Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) berniat menggandeng Indonesia. Dalam rangka itu, organisasi yang beranggotakan 30 negara-25 di antaranya ditasbihkan Bank Dunia sebagai negara berpenghasilan tinggi pada 2006-menginginkan Indonesia membuka area mana saja yang bisa dikerjasamakan dengan OECD.
Dari kerja sama ini, Jose ngel Gurra Trevio, 58 tahun, Sekretaris Jenderal OECD, menjanjikan Indonesia bisa memanfaatkan keunggulan komparatif lembaga tersebut. Selama tiga hari pekan lalu, Gurria bertandang ke Jakarta untuk bertemu dengan sejumlah pejabat keuangan di pemerintah dan menjelaskan niat kerja sama yang ingin dibangunnya.
Di antara jadwalnya yang padat, Gurria memberi waktu wawancara khusus dengan Retno Sulistyowati, R.R. Ariyani, Bunga Manggiasih, dan fotografer Mazmur A. Sembiring dari Tempo di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis lalu.
Apa tujuan Anda datang ke Indonesia?
Kami ingin membangun hubungan yang lebih dekat dan terorganisasi dengan tujuan yang lebih jelas dan terencana. Di masa depan, setelah enhanced engagement terwujud, Indonesia mungkin bisa menjadi anggota OECD.
Mengapa memilih Indonesia?
Pertama, karena Indonesia pemimpin regional di kawasan ASEAN. Kedua, negara ini makin besar dan sangat penting dalam perekonomian dunia. Untuk kami, negeri berpenduduk 235 juta seperti Indonesia sangat penting dan menarik.
Anda ingin mendapatkan apa dari Indonesia?
Kami ingin Indonesia mau mengatakan di area mana saja yang bisa dikerjasamakan dengan kami. Kami punya keunggulan komparatif di bidang-bidang tertentu.
Kontribusi apa yang bisa Anda berikan?
Kami membawa pengalaman kolektif dari 30 negara demokrasi anggota kami. Ini informasi yang sangat berharga untuk dibagikan kepada Indonesia. Kami juga bisa belajar dari negeri Anda. Kami tertarik mengkaji reformasi politik ekonomi di Indonesia, mana yang Anda dahulukan, misalnya, mengurus opini publik atau mendekati operator pasar. Intinya, kita bisa saling belajar.
OECD menganut prinsip ekonomi pasar bebas. Tapi banyak orang takut modal asing mengambil alih perekonomian negara....
Apa yang kami inginkan adalah perekonomian yang efisien dan kompetitif, sekaligus memberikan ruang untuk kompetisi. Kompetitif artinya Anda bisa menang atas negara lain dalam menjual sesuatu atau menarik investor. Kompetisi ini akan menguntungkan konsumen Anda sendiri.
Misalnya?
Anda sebagai konsumen bisa memilih beberapa jenis telepon seluler, kan? Bagaimana kalau cuma ada satu pilihan. Dalam hal listrik, Anda cuma punya satu pilihan dan apa yang terjadi, Indonesia punya masalah serius sekarang. Liberalisasi ini bukan agama atau dogma. Ini soal ekonomi yang baik untuk masyarakat. Orang asing datang bukan berarti akan mengambil negara Anda. Kalau Anda punya hukum persaingan, anti-trust, dan regulator yang bagus, seperti yang dikatakan Roosevelt, there is nothing to fear but fear itself. Investasi asing justru akan menutup kekurangan bujet Anda.
Bagaimana peran OECD dalam Putaran Doha mengingat sebagian besar anggota Anda enggan menurunkan subsidi pertanian?
Do it! Itu posisi kami (turunkan subsidi). Prinsip kami adalah liberalisasi. Memang ada fakta buruk, subsidi pangan di negara maju besarnya tiga kali lipat bantuan yang diberikan kepada negara-negara miskin, yang cuma US$ 100 miliar per tahun.
Jadi apa yang akan Anda lakukan kepada anggota?
Tidak ada yang menunggu OECD untuk bilang apa pun. Kami selalu mengingatkan pentingnya liberalisasi. Kami tak akan lelah menyerukan itu berulang-ulang. Mungkin juga sudah ada yang melakukan, tapi orang tidak melakukan sesuatu karena kami suruh. Mereka melakukannya karena mereka yakin bahwa hal itu benar dan berguna untuk kepentingan mereka juga.
Negara-negara OECD juga mengkonsumsi sebagian besar energi dunia. Apakah anggota Anda bisa mengurangi konsumsi supaya harga minyak turun?
Mengurangi penggunaan energi, terutama yang berasal dari fosil, adalah garis pertahanan pertama. Kami sedang melakukannya. Pada 2020, negara-negara Eropa bertekad menurunkan 20 persen dari konsumsi saat ini. Amerika Serikat dan Jepang akan mengurangi separuhnya pada 2050. Amerika percaya solusinya adalah teknologi. Menurut Eropa, pemecahannya adalah memberi harga pada emisi, merancang skema perdagangan karbon, dan mengenakan pajak-pajak tambahan.
Apa penilaian Anda soal subsidi minyak?
Kami salut kepada pemerintah Indonesia yang berani menaikkan harga minyak pada Mei lalu. Kami merekomendasikan agar Indonesia bertindak lebih jauh. Semoga saja pasar juga membantu. Harga minyak sekarang sudah mulai turun. Sayangnya, Indonesia masih menghabiskan terlalu banyak untuk subsidi. Padahal (anggaran subsidi) bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo