Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=brown>EKONOMI INTERNASIONAL</font><br />Lonceng Bahaya Utang Washington

Utang Amerika terus menumpuk. Mengancam perekonomian global.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pegawai sekretariat House of Representative, kantor anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat di Washington, kelabakan. Senin siang pekan lalu, Tom Reed, anggota Dewan dari Partai Republik, ngotot memasang jam baru di lobi kantor itu. Bukan untuk penanda waktu, melainkan sebagai indikator pergerakan angka utang Negeri Abang Sam, detik demi detik. "Ini buat mengingatkan kami yang telah berutang 58 ribu dolar per detik," ujar Reed.

Jam utang sebenarnya sudah terpasang di Times Square, New York, sejak 1989. Bentuknya mirip papan panel digital dua baris. Deret 13 angka di baris atas menunjukkan total utang nasional, sedangkan lima kolom di bawah menandakan utang negara yang ditanggung setiap keluarga.

Nah, Reed ini nyleneh. Dia ingin jam serupa dipasang juga di kantornya untuk menyindir para anggota Kongresanggota DPRdan pemerintah Presiden Barack Obama, yang dianggapnya hanya berdebat kusir untuk menyelesaikan utang negara. Padahal alarm sudah berbunyi.

Awal pekan lalu, Standard and Poor's (S&P) memperingatkan utang Amerika US$ 14,7 triliun (sekitar Rp 137.000 triliun), dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 97 persen, terlalu tinggi. Utang ini semakin membengkakkan defisit anggaran menjadi US$ 1,4 triliun. Untuk pertama kalinya dalam enam dekade, lembaga pemeringkat utang global menurunkan prospek (outlook) utang Amerika dari AAA stabil menjadi AAA- (triple a negatif). Maksudnya, status utang berubah dari aman menjadi rawan alias bisa tak terbayar.

Utang dan defisit terus menggunung lantaran tak ada titik temu antara pemerintah Obama yang disokong Partai Demokrat dan anggota Kongres dari Partai Republik. Obama ingin memotong anggaran dan menaikkan pajak, tapi kaum republikan menolak. Ketika Obama ingin menambah utangmengeluarkan surat utang Treasury Bills (T-Bills)guna menutup anggaran, Kongres kembali menolak dan bahkan meminta pengurangan utang hingga US$ 6 triliun tahun ini. "Dua tahun setelah krisis, mereka belum menyepakati cara mengatasi tekanan fiskal," kata Nikola Swann, analis kredit S&P.

Dana Moneter Internasional (IMF) dan para pengamat memperingatkan turunnya peringkat utang Amerika bisa mengancam perekonomian global, terutama di saat bunga T-Bills perlahan meningkat. Gunungan utang ini bisa menjerumuskan lagi Amerika pada resesi kedua, setelah krisis subprime mortgage (surat utang properti) tiga tahun lalu. Obama bukannya tak menyadari bahaya ini. "Jika kita tak menutup defisit, itu akan mengakibatkan kerusakan serius bagi perekonomian Amerika," ujarnya.

Dunia layak khawatir karena masalah utang negeri adidaya itu berbarengan dengan kejadian yang sama di Eropa. Beberapa negara, seperti Yunani, Portugal, dan Irlandia, bahkan mungkin juga Spanyol, sedang dilanda krisis ekonomi yang dipicu oleh pembengkakan utang. Rasio utang negara-negara itu telah mencapai 100 persen dari PDB-nya. Defisit anggaran mereka di atas 10 persenmelewati ketentuan Uni Eropa 3 persen. Ketiga negara itu sudah meminta suntikan dana dari Uni Eropa dan IMF.

Tak pelak, keputusan S&P menurunkan prospek utang Amerika membuat pasar saham dan keuangan guncang. Indeks Dow Jones turun 140 poin atau 1,14 persen. Sedangkan indeks Nasdaq dan S&P 500 turun masing-masing 1,06 persen dan 1,10 persen. Kepanikan mereda setelah Menteri Keuangan Jepang Yoshihiko Noda membuat pernyataan penting. "Kami melihat obligasi Amerika sebagai investasi menarik. Kualitasnya sangat baik, bahkan jika peringkatnya diturunkan," ujar Noda.

Menurut Noda, Jepangpemegang T-Bills US$ 890,3 miliar, terbesar kedua setelah Cinapercaya Amerika mampu mengatasi masalah utang dan defisit fiskalnya. Ini membuat dunia boleh lega untuk sementara. Bisa dibayangkan bila Negeri Sakura dan Cina ikut panik dan menjual secara besar-besaran surat utang Amerika. Krisis kedua bukan lagi sekadar ancaman, tapi bisa menjadi kenyataan.

Fery Firmansyah (The Daily Caller, AFP, Bloomberg)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus