Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga empat tahun lalu, Perusahaan Daerah Air Minum Bandarmasih nyaris sekarat. Sejak didirikan pada 1976, belum sekali pun perusahaan milik Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu mencetak laba.
Air yang hilang di jalan lebih dari 40 persen. Pada musim kemarau, air kadang menghilang. Walhasil, pemerintah Banjarmasin selalu nombok untuk menambal biaya operasi Bandarmasih. Utang ke pemerintah pusat pun tak terbayar. Rugi pun terus membayangi Bandarmasih.
Kondisi Perusahaan Air Minum Kota Padang, Sumatera Barat, kurang-lebih sama. Tiga tahun lalu, air yang menguap lebih dari 50 persen. Namun kini keduanya telah berhasil membalik peruntungan. ”Pada 2006 kami untung Rp 11 miliar,” kata Azhar Latif, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Kota Padang, dua pekan lalu.
Direktur Utama Bandarmasih Zainal Arifin mengatakan kebocoran air di daerahnya sekarang tinggal 26,3 persen dan warga yang terlayani 93 persen. Ini angka tertinggi di antara perusahaan air bersih di Indonesia. Tahun lalu Bandarmasih mampu mencetak laba sampai Rp 4 miliar.
Tapi kisah gemilang Bandarmasih dan Kota Padang ini hanyalah setitik sinar di tengah potret buram bisnis air bersih di Indonesia. Dari 351 perusahaan air bersih, menurut Azhar, yang juga Sekretaris Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia, tak sampai seperempatnya (79) yang layak disebut sehat.
Toh, kisah suram itu tak menyurutkan langkah sejumlah investor swasta menggarap bisnis air ledeng ini. Yang kelihatan paling agresif berburu bisnis itu adalah Recapital Advisors, lewat anak usahanya, Acuatico Pte. Ltd. Di Acuatico, Recapital menggandeng perusahaan konsultan Glendale Partners.
Akhir 2006, Acuatico mengambil alih 95 persen saham PT Thames PAM Jaya dari Thames Water Plc., Inggris. Sisanya dibeli Alberta Utilities. Alberta adalah sayap bisnis air PT Bakrieland Development Tbk. milik keluarga Bakrie. Thames Jaya merupakan pemilik konsesi penyediaan air bersih di Jakarta bagian timur hingga 2022.
Rupanya Thames Jaya (bulan lalu telah bersalin nama menjadi PT Aetra Air Jakarta) ini hanya pijakan pertama Recapital dan Alberta masuk ke bisnis air bersih. Mereka ternyata berniat berekspansi ke luar Jakarta. ”Kami ingin masuk ke semua daerah,” kata Hiramsyah Sambudhy Thaib, Presiden Direktur Bakrieland. Duet ini, menurut dia, sudah menyiapkan Rp 100 miliar.
Acuatico bahkan sudah mendapat konsesi baru di Pasar Kemis, Sepatan, Cikupa, Balaraja, dan Jayanti, semuanya di Kabupaten Tangerang, Banten. Nilainya sekitar Rp 515 miliar. ”Tinggal finalisasi saja,” ujar Rosan Perkasa Roeslani, Presiden Direktur Recapital, pekan lalu. Di konsorsium ini, Acuatico menggandeng PT Capitalinc Investment Tbk. (dulu PT Bakrie Finance Tbk).
Setelah Jakarta dan Tangerang, Acuatico mengincar Kota Dumai dan Bandung. Menurut Rosan, mereka juga sudah menghitung peluang usaha dan bertemu dengan bos-bos perusahaan ledeng di Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam Indonesian Regional Investment Forum 2008 pekan lalu, proyek ledeng di Yogyakarta dengan nilai US$ 360 juta ini juga ditawarkan.
Tak hanya di Indonesia, Acuatico pun mengincar peluang di negeri seberang. Rosan mengatakan mereka telah menjajaki kerja sama dengan Ranhill Utilities di Malaysia dan Metropolitan Waterworks & Sewerage System, perusahaan air bersih milik Pemerintah Kota Manila, Filipina.
Bisnis air memang basah. ”Semua orang butuh air. Ini akan jadi primadona,” Azhar Latif menujum. Peluang bisnis di sektor ini seluas wilayah Indonesia. Saat ini, menurut Azhar, perusahaan air bersih baru melayani sekitar tujuh juta sambungan. Jika satu sambungan dipakai lima orang, baru 35 juta penduduk Indonesia yang terlayani. Masih ada lebih dari 200 juta orang menunggu kucuran air.
Maka tak mengherankan, kendati bisnis ini kelihatan tak seseksi perminyakan, pertambangan, minyak kelapa sawit, atau telekomunikasi, banyak perusahaan air asing sudah menancapkan bisnis mereka di Indonesia. Sejak pertengahan 1990-an, Indonesia memang membuka sektor ini untuk asing.
Mula-mula mereka hanya masuk ke Pulau Batam. Perusahaan asal Inggris, Biwater Plc., lewat anak perusahaannya, Cascal BV, menguasai konsesi penyediaan air bersih selama 25 tahun sejak 1995. Cascal bermitra dengan PT Bangun Cipta Sarana dan PT Syabata Cemerlang membentuk PT Adhya Tirta Batam.
Ketika pada Juni 1997 konsesi penyediaan air bersih di Jakarta ditawarkan, raksasa air bersih Prancis, Lyonnaise des Eaux, dan Thames Water masuk dengan menggandeng Keluarga Cendana. Mereka berbagi konsesi penyediaan air bersih di Jakarta: Thames di bagian timur, Lyonnaise di barat. Lyonnaise juga punya konsesi di Kota Medan hingga 2024.
Pada Juli 2006, 49 persen saham Lyonnaise di PT Pam Lyonnaise Jaya sudah dijual ke PT Astratel Nusantara, lengan bisnis infrastruktur Astra International, dan Citigroup Financial Products Inc. Sekarang komposisi pemilik saham di Lyonnaise Jaya ini adalah Suez Environment (51 persen), Astratel (30 persen), dan Citigroup (19 persen).
Lyonnaise, setelah ”kawin” dengan Compagnie de Suez, kemudian bersalin nama menjadi Suez Environment. Dengan pelanggan sekitar 120 juta di seluruh dunia, Suez adalah perusahaan air bersih terbesar di dunia. Di urutan berikutnya, Veolia Environnement (dulu Vivendi Environnement) dari Prancis dan RWE Group, induk perusahaan Thames Water, yang berpusat di Jerman.
Veolia juga sudah masuk ke Indonesia. Dia menguasai konsesi di Sidoarjo, Jawa Timur, selama 25 tahun sejak 1998. Di Sidoarjo, Veolia berbagi daerah konsesi dengan PT Taman Tirta Sidoarjo. Mayoritas saham Taman Tirta ini dikuasai Asian Utilities Pte. Ltd. Lewat Regional Utilities Berhad, perusahaan infrastruktur Gadang Holdings Berhad dari negeri jiran Malaysia menguasai saham Asian pada 2005.
Gadang tergolong supergesit memburu peluang di Indonesia. Lewat PT Bintang Hytien Jaya, dia juga menguasai bisnis air bersih Kota Tangerang. Bahkan, pada 25 April lalu, Gadang telah menuntaskan pembelian 85 persen saham PT Hanarida Tirta Birawa, pemilik konsesi di Kabupaten Sidoarjo. Dua hari sebelumnya, 65 persen saham PT Sarana Catur Tirtakelola (Serang) telah beralih ke Gadang.
Investor asing yang juga rajin berburu air, terutama di kawasan timur Indonesia, adalah Water Supply Company Drenthe asal Belanda. Dia ini pemilik empat konsesi di Ambon dan Bacau, Provinsi Maluku, serta Biak dan Sorong di Papua. Saat ini Drenthe masih bernegosiasi dengan tujuh perusahaan daerah air minum di Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.
Selain Gadang dan Drenthe, masih ada beberapa investor di bisnis air, misalnya PT Petrosea Tbk., anak usaha Clough Group, Australia. Perusahaan Malaysia, Ranhill Utilities, juga pernah berniat masuk ke Indonesia dengan membeli Thames Jaya, tapi kalah bersaing dengan Acuatico.
Anehnya, Ketua Badan Pendukung Pengembangan Penyediaan Air Minum Departemen Pekerjaan Umum M. Rachmat Karnadi malah mengatakan bisnis air minum ini kurang diminati investor dibanding jalan tol atau pelabuhan karena pasar bisnis ini tidak jelas. ”Orang kan bisa bikin sumur sendiri,” katanya. Masalahnya, kualitas air tanah di kota-kota besar terus merosot.
Perusahaan asing boleh saja terus merangsek, tapi Hiramsyah tetap percaya diri. ”Kami yang lebih paham kondisi,” ujarnya. Dia juga yakin sanggup memberikan harga jual air bersih lebih murah. Soal fulus, Hiramsyah yakin bisnis air sangat potensial. Menurut dia, sebagian warga kota besar membeli air bersih jauh lebih mahal ketimbang harga ekonomisnya.
Kalangan perusahaan ledeng di daerah pun sepertinya kurang happy dengan investasi asing itu. ”Kami mampu kok mengerjakannya sendiri,” kata Zainal. Tapi faktanya, sebagian besar dari mereka terseok-seok dan memiliki utang segunung. Total utang perusahaan air daerah ke pemerintah itu mencapai Rp 4,4 triliun.
Dengan kondisi seperti itu, sulit bagi perusahaan daerah untuk maju. Menurut Azhar, kalau mau memajukan perusahaan daerah, sisa utang itu semestinya dihapuskan. Paling tidak, bunga dan dendanya. ”Itu kan utang masa lalu. Kami ini kan cuma diwarisi,” ujar Azhar.
Sapto Pradityo, Gabriel Wahyu Titiyoga
Proyek Ledeng yang Menanti Investor | |
---|---|
Daerah | Nilai |
Kabupaten Bandung | Rp 296 miliar |
Dumai | Rp 220 miliar |
Kabupaten Bekasi | Rp 179 miliar |
Kota Bandar Lampung | Rp 160 miliar |
Kota Bekasi | Rp 159 miliar |
Kota Jambi | Rp 129 miliar |
Kota Balikpapan | Rp 109 miliar |
Kabupaten Pemalang | Rp 96,3 miliar |
Kota Cirebon | Rp 90 miliar |
Kabupaten Subang | Rp 52 miliar |
Kabupaten Gresik | Rp 49 miliar |
Kota Samarinda | Rp 41,5 miliar |
Kabupaten Kebumen | Rp 27 miliar |
Sumber: Badan Pendukung Pengembangan Penyediaan Air Minum |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo