Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ketika Air Laut Tidak Lagi Asin

Sebuah perusahaan di Bali memproduksi air minum yang berasal dari air laut. Jadi alternatif menghadapi krisis air.

24 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GLEk, glek, glek.... Teguk demi teguk air melewati kerongkongan. Dahaga setelah menempuh perjalanan di bawah terik matahari Bali di musim panas langsung sirna. Dari wujudnya, air bening itu tak berbeda dengan air minum kebanyakan. Terbungkus botol plastik seperti air dalam kemasan. Bedanya, air itu bukan dari mata air, melainkan dari laut.

"Ini yang pertama di Indonesia," kata peneliti Departemen Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bonar Pasaribu, kepada Tempo awal pekan lalu. Empat tahun dia menjelajahi berbagai perairan, dari Pelabuhan Ratu sampai Biak. Tujuannya satu: mencari sumber air laut terbaik yang bisa dijadikan air minum.

Profesor ilmu kelautan itu mengatakan air laut bisa disulap jadi air minum. Syaratnya: air diambil jauh dari permukaan, lebih dari 300 meter. Sinar matahari tak mencapai kedalaman itu, sehingga air bebas dari dampak fotosintesis, seperti pertumbuhan ganggang, juga bebas pencemaran dan bakteri. Bersama kolega satu almamater dari Universitas Tokai, Jepang, Kimiya Homma, dia menjatuhkan pilihan pada Pulau Dewata. Tepatnya di perairan antara Bali dan Lombok. Lokasi itu mereka nilai strategis karena dekat dengan pabrik dan target pasar.

Proses dimulai dengan mengirim kapal berbobot mati 100 ton guna menyedot air. Jarak lokasinya sepuluh kilometer dari Bali ke arah timur. Di sana mesin pompa bekerja. Air lalu dibawa ke pabrik berbendera PT Omega Tirta Kyowa di Serangan, Denpasar. Pendingin ruangan bekerja keras di lokasi seluas satu hektare itu. Tujuannya agar dua puluhan bak penyimpan air—masing-masing berisi 2.200 liter air laut—tetap sejuk.

Pasaribu mengatakan air di kedalaman 300 meter bersuhu 10 derajat Celsius. Di pabrik suhunya tak boleh lebih dari 17 derajat Celsius. "Kalau berubah drastis," katanya, "bisa tumbuh lumut." Di perusahaan itu Pasaribu bertindak sebagai penasihat.

Sulap berlangsung di mesin osmosis terbalik atau reverse osmosis. Air diberi tekanan tinggi, sampai 1.180 psi, sehingga terjadi pemisahan air dengan garam atau desalinasi. Air yang keluar hanya separuh dari jumlah air yang masuk. Sisanya jadi garam yang siap pakai dan dijual. Di tahap ini air sudah kehilangan rasa asinnya. Proses selanjutnya adalah penyinaran ultraviolet. Ini untuk memastikan semua bakteri yang ada koit. Terakhir, air dipanaskan hingga 70 derajat Celsius, supaya bau, rasa, dan warnanya tidak berubah.

Berdasarkan penelitian laboratorium, Pasaribu mengatakan air itu mengandung kalsium (0,6 miligram per liter), magnesium (1,6 miligram per liter), sodium (50 miligram per liter), dan potasium (5,4 miligram per liter). Zat itu berguna bagi tubuh. Kalsium, misalnya, merupakan unsur utama di tulang dan gigi serta memperkuat otak, jantung, dan otot. Adapun magnesium mencegah osteoporosis dan menyembuhkan tekanan darah tinggi dan diabetes.

Pabrik itu mampu menghasilkan tiga ton—setara dengan 6.000 botol—air mineral per hari. Beberapa bulan lalu produksinya mulai dipasarkan dengan label Oceanic. Karena kapasitas pabrik masih terbatas, pemasarannya pun hanya di Bali dengan harga Rp 8.000 per botol 500 mililiter. Di kafe-kafe harganya melonjak sampai dua kali lipat. Pasaribu yakin bisa menekan harga jika penyedotan dipersingkat lewat pipa yang menjulur ke laut.

Di luar negeri, pemanfaatan air minum dari laut dilakukan sejak dua dasawarsa lalu, dari Amerika Serikat, negara-negara Arab dan Israel, sampai India. Jepang, tempat Pasaribu menimba ilmu, menggunakannya di banyak pulau kecil. Misalnya di Pulau Komejima, Provinsi Okinama, yang mengandalkan 70 persen kebutuhan airnya dari penyulingan air laut.

Indonesia bisa mengikuti jejak negara-negara itu. Rekan Profesor Pasaribu dari IPB, Jonson Lumban Gaol, mengatakan 40 persen dari total perairan Indonesia adalah laut dalam. Air di kawasan ini diperkaya pergerakan arus yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia, Arlindo. Ini dimulai dari Samudra Pasifik di timur laut, masuk ke perairan Indonesia lewat utara Sulawesi, lalu Selat Makassar, berbelok di selatan Sulawesi menuju Laut Banda. Dari situ arus berbalik arah setelah melewati kepulauan Nusa Tenggara. Bergerak ke barat menuju Samudra Hindia lewat selatan Jawa. Penelitian mereka menunjukkan, selain di Bali, lokasi potensi air laut dalam yang kaya nutrisi itu ada di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Makassar, Kupang, Bima, dan Dompu (Nusa Tenggara Barat).

Laut bisa jadi alternatif jika terjadi krisis air. Beberapa perusahaan air minum kemasan di Bogor mengaku kesulitan mendapat air selama September lalu. Kemarau panjang tanpa hujan membuat banyak sumur di kota itu kering. PT Berkat Prima Sejati, produsen air merek Arvian, Amiah, dan Anhar, misalnya, terpaksa mengambil dari tempat lain di luar mata air andalannya di Desa Sanja, Citeureup. Manajer Pemasaran Ay Sogir menyebut sumber alternatif itu ada di Desa Dayeuh, Cileungsi, dan Kelurahan Mulyaharja, Bogor selatan.

Sayang, pemanfaatan osmosis terbalik masih terbatas. Selain di Bali, baru Taman Impian Jaya Ancol yang menggunakannya. Itu pun belum untuk minum. Air dari danau Ancol, teluk buatan yang disodet dari laut. Mesin mengubahnya jadi air tawar yang digunakan untuk sanitasi.

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat PT Taman Impian Jaya Ancol Nicke Putri mengatakan Ancol mengandalkan PT PAM Jaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih, yang pada saat puncak kunjungan—dengan lebih dari 100 ribu orang—mencapai 15 ribu meter kubik per hari. Namun PT PAM hanya mampu memasok 9.000 meter kubik per hari. Alat bernilai Rp 50 miliar mulai dioperasikan pada Februari lalu dan memproduksi 5.000 meter kubik air tawar per hari.

Garam hasil desalinasi dicemplungkan di satu kolam di gelanggang renang, sehingga pengunjung bisa mengapung seperti di Laut Mati. Tanpa bersedia menyebut tenggat, Nicke mengatakan Ancol akan mengembangkan teknologi ini untuk air keran siap minum, seperti taman hiburan di luar negeri.

Pasaribu berharap pemerintah dan swasta memanfaatkan sumber air alternatif itu. Sebab, "Bahan bakunya tidak terbatas," katanya.

Reza Maulana, Rofiqi Hasan (Bali), Arihta Surbakti (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus