Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1><B>Bisnis Televisi</B></font><br />Berjubel di Layar Berbayar

Ada 13 perusahaan baru mendaftar izin TV berbayar. Sebagian pemain besar.

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya gara-gara siaran sepak bola Liga Utama Inggris, Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh, Komisi Penyiaran Indonesia, hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha ikut sibuk. Semua demi ”memuaskan” penikmat Liga Inggris.

Perpindahan tayang siaran Liga Inggris dari Trans7 ke Astro membuat para maniak Liga Inggris gundah. Pasalnya, mereka yang sebelumnya bisa menonton tanpa biaya seperak pun kini harus keluar ongkos iuran langganan. Paling tidak, mereka harus membayar Rp 200 ribu per bulan untuk langganan paket Citta plus Arena.

Harga berlangganan TV memang masih lumayan mahal. Tapi tak lama lagi barangkali harga itu bakal segera terseret turun dengan masuknya banyak operator baru. Bimo Nugroho Sekundatmo, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengatakan bahwa pendaftaran izin penyelenggaraan televisi bayar ini sudah dibuka sejak setahun lalu. Pendaftarnya berderet. Sejauh ini sudah 13 perusahaan baru yang telah lolos tahap evaluasi.

Lima perusahaan sudah mengantongi izin penyelenggaraan penyiaran. Tiga di antaranya, dua pekan lalu, sudah bisa memulai siaran uji coba, yakni PT Nusantara Vision (OK Vision), PT Media Commerce Indonesia (B-Vision), dan PT Karya Megah Adijaya (Citra TV). Pendaftaran akan ditutup pada akhir tahun ini. ”Beberapa menjanjikan biaya langganan hanya Rp 50 ribu per bulan, bahkan ada yang Rp 25 ribu,” kata Bimo.

Mereka bakal bersaing dengan lima perusahaan lama yang telah beroperasi. Kelima perusahaan televisi berbayar itu adalah PT Direct Vision (Astro), PT Broadband Multimedia, Tbk. (Kabelvision), PT Matahari Lintas Cakrawala (Indovision), PT Indosat Mega Media (IM2PayTV), dan PT Indonusa Telemedia (Telkomvision).

Jumlah izin yang diberikan memang tidak akan dibatasi. Menurut Bimo, jumlah stasiun TV bayar itu otomatis akan dibatasi kendala teknis dan ekonomi. ”Jumlah transponder satelitnya kan terbatas. Kalau sudah habis, ya sudah,” katanya. Bisnis ini juga ”tertutup” bagi mereka yang bermodal cekak.

Lihat saja, kelima TV bayar yang sudah beroperasi semuanya milik juragan besar. Astro dan Kabelvision milik Grup Lippo, Grup MNC menguasai Indovision, Telkomvision dimiliki PT Telkom, sedangkan IM2 adalah anak perusahaan PT Indosat Tbk.

Potensi pasar bisnis TV bayar ini memang masih terbentang luas. ”Penetrasinya masih sangat rendah,” kata Bambang Lusmiadi, Direktur Konten dan Pemasaran PT Indonusa Telemedia (Telkomvision). ”Kuenya masih cukup besar untuk dibagi-bagi,” kata Rudy Tanoesoedibjo, bos Indovision. Telkomvision saat ini baru punya 40 ribu pelanggan, kalah jauh dibanding Indovision yang memiliki 300 ribu pelanggan.

Menurut Hellen Katherina, Wakil Direktur Marketing & Client Service PT AGB Nielsen Media Research Indonesia, jumlah pelanggan TV di 10 kota besar Indonesia baru sekitar 1 persen dari total populasi pemilik televisi. Hingga September 2007, ada 42 juta televisi di 10 kota itu. Artinya, pelanggan TV ini baru 420 ribuan. ”Tapi barangkali angkanya lebih besar dari itu. Bisa jadi, daerah yang tidak terjangkau siaran televisi terestrial justru berlangganan TV bayar,” katanya.

Teknologi pun semakin melebarkan pasar TV bayar. Kanal BBC, ESPN, atau HBO tidak lagi hanya bisa dinikmati dari layar televisi konvensional, tapi juga bisa dipelototi dari layar telepon genggam atau lewat televisi di mobil. PT Mentari Multimedia (M2V), misalnya, akan memilih membidik pangsa televisi mobil ini.

Tak mengherankan jika peminat bisnis televisi berbayar ini bejibun. Mereka sama sekali bukan kelas pengusaha ecek-ecek dan buta dalam soal penyiaran. PT Nusantara Vision, yang akan mengibarkan OK Vision, adalah ”anak bungsu” PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNC), pemilik RCTI, Global TV, TPI, dan juga Indovision. ”OK Vision ini untuk melengkapi Indovision. Apa yang nggak ada di Indovision nanti kami tampilkan di OK Vision,” kata Rudy.

Langkah MNC dan Grup Lippo yang begitu agresif merengkuh pasar TV bayar diikuti kelompok Bakrie, pemilik ANTV dan Lativi, serta keluarga Sariaatmadja, pemilik SCTV dan O-Channel.

Bakrie masuk lewat PT Media Commerce Indonesia (B-Vision). Menurut Charlie Kasim, Presiden Direktur B-Vision, mereka akan beroperasi pada kuartal kedua 2008. Mulai dari Jakarta, menyusul kota-kota besar lain hingga luar Jawa. Dia sangat yakin potensi pasar TV bayar ini masih besar, mengingat pelanggannya masih sangat kecil.

Dia mengatakan, B-Vision akan disinergikan dengan ANTV dan Lativi. ”Bentuknya bisa penyediaan konten dan produksi bersama,” katanya. Charlie menjanjikan B-Vision akan menayangkan 30 persen konten lokal dan 10 persen acara pendidikan.

Lain lagi cara keluarga Sariaatmadja masuk bisnis pay TV. Mereka memilih tidak menggunakan bendera SCTV, tapi lewat PT Elang Mahkota Teknologi (E-Vision), sayap bisnis teknologi informasi keluarga Sariaatmadja. Berbeda dengan sebagian besar perusahaan TV bayar yang menggunakan satelit, E-Vision ini memilih jalur terestrial layaknya televisi gratis (free to air).

SCTV sendiri justru belum berniat terjun di pay TV. ”Kami lagi fokus membuat bagaimana berita SCTV bisa diterima lewat telepon genggam. Mungkin kami akan ke pay TV, tapi entah kapan,” kata Budi Darmawan, juru bicara SCTV.

Kendati bisnis TV bayar ini tampak menggoda, Rudy mengingatkan agar KPI hati-hati dalam memberikan izin. ”Saya khawatir terjadi jual-beli izin,” katanya. Karena itu dia minta KPI benar-benar meneliti kekuatan kantong perusahaan yang mengajukan izin. Pasalnya, bisnis TV bayar ini benar-benar padat modal.

Bambang Lusmiadi punya hitung-hitungan kasar. Untuk sewa satu transponder satelit (biasanya memuat 15-20 kanal) ongkosnya Rp 900 juta per bulan. Kalau hendak ”mengangkut” kanal lebih banyak, berarti perlu sewa transponder lebih banyak lagi. Ongkos lainnya, untuk membangun stasiun pengontrol, minimal Rp 10 miliar.

Terakhir, ini tak kalah besar, biaya membeli konten/kanal siaran. Yang satu ini besarnya sangat bergantung pada negosiasi harga. ”Jadi, kalau ada perusahaan hanya punya modal Rp 500 juta dan dikasih izin, itu tidak realistis,” kata Rudy. Tapi, apa salahnya jika itu bisa mengerek turun harga langganan.

Sapto Pradityo, Rika Panda


Mereka yang Bakal Memenuhi Layar Televisi Anda

A. Pemain lawas

1. PT Direct Vision (Astro) 2. PT Broadband Multimedia, Tbk (Kabelvision) 3. PT Matahari Lintas Cakrawala (Indovision) 4. PT Indosat Mega Media (IM2PayTV) 5. PT Indonusa Telemedia (Telkomvision)

B. Yang baru mendapat izin penyelenggaraan penyiaran

6. PT Nusantara Vision (OK Vision) 7. PT Cipta Skynindo (I-Sky-Net) 8. PT Global Comm Nusantara (Safuan TV) 9. PT Karya Megah Adijaya (Citra TV) 10. PT Media Commerce Indonesia (B-Vision)

C. Yang izinnya ditunda menunggu masterplan televisi digital

11. PT Arvia Dimensi Technology (Arditech)

D. Yang tengah menanti izin penyelenggaraan penyiaran

12. PT Televisi Prima Digital (Easy TV) 13. PT Indonesia Media Televisi (IMT) 14. PT Digital Mobile Network (Tren) 15. PT Digital Broadcasting Indonesia (DBI) 16. PT Mentari Multimedia (M2V) 17. PT Mediatama Anugrah Citra (MAC) 18. PT Elang Mahkota Teknologi (E-Vision)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus