Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Industri Musik </B></font><BR />Kiamat Kecil Industri Rekaman

Toko kaset dan cakram digital terpukul iPod, Internet, dan pembajakan. Bagaimana kiat mereka agar tetap bertahan?

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKO Aquarius di Jalan Sultan Iskandar Muda, Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan, mendadak ramai, Jumat pagi pertengahan Agustus lalu. Puluhan mobil dan motor antre mencari tempat parkir. Pemilik kendaraan yang beruntung bisa menaruh mobil atau motornya di tempat parkir gerai kaset dan cakram digital musik itu. Lainnya terpaksa memarkir kendaraan di sepanjang jalan arteri.

Antrean mengular ke depan pintu masuk toko. Puluhan orang berdiri hingga ke halaman depan. Padahal pagi itu toko belum dibuka. Pemilik Aquarius Musikindo, J. Soerjoko, terkejut tatkala pegawainya memberi tahu: sudah banyak orang antre hendak membeli kaset atau CD. ”Mereka kebanyakan dari radio dan majalah, tapi pembeli umum dan penggemar musik juga banyak,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Tepat pukul 10 pagi, toko dibuka. Laksana air bah, puluhan pria dan wanita merangsek ke dalam. Sekejap ruangan di dalam penuh sesak. Pembeli berdesak-desakan karena ruangan toko tak mampu menampung mereka. Inilah hari pertama Aquarius Pondok Indah menggelar penjualan penghabisan alias cuci gudang. Harganya murah banget. Puluhan ribu keping cakram digital atau optik dijual dengan harga diskon hingga 30 persen. Ribuan kaset, video compact disc (VCD), dan digital video disc (DVD) dibanderol hanya Rp 5.000 per keping. Ada kaset yang harganya dibanting, tiga buah hanya Rp 10 ribu.

Pembeli sampai harus antre berjam-jam di depan kasir. ”Lumayan, mumpung diskon gede,” kata Ugi, seorang pembeli. Banting harga ini akan berlangsung hingga akhir September nanti.

Aquarius bukan hendak mencari untung besar lewat penjualan obral gede-gedean. Obral itu justru demi menyelamatkan perusahaan di bawah payung PT Aquarius Musikindo itu. Seusai penjualan besar tersebut, pemilik Aquarius akan menutup toko. Selanjutnya, gedungnya akan disewakan. Hanya studio rekaman di sebelahnya yang akan tetap dipertahankan. ”Nanti toko ini jadi sekolah musik,” kata seorang pegawai Aquarius. Soerjoko—biasa disapa Pak O’ok—terpaksa memilih menutup toko lantaran bisnis label dan rekaman semakin loyo, terutama setelah era booming Internet dan iPod. Lagu dan musik cukup diunduh lewat Internet dan diputar dengan iPod, tak harus menggunakan kaset, cakram digital atau optik lagi.

Sejak musim gugur bagi industri rekaman itu terjadi, tahun lalu Aquarius Musikindo telah menutup dua toko ecerannya di Bandung dan Surabaya. Aquarius Dago, yang buka sejak awal dekade 1990, resmi ditutup pada Desember 2009. Sedangkan Aquarius Surabaya, yang dibuka sejak 2003, telah ditutup pada Februari lalu. Satu-satunya toko retail milik Aquarius Musikindo yang tersisa tinggal Aquarius Mahakam, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, yang telah beroperasi sejak 1989.

Soerjoko mengaku berat hati menutup toko retail musik di Pondok Indah yang dibuka sejak 1995 itu. Toko ini salah satu yang terbesar. Berbagai genre musik ada. Koleksinya pernah mencapai 60 ribu keping sebelum 1998. Tapi pembajakan di Indonesia sangat merajalela. Kaset dan cakram padat bajakan bisa ditemukan dengan mudah di lapak-lapak sampai pusat belanja. Belum lagi banyak situs yang menyediakan lagu dan bisa diunduh secara gratis di dunia maya. ”Tren sekarang sudah berubah ke era digital, sehingga orang sudah malas ke toko untuk membeli compact disc,” ujarnya.

Belum lagi persoalan pasokan koleksi. Perusahaan rekaman lagu Barat mengurangi pasokan per seri. Mereka hanya menyodorkan lagu-lagu hit. Perwakilan perusahaan rekaman internasional di Indonesia ogah mengimpor. Padahal, kata Soerjoko, ”Kalau mau mempertahankan konsep megastore, mesti menyediakan genre musik lain.” Toko pun mesti mengimpor sendiri ke markas perusahaan rekaman. Ini otomatis mengakibatkan harga jadi lebih mahal, karena standar harganya berbeda.

Sebenarnya ada pilihan lain. Soerjoko mengatakan bahwa tokonya bisa saja bermetamorfosis menjadi toko daring (online) semacam amazon.com, yang memasarkan barang melalui media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tapi, tantangannya, bisnis online di sini belum membudaya. Masyarakat belum terbiasa menggunakan sistem pembayaran kartu kredit secara online. ”Biaya distribusi barang untuk luar pulau juga masih mahal.” Alhasil, menutup toko menjadi pilihan utama.

Kiamat kecil di industri rekaman musik tak melulu terjadi di Indonesia. Masalah serupa dihadapi perusahaan rekaman raksasa internasional seperti Bertelsmann Music Group (BMG), Sony, dan Universal. Retail Virgin, juga Tower Record, terlibas dan ambruk. Penikmat musik meninggalkan walkman dan discman untuk beralih ke pemutar MP3, misalnya iPod keluaran Apple, yang diikuti iTunes dan iPhone. Itulah sebabnya konsultan pendidikan Sandra Santosa, misalnya, kini jarang singgah ke gerai penjual kaset. ”Saya suka mengunduh lagu gratis dari situs di Internet, sudah lama tak membeli kaset atau cakram digital,” katanya.

Apalagi teknologi pengunduh lagu semakin canggih. Situs pengunduhan lagu gratis juga menjamur. Salah satu situs Internet penyedia lagu-lagu di antaranya www.bursalagu.com. Jumlah pengunjung situs ini sekitar 50 ribu, dengan page views rata-rata 220 ribu per hari. Tri, pemilik dan pengelola situs pencari lagu ini, menjelaskan bahwa tren menggunakan Internet melalui telepon seluler membuat pengunjung yang mengakses melalui gadget mencapai 30 persen. ”Sejak era MP3, pencarian lagu masuk peringkat tertinggi di mesin pencarian Internet,” katanya kepada Tempo.

Tak aneh bila toko kaset dan cakram digital semakin banyak yang rontok. Di Plaza Senayan, tinggal Duta Suara yang masih bertahan dari tiga gerai penjual cakram digital musik. Joni, karyawan di Duta Suara, mengakui omzet penjualan cenderung turun. ”Lebih dari 10 persen,” katanya. Demi mempertahankan pangsa pasar, Duta Suara memperbanyak koleksi cakram digital rock klasik. ”Koleksi yang lama begini banyak yang nyari, karena bajakan itu biasanya lagu yang sedang populer,” ujarnya.

Disc Tara di Plaza Semanggi juga dirundung lesu, sehingga terpaksa mengurangi luas area tokonya. Penjualan sehari hanya Rp 3-4 juta, padahal tahun lalu masih bisa mencapai dua kali lipatnya. ”Tahun lalu masih bagus, tahun ini turun,” kata Dewi, sang penjaga toko. Beberapa toko mencoba bertahan dengan mengakali kondisi yang lesu melalui pendekatan lebih spesifik kepada konsumen. Misalnya, memperbanyak koleksi film. Disc Tara juga menembus pasar dengan toko musik digital bernama Societie.

Ketika Tempo berkunjung ke Disc Tara, sepuluh pengunjung asyik memilih-milih koleksi cakram digital. Ada satu boks khusus yang menampung film Indonesia. Eko, karyawan di sebuah media, mengaku enggan beralih ke iPod. ”Saya masih suka CD,” ujarnya. Melani Winarti, karyawan perusahaan properti, juga masih memilih cakram digital ketimbang iPod. ”Lebih suka yang orisinal,” katanya. Salah satu toko musik favoritnya Musik Plus di Taman Anggrek. ”Koleksi lagu Asianya lumayan banyak,” ujarnya.

Musik Plus juga masih eksis di beberapa mal, seperti Sarinah, Blok M, Taman Anggrek, dan Kelapa Gading. Musik Klub di Pondok Indah juga membidik segmen khusus melalui koleksinya. ”Koleksi yang ada di Musik Plus dan Musik Klub tidak ada di toko lain,” kata Bambang Sumarley, yang masih setia mengoleksi cakram digital.

Menurut Soerjoko, di Singapura dan Amerika Serikat, toko kaset dan cakram melakukan modifikasi pemasaran, misalnya menjual iPhone, iPod, kamera, dan telepon seluler dalam satu atap. ”Megastore mundur, yang maju toko elektroniknya,” ujarnya. Industri musik, juga gerai kaset dan cakram optik, kata dia, jelas tak akan mampu bertahan jika pemerintah tidak segera membenahi Undang-Undang Hak Cipta dan menangani pembajakan secara fisik atau lewat Internet dengan serius.

Nieke Indrietta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus