Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Gurih Jaringan Pita Lebar

Operator telepon jorjoran berinvestasi di layanan jaringan pita lebar. Berharap menjadi sumber pemasukan baru.

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASNUL Suhaimi sempat merasa dibohongi perusahaan perangkat telekomunikasi. Tiap tahun, dalam pertemuan GSM Communication Association di Barcelona, Spanyol, para vendor itu gembar-gembor bahwa telepon seluler di masa depan tidak sekadar buat menelepon, tapi juga buat mengakses layanan Internet dan transaksi jual-beli online. ”Mereka bilang orang bangun tidur langsung baca koran dan e-mail temannya dari ponsel,” kata Presiden Direktur XL Axiata Tbk. itu, awal September lalu.

Kampanye itu didengungkan sejak general packet radio service (GPRS) diluncurkan sembilan tahun lalu, dan terus berlanjut hingga teknologi high-speed downlink packet access (HSDPA) merambah Indonesia empat tahun lalu. ”Tapi kenyataannya tidak segera terjadi di sini,” ujar Hasnul.

Bagi dia, fenomena yang diprediksi bakal menjamur itu sekadar bualan para vendor. Percakapan suara (voice) dan pesan pendek tetap menjadi tulang punggung bisnis operator telepon. ”GPRS dan yang lainnya cuma dekorasi,” ujarnya. Terbukti, hingga akhir 2008, bisnis layanan Internet via ponsel cuma menyumbang satu persen dari total pendapatan anak usaha Axiata Group Berhad itu. Axiata merupakan perusahaan telekomunikasi asal Malaysia.

Padahal investasi yang dicurahkan tidak sedikit. Masing-masing operator telekomunikasi jorjoran mengembangkan jaringan pita lebar. XL, misalnya, sudah menggelontorkan dana US$ 300 juta (atau sekitar Rp 2,7 triliun dengan kurs Rp 9.000) sejak era 3G diperkenalkan empat tahun lalu. Angka itu, kata Hasnul, belum termasuk investasi untuk menara base transceiver station (BTS).

Peruntungan datang tahun lalu. Pendapatan XL dari bisnis layanan Internet melalui ponsel tiba-tiba melonjak enam kali lipat, atau sekitar 6 persen dari total pendapatan konsolidasi XL. Tahun lalu, pendapatan konsolidasi XL menembus Rp 13,8 triliun. ”Fenomena ini membuat kami kaget campur senang,” kata Hasnul.

Dia sendiri tidak tahu persis penyebab terjadinya lompatan itu. Bisa jadi karena berkah demam jaringan sosial di dunia maya, seperti Facebook dan Twitter. Bisa juga karena pergeseran kebiasaan membaca. ”Generasi sekarang baca koran tinggal buka Internet di layar telepon seluler,” ujar Hasnul.

Yang jelas, tepat di ulang tahun pos dan telekomunikasi ke-65 bulan ini, fenomena tadi mengubah wajah industri telekomunikasi nasional. Para operator telepon kini berlomba-lomba membidik ceruk bisnis layanan pita lebar. ”Strategi operator mulai bergeser karena bisnis percakapan melalui telepon sudah jenuh,” kata Eddy Kurnia, juru bicara PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Dengan total pengguna telepon nasional—baik telepon tidak bergerak (fixed line) maupun seluler—hampir sekitar 180 juta, tren pertumbuhan pelanggan diprediksi tidak setinggi lima tahun terakhir. Adapun layanan Internet melalui ponsel diyakini tumbuh hingga beberapa tahun ke depan.

Itu sebabnya, kata Eddy Kurnia, Telkom berfokus di bisnis pita lebar. Modal yang dianggarkan untuk memperlebar bisnis di sektor ini Rp 1,5-2 triliun per tahun. Ikhtiar itu dicanangkan saat perusahaan pelat merah ini menggelar rapat umum pemegang saham, Juni lalu. ”Meski nilai rupiahnya belum sebesar bisnis percakapan, bisnis layanan Internet akan menjadi pendorong pertumbuhan Telkom,” katanya.

Tahun lalu, pendapatan konsolidasi Grup Telkom dari bisnis pita lebar tumbuh 82,2 persen. Angka ini sungguh kontras dibanding bisnis percakapan Grup Telkom yang cuma tumbuh 9-11 persen. Adapun pertumbuhan layanan percakapan Telkom pada semester satu tahun ini jeblok minus 8 persen. Itu sebabnya, kalaupun melakukan akuisisi, Telkom tidak akan melirik perusahaan yang punya bisnis inti di sektor telekomunikasi. ”Fokus utama kami mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan multimedia,” kata Eddy.

Sampai kapan ceruk bisnis baru ini bisa memberikan napas tambahan buat operator telepon? Hasnul Suhaimi punya hitung-hitungan sendiri. Dari pengalaman di negara-negara maju, pendapatan dari layanan Internet dan data yang tadinya menyumbang 6 persen masih bisa naik menjadi 15-20 persen. ”Bisnis ini bisa mendulang uang dalam jumlah besar,” kata Hasnul. ”Selain pesan pendek, belum pernah ada produk yang bisa menyumbang pendapatan seperti ini sebelumnya.”

Itu sebabnya, Hasnul yakin pasar layanan Internet belum jenuh. ”Jumlah penggunanya mungkin mendekati titik jenuh, tapi tingkat pemakaiannya belum,” katanya. Sebab, rata-rata pemakaian Internet via ponsel di Indonesia masih jauh di bawah, 0,5-2 gigabita per hari. Dia yakin angka penggunaan Internet yang masih rendah itu berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Pelanggan XL yang memanfaatkan layanan Internet melalui ponsel sekitar 15 juta. Angka itu diproyeksikan meningkat hingga 17,5-20 juta pada akhir tahun ini. Targetnya, layanan Internet ini menyumbang pendapatan XL 7 persen. Dengan proyeksi pendapatan Rp 16-17 triliun, Hasnul berharap bisa meraup Rp 1,2 triliun dari layanan Internet.

Target tinggi juga dipatok Telkomsel. Operator seluler terbesar di Indonesia ini menargetkan layanan Internet menyumbang 13-14 persen dari total pendapatan. Tahun lalu layanan ini menyumbang pendapatan 8 persen. Investasi yang sudah dicurahkan Telkomsel buat mendukung layanan ini US$ 400 juta.

Total pelanggan Telkomsel menembus 93 juta. Dari angka itu, 17 juta pelanggan mengakses Internet, dan 70 persen di antara pelanggan yang mengakses Internet itu memakai ponsel pintar. Sisanya mengakses dari komputer. ”Kebanyakan konsumen memakai ponsel pintar untuk akses data karena lebih murah,” kata Herfini Haryono, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel, tiga pekan lalu.

Indosat, Axis, dan 3 juga melirik layanan ini. ”Karena perangkat ponsel yang mengakses Internet diperkirakan akan melebihi komputer,” kata Teguh Prasetya, Group Head VAS Marketing PT Indosat Tbk. Gelagat bisnis ini, kata dia, sudah tercium ketika pelanggan ponsel dari Indonesia yang mengakses Google masuk lima besar dunia.

Meski bisnis percakapan dan pesan pendek jalan di tempat, analis BNI Sekuritas, Akhmad Nurcahyadi, menilai kedua layanan itu tidak akan mati. ”Pertumbuhan pelanggan ataupun permintaan masih ada karena sampai kapan pun orang tetap butuh berkomunikasi,” katanya. Menurut dia, sebesar-besarnya kontribusi pendapatan yang disumbangkan layanan Internet, sampai kapan pun tidak akan menggeser pendapatan yang didapat dari bisnis percakapan dan pesan pendek. Apalagi logikanya, teknologi layanan ini kian hari semakin murah.

Belum lagi terjadi perang tarif. Akibatnya, margin yang diperoleh operator kian tipis. Hal ini diakui Hasnul. ”Kami belum sempat ambil untung karena masuk ke sektor layanan ini saat harga jual ke pelanggan sudah rendah,” katanya. Situasi ini berkebalikan saat operator telekomunikasi mengembangkan bisnis percakapan dan pesan pendek. ”Ketika itu harga yang kita jual ke pelanggan cukup tinggi, sehingga uang yang ditanam cepat balik,” ujarnya.

Maraknya pengguna yang mengakses data via ponsel juga memberikan keunikan tersendiri. Di Amerika dan Eropa, orang lebih dulu mengenal e-mail ketimbang pesan pendek. Mereka memakai Internet dari komputer. Indonesia kebalikannya. ”Di sini orang lebih dulu kenal pesan pendek, baru belakangan melek Internet dan pakai e-mail melalui ponsel,” kata Hasnul. Fenomena ini dibenarkan Herfini. ”Kita ini slow starter,” katanya. ”Tapi kini, dibanding negara lain, pemakaian Internet via ponsel di Indonesia tidak ada duanya.”

Hal ini terjadi karena pengembangan jaringan kabel Internet berkecepatan tinggi di Indonesia tidak maksimal. Akibatnya, di rumah pun orang nonton film dari ponsel. Situasi ini berbeda dibanding Singapura atau Malaysia. Di sana, hampir setiap rumah sudah punya jaringan fiber optik berkecepatan tinggi. Alhasil, penggunaan Internet melalui ponsel hanya untuk keperluan di luar rumah atau di luar kantor. ”Semestinya, dengan jaringan kabel yang kuat, penggunaan Internet lewat ponsel cuma pelengkap,” kata Hasnul.

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus