Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPARUH beban Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso berkurang. Kewajiban perusahaan pelat merah ini dalam pengadaan beras 3,5 juta ton hampir terpenuhi. Bekas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu memang bisa sedikit tersenyum. Pasalnya, salah satu sumber pengadaan beras dari luar negeri (impor) hampir khatam. Dari target impor beras 1,6 juta ton tahun ini, Bulog sudah memperoleh 1,35 juta ton. "Hingga akhir tahun bakal tercapai," katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Bulog seakan-akan berlomba dengan waktu. Maklum saja, krisis pangan mengintai dunia, termasuk Indonesia. Tahun lalu Indonesia hanya mampu memproduksi 37,3 juta ton, naik tipis 2,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun ini produksi diperkirakan tidak jauh berbeda. Surplus paling banter 4,1 juta ton, jauh dari angka ideal 10 juta ton.
Tak mengherankan, dalam perayaan Hari Pangan Sedunia di Bone Bolango, Gorontalo, Kamis pekan lalu, Wakil Presiden Boediono meminta Indonesia mewaspadai krisis pangan. Cadangan pangan besar, kata Boediono, kunci bagi Indonesia terhindar dari ancaman tersebut.
Masalahnya, tak mudah mendapatkan tambahan beras. Semua negara produsen, seperti Thailand, Vietnam, dan India, mulai mengerem ekspor. Tujuannya sama dengan Indonesia, mempersiapkan diri menghadapi krisis pangan. Tapi Dewi Fortuna masih berpihak kepada Bulog. Vietnam, eksportir beras terbesar kedua di planet ini, mau berbaik hati menjual berasnya.
Bulog dan pemerintah Vietnam meneken kontrak pertama pengadaan beras 500 ribu ton pada Agustus lalu. Sutarto enggan membuka harga pembelian. "Kalau harganya dibuka, pedagang akan menaikkan harga jual. Saya lebih suka silent operation," ujarnya.
Namun sumber Tempo membisikkan, Bulog dan Vietnam menyepakati harga US$ 535 per ton. Bulog menandatangani kontrak kedua sebanyak 700 ribu ton. Kontrak kedua, ujar si sumber, lebih alot. Keduanya bersikeras mempertahankan harga masing-masing. Tapi akhirnya harga disepakati sekitar US$ 600 per ton.
Sisa kontrak terpenuhi dari Chaiyaporn International Co, juragan beras jumbo dari Thailand. Pembelian lebih mulus lantaran kesepakatan bersifat komersial antarperusahaan (business to business), tanpa melibatkan pemerintah, yang biasanya sarat tetek-bengek.
Sukses "operasi bisu" menjadi pelipur lara bagi Bulog. Sebab, pada akhir September lalu, secara sepihak pemerintah baru Thailand pimpinan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra membatalkan impor 300 ribu ton beras kepada Bulog. Padahal penjualan Thailand kepada Indonesia itu sudah disetujui pada masa Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva.
Menteri Perdagangan Thailand Na Ranong Kittirat mengatakan harga dalam perjanjian tak sesuai dengan keinginan pemerintah baru. Kesepakatan Bulog dan Public Warehouse Organization (Bulognya Thailand), kata dia, juga merupakan kebijakan Porntiva Nakasai, menteri perdagangan era kabinet Abhisit. Menurut nota kesepahaman pada Agustus lalu, kerja sama ini efektif bila menteri menandatangani kesepakatan. "Tapi saya tidak menandatangani," kata Na Ranong di Bangkok belum lama ini.
Duta Besar Indonesia di Bangkok, Mohammad Hatta, mengungkapkan, harga pembelian dengan Thailand waktu itu ditetapkan US$ 559 per ton. Namun pemerintah Negeri Gajah Putih mengklaim hanya menerima US$ 490 karena harus dikurangi asuransi dan ongkos pengapalan. Sedangkan beras dengan patahan 15 persen-seperti beras Vietnam-dihargai US$ 600 per ton.
Namun Hatta, yang sejak Juli ikut bernegosiasi bersama Bulog, menengarai ada aroma politik di balik keputusan Yingluck. Perdana Menteri Yingluck-memimpin pemerintahan sejak 5 Agustus lalu-berjanji menyejahterakan petani lewat skema gadai beras.
Dalam skema gadai itu, kata dia, petani dapat meminjam maksimal US$ 800 kepada pemerintah, dengan beras sebagai agunan. Bila utang macet, beras agunan hangus. Hatta menduga Thailand kesulitan memenuhi kontrak lantaran petani akan menyimpan beras sebagai bekal menggadai.
Alasan perjanjian di bawah wewenang pemerintah lama pun terkesan mengada-ada. Hatta menilai sikap Na Ranong menabrak adab perdagangan internasional. "Meski diteken pemerintah lama, pemerintah baru tak boleh menghentikan perjanjian sembarangan," ujarnya pekan lalu.
Indonesia, kata Hatta, sebetulnya menyodorkan opsi baru. Bila stok milik Public Warehouse Organization kosong, Jakarta meminta ada lembaga lain yang siap melanjutkan perjanjian, tapi tetap seizin Perdana Menteri. Na Ranong berjanji meneruskan penawaran kepada Yingluck. "Tapi hingga kini belum ada jawaban," kata Hatta.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, secara resmi belum ada pembatalan kesepakatan dengan Thailand. "Kesepakatan lama dengan Indonesia dianggap terlalu murah. Mereka minta negosiasi ulang," ujarnya.
Pemerintah Thailand terkesan menggantung persoalan ini. "Pembahasan rencana kelanjutan impor terus berlangsung. Menunggu kondisi negara kami pulih (akibat banjir). Tidak tahu kapan keputusannya," kata anggota staf atase perdagangan Kedutaan Besar Thailand di Jakarta, yang enggan dikutip namanya.
Aksi lancung Thailand sudah diperkirakan guru besar Universitas Lampung, Bustanul Arifin. Dalam dunia bisnis, tindakan itu disebut kejutan dagang (trade shock). Apalagi Thailand bernazar memangkas ekspor beras menjadi 8 juta dari 10 juta ton sepanjang tahun ini.
Situasi bertambah ruwet gara-gara pasokan dunia terganggu akibat banjir melanda delta Sungai Mekong, tempat berdiam produsen lain, seperti Vietnam, Burma, dan Cina. "Ini juga dimanfaatkan Thailand untuk mendongkrak harga beras," ujar Bustanul.
Realisasi impor beras Thailand tampaknya semakin jauh panggang dari api. Banjir terburuk selama 50 tahun terakhir menghajar Negeri Gajah Putih. Hujan deras dan banjir sejak Juli itu telah merusak jutaan hektare lahan pertanian. Kantor berita Thai News Agency memperkirakan produksi bakal tergerus 7 juta ton. "Saya pesimistis kesepakatan berlanjut," kata Hatta.
Sutarto menepis kegundahan koleganya. Selain Vietnam, Bulog menjajaki alternatif impor dari India dan Pakistan. Paling tidak kontrak 1,2 juta ton dari Negeri Paman Ho sudah di tangan. Vietnam siap menambah 300 ribu ton lagi hingga akhir tahun. "Mereka sangat berkomitmen."
Bobby Chandra, Stefanus Teguh Pramono
Produksi Beras Indonesia (Juta Ton) | |
2001 | 29,18 |
2002 | 29,43 |
2003 | 29,79 |
2004 | 30,89 |
2005 | 30,90 |
2006 | 30,58 |
2007 | 32,10 |
2008 | 33,87 |
2009 | 36,12 |
2010 | 37,33 |
2011 | 38,45 * |
*Angka ramalan II BPS
Konsumsi Beras Nasional | |
2002 | 115,5 |
2003 | 109,7 |
2004 | 138,81 |
2005 | 139,15 |
2006 | 139,3 |
2007 | 139,3 |
2008 | 139,3 |
2009 | 139,3 |
2010 | 139,3 |
2011 | 113* |
*Data BPS per Januari 2011
Importir Beras Dunia* (Juta Ton) | |
Nigeria | 2,25 |
Filipina | 2,20 |
Iran | 1,50 |
Indonesia | 1,40 |
Irak | 1,20 |
Arab Saudi | 1,15 |
Malaysia | 1,13 |
Pantai Gading | 0,95 |
Bangladesh | 0,80 |
*Perkiraan pada 2011
Produsen Beras Dunia* | |
Cina | 166,42 |
  | 32,7 |
India | 132,01 |
  | 26 |
Indonesia | 52,08 |
  | 10,2 |
Bangladesh | 38,06 |
  | 7,5 |
Vietnam | 34,52 |
  | 6,8 |
Thailand | 27 |
  | 5,3 |
Burma | 24,64 |
  | 4,8 |
Filipina | 14,03 |
  | 2,8 |
Brasil | 10,20 |
  | 2,0 |
Jepang | 9,74 |
  | 1,9 |
Sumber: EVAN/ASTRI/BOBBY/PDAT/FAO/USAD/BPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo