kecewa.

Dia mencontohkan, dengan prinsip ini, orang yang biasa bermain-main dengan kadar air di kapal tanker saat pengiriman bisa diketahui boroknya. Dengan perhitungan yang lebih akurat dan pengawasan ketat, kadar toleransi nonminyak dapat ditekan sedrastis mungkin. "Nilai penghematannya jutaan dolar," katanya.

Lainnya adalah penerapan kompu-terisasi dalam administrasi pemesanan dan pengiriman. Termasuk kesatuan belanja bagian pengolahan dan pemasaran oleh satu unit. Dampaknya, sumber daya makin dihemat. "Memang banyak yang menjadi sakit hati," katanya. Kini di pundak perempuan kelahiran Bandung 50 tahun lalu itu harapan dipikulkan.

Muchamad Nafi

Kinerja Pertamina 2008

Aset

  • Rp 335,8 triliun

    Pendapatan

  • Rp 444,3 triliun

    Laba

  • Rp 30 triliun

    Berapa Lama Mereka Bertahan

    Sugianto

  • 1996-1998

    Martiono Hadianto

  • 1998-28 Februari 2000

    Baihaki Hakim

  • 28 Februari 2000-18 September 2003

    Ariffi Nawawi

  • 18 September 2003-11 Agustus 2004

    Widya Purnama

  • 11 Agustus 2004-8 Maret 2006

    Ari Soemarno

  • 8 Maret 2006-5 Februari 2009

    Produksi

    Minyak mentah:

  • 54,9 juta barel

    Gas:

  • 447 miliar setara kaki3

    Afiliasi

    Anak usaha: 17 unit

    Usaha patungan: 13 unit

    Sumber Daya Pemasaran

    Depo: 112

    SPBU: 4.152

    Tanker: 151

    Instalasi pelabuhan: 97

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus