Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika sudah kepepet, apa pun bisa dijadikan kambing hitam. Itulah yang terjadi pada klaim ongkos produksi minyak dan gas. Dalam kontrak production sharing, seluruh biaya produksi diganti pemerintah jika kontraktor minyak berhasil memproduksi minyak dan gas dari ladang minyaknya. Nah, ketika harga emas hitam ini naik, banyak pihak yang menuding kontraktor minyak asing sengaja menaikkan biaya produksi. Padahal, pada saat yang sama, produksi minyak Indonesia malah terus menurun.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas merekam bahwa kedua fakta itu benar adanya. Klaim cost recovery memang terus meningkat. Tahun lalu, klaim mencapai US$ 8,33 miliar, meningkat dari 2006 sebesar US$ 7,81 miliar, dan tahun sebelumnya US$ 7,53 miliar. Hal itu berbanding terbalik dengan produksi minyak nasional yang terus merosot. Tahun lalu, produksi minyak nasional 836 ribu barel per hari, turun dari 2006 sebesar 883 ribu, dan 934,8 ribu pada 2005.
Sudah begitu, ternyata ongkos produksi yang kemudian diklaim ke pemerintah itu banyak mengandung biaya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Paling tidak, hal itu tercantum dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan setelah mereka mengaudit sejumlah kontraktor production sharing pada semester II 2007.
Kenyataan itulah yang kemudian membuat pemerintah berniat membicarakan ulang soal cost recovery tersebut, Selasa pekan ini. Pemerintah akan mengajak Badan Pelaksana Minyak dan Gas serta Asosiasi Perminyakan Indonesia. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Luluk Sumiarso mengatakan pertemuan itu untuk memperjelas apa yang tidak clear dalam kontrak. Tapi, dia memastikan apa pun hasilnya, kontraknya sendiri tidak akan diubah.
Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas Raden Priyono menambahkan, nantinya dalam pertemuan itu akan dibuat daftar hal yang tidak boleh dibebankan ke cost recovery. Namun, menurut dia, ini hanyalah aspek mikro. Potensi penyimpangan makro ada di aturan finansial yang tidak terstruktur.
Makanya, kata Priyono, unsur biaya produksi dalam kontrak bagi hasil yang baru direvisi dengan memberlakukan ring fencing field basic. Dalam sistem ini, rencana pengembangan (planning of development) dibuat per lapangan, dan masing-masing tidak bisa dikonsolidasikan.
Selama ini, kontraktor melakukan konsolidasi rencana pengembangan dalam satu laporan keuangan perusahaan. Inilah yang diduga menyebabkan penerimaan negara mengkerut. Misalnya pajak yang mestinya dihitung per lapangan kenyataannya dikonsolidasikan oleh kontraktor. ”Sistem baru ini lebih mengamankan penerimaan negara,” kata Priyono.
Namun Direktur Utama Pertamina Ari Sumarno mengatakan perusahaannya kurang nyaman dengan sistem baru ini. Alasannya, kontraktor mesti menghitung keekonomian lapangan per lapangan. Dulu, ia mencontohkan, rig yang telah dipakai di lapangan A bisa dipakai lagi di lapangan B. Sekarang pola itu tidak bisa diterapkan lagi karena tiap lapangan memiliki rencana pengembangan terpisah. Ini dinilai Ari tidak efisien dan lebih birokratis. ”Salah-salah, cost recovery-nya jadi lebih tinggi,” kata dia.
Terlepas dari apakah rencana pemerintah itu bakal bisa mengempiskan cost recovery atau tidak, masalah ini memang sudah lama menjadi sorotan. Belakangan, sorotan itu kian tajam karena adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut.
Dalam hasil pemeriksaan semester II 2007, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan mencatat sederet biaya yang mestinya tidak diganti. Contohnya, pemberian bonus long term incentive program, schooling fee, jasa konsultan hukum, serta biaya relasi dan personal. Dalam kasus ini, Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa dua kontraktor kontrak kerja sama, Premier Oil Natuna Sea dan BP West Java.
Ada juga klaim yang dinilai terlalu mahal, antara lain site supervisor dan direct contract ekspatriat, serta tunjangan pajak penghasilan ekspatriat. Malah, ongkos sewa rumah tenaga kerja asing yang sudah tidak bekerja lagi pun masih diklaim ke pemerintah untuk dimintakan ganti. Total jenderalnya lebih dari US$ 133 juta (sekitar Rp 1,2 triliun).
Hal yang sama juga pernah terjadi pada Pertamina. Pekan lalu, perusahaan minyak negara itu mengembalikan kelebihan bayar klaim ongkos produksi hampir US$ 1,2 miliar. Pertamina harus membayar itu karena menurut Badan Pemeriksa Keuangan, dari klaim yang diajukan sebesar US$ 2,2 miliar untuk periode 2004-2007, US$ 1,2 miliar di antaranya tak bisa dipertanggungjawabkan. ”Sekarang sudah beres,” kata Ari Sumarno.
Meskipun audit Badan Pemeriksa menunjukkan adanya sejumlah keanehan dalam klaim ongkos produksi, kalangan perminyakan sepakat bahwa tidak ada niat untuk menggelembungkan pengajuan biaya tersebut. Vice President Public Affair ExxonMobil Oil Indonesia Maman Budiman mengatakan kenaikan klaim cost recovery adalah tanda bahwa kontraktor tidak tidur.
Saat ini, 70 persen minyak nasional berasal dari lapangan tua yang hasilnya mulai seret. Dulu, dia mencontohkan, hanya perlu satu sumur untuk mengangkat 100 barel minyak hitam sehari, kini setidaknya butuh dua. Naiknya harga barang-barang modal juga dinilai sebagai pemicu lonjakan klaim.
Lonjakan harga itu pula yang membikin Ari Sumarno puyeng. Saat ini, kata Ari, harga mencapai tiga kali lipat dibandingkan empat tahun lalu. Ongkos sewa rig untuk pengeboran, misalnya, kini US$ 1 juta sehari. Alat pengeboran di lepas pantai malah lebih mahal. Untuk mengebor satu sumur off shore yang perlu waktu sebulan, ongkos bisa sampai US$ 70 juta. ”Itu buat rig saja.”
Karena itu, kata seorang pelaku bisnis perminyakan yang lain, klaim ongkos produksi yang terus naik itu tidak ada kaitannya dengan produksi. Menurut dia, produksi minyak Indonesia yang terus menurun terjadi karena penemuan sumur baru di Indonesia memang makin jarang. ”Kalau cuma mengandalkan sumur yang sudah ada, ya sulit,” katanya.
Menurut pengamat perminyakan Kurtubi, keruwetan masalah ini sebetulnya berpangkal pada pengawasan. Lembaga yang mengawasi kinerja kontraktor, yakni Badan Pelaksana Minyak dan Gas, dinilai tidak beres. Namun pengamat minyak lain, Ryad Chairil, berpendapat bahwa duduk perkaranya tidak hanya di tingkat pengawasan. Aturan kontrak yang tidak detail dianggap sebagai biang penyimpangan.
Menurut Ryad, definisi biaya bukan modal di dalam kontrak terlalu longgar. Di situ disebutkan bahwa yang disebut biaya operasi menyangkut mulai dari biaya buruh, material, jasa yang digunakan, sampai fasilitas pemrosesan dan biaya operasi lain-lainnya. Tak mengherankan bila semua jenis biaya seperti biaya kantor, jasa, dan administrasi umum, dimintakan gantinya.
”Klausul biaya operasi lain-lain itulah letak bolongnya,” kata Ryad. Selain itu, bunga pinjaman atas kredit investasi mestinya tidak dibebankan kepada negara. ”Itu menyangkut jutaan dolar AS.” Ini semua kemudian mendorong pemerintah untuk meninjau kembali klausul klaim cost recovery dalam kontrak production sharing.
Retno Sulistyowati, Muhammad Nafi, Vennie Melyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo