Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Panjang Antasari

Komisi Yudisial menemukan indikasi pelanggaran hakim saat menghukum 18 tahun penjara Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan. Di saat yang sama, Antasari tengah menyiapkan upaya peninjauan kembali kasusnya. Ada kejanggalan, tapi hakim melihat hubungan sebab-akibat kejadian di sekitar Antasari dengan kematian Nasrudin Zulkarnaen.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, tak membuat Antasari Azhar harus selalu mengenakan baju tahanan. Jumat sore pekan lalu, ia memakai kaus putih lengan pendek Versace. Celananya jins biru Lea, plus topi putih-merah bertulisan ”Bukit Darmo Golf Surabaya”.

Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini baru saja dibesuk beberapa politikus, istrinya, dan dua anak perempuannya. Dia mendiami sel seluas 20 meter persegi di blok G. Setahun dua bulan ia menjadi pesakitan, tak tampak badannya susut. Wajahnya juga segar. ”Saya happy saja menjalaninya,” kata Antasari kepada Tempo.

Dari balik jeruji besi itu, Antasari bertekad terus melawan hukuman yang diterimanya. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukumnya 18 tahun penjara. Laki-laki 58 tahun itu bersalah turut serta menganjurkan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Putus­an itu dikuatkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Bersama tim pengacaranya, Antasari tengah merampungkan memori upaya peninjauan kembali. Salah satu bukti barunya adalah pendapat berbeda (dissenting opinion) satu dari tiga anggota majelis kasasi, Surya Jaya. Menurut hakim agung itu, seperti dikutip dalam putusan yang salinannya diperoleh Tempo, Antasari seharusnya bebas karena tak ada bukti ia terlibat pembunuhan itu.

Surya Jaya melihat hakim pengadilan pertama mengabaikan bukti-bukti itu. Inilah yang juga tengah disorot Komisi Yudisial. Menurut Ketua Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marjuki, sebuah tim sedang menelisik dugaan pelanggaran perilaku hakim perkara Antasari di pengadilan pertama sampai kasasi.

Dalam rapat pleno akhir Maret lalu, Komisi menyimpulkan adanya indikasi kuat pelanggaran itu. ”Kami punya sisa waktu dua bulan untuk membuktikan dugaan itu,” kata Suparman.

Senin pekan lalu, Komisi memanggil tim kuasa hukum Antasari sebagai saksi pelapor. Hanya Maqdir Ismail yang memenuhi panggilan. Dalam dua pekan ke depan, Komisi akan memanggil saksi lain, antara lain ahli forensik dan balistik, yang menurut pihak Antasari keterangannya diabaikan hakim. Setelah itu, kata Suparman, baru pihaknya memeriksa hakim.

Kebetulan atau tidak, langkah Komisi Yudisial itu berbarengan dengan upaya Antasari mempersiapkan peninjauan kembali. Suparman buru-buru meluruskan bahwa hasil pemeriksaan lembaganya tak bisa dijadikan bukti baru untuk peninjauan kembali. Maqdir juga memastikan temuan Komisi tidak dimasukkan ke peninjauan kliennya. ”Banyak novum lain,” ujarnya.

Keluarga Nasrudin, yang semula meminta Antasari dihukum seberat-beratnya, balik arah mendukung bekas jaksa itu lepas dari jerat hukum. Perubahan ini terjadi setelah adik Nasrudin, Andi Syamsuddin, bertemu dengan Antasari di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Maret lalu. Kepada Andi, Antasari mengatakan ia hanya korban rekayasa. ”Kalau begitu, dia harus bisa mempidanakan pelaku sebenarnya,” kata Andi.

l l l

Sebelas hari setelah vonis pengadilan negeri, Antasari melaporkan dugaan kekeliruan putusan trio hakim yang menghukumnya ke Komisi Yudisial. Majelis hakim yang dipimpin Herri Swantoro dan beranggotakan Nugroho Setiadji dan Prasetyo Ibnu Asmara itu telah mengabaikan sejumlah fakta di sidang. ”Kalau fakta itu tak diabaikan, saya bisa bebas,” ujar Antasari.

Fakta itu misalnya keterangan ahli teknologi informasi Institut Teknologi Bandung, Agung Harsoyo, yang menyatakan tidak menemukan bukti adanya pesan pendek ancaman dari Antasari ke korban. Antasari berkukuh pesan itu tidak pernah ada. Kalaupun ada, menurut Maqdir, pengirimnya bukan Antasari. ”Dari keterangan ahli itu, SMS dapat direkayasa,” katanya.

Pengacara Antasari menyesalkan sikap hakim yang hanya mempertimbangkan adanya pesan pendek itu dari kesaksian Jeffry Lumampouw dan Etza Imelda Fitri. Keduanya advokat yang dekat dengan Nasrudin. Mereka mengaku pernah ditunjuki SMS ancaman itu oleh korban dari nomor Antasari. Bunyinya: ”Maaf mas, masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu, kalau sampai terblow up, tahu konsekuensinya.”

Berawal dari pesan tersebut, Antasari terseret kasus pembunuhan suami siri Rani Juliani itu. Dari dakwaan jaksa, SMS itu diterima Nasrudin setelah memergoki Antasari berduaan dengan istrinya di kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta. Kepada suaminya, Rani mengaku mendapat pelecehan seksual dari Antasari. Pengakuan itu juga dibeberkan Rani di persidangan.

Tak mau perselingkuhannya bocor, menurut jaksa, Antasari mengancam Nasrudin melalui pesan pendek. Ancaman itu berakhir dengan tewasnya Nasrudin pada 14 Maret 2009 setelah bermain golf di Modernland, Tangerang. Perselingkuhan dianggap sebagai motif pembunuhan itu.

Fakta persidangan soal barang bukti senjata api dan peluru juga dipersoalkan Antasari ke Komisi Yudisial. Menurut Maqdir, hakim mengabaikan keterangan ahli senjata Roy Haryanto dan ahli balistik Maruli Simanjuntak. Keduanya mengatakan dua peluru 9 milimeter yang ditemukan di kepala korban tidak cocok dengan barang bukti senjata api, yaitu revolver kaliber 0,38 tipe S&W. Mereka menyebut peluru itu untuk senjata api jenis FN.

Soal kondisi jenazah sami mawon. Menurut Maqdir, keterangan Abdul Mun’im Idris, ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, termasuk yang dikesampingkan hakim. Mun’im adalah saksi yang mengotopsi jenazah korban. Di persidangan, Mun’im mengatakan, saat ia memeriksa jenazah itu, kondisinya dalam keadaan tidak asli: kepala sudah botak dan luka di kepala sudah dijahit. Padahal, kata dia, keberhasilan pengungkapan perkara itu bergantung pada keaslian barang bukti.

Keterangan forensik dan balistik ini belakangan dianggap penting oleh Hakim Agung Surya Jaya. Dalam putusan kasasi, ia berbeda pendapat dengan ketua majelis Artidjo Alkostar dan anggota lain, Moegihardjo. Dalam putusannya, menurut Surya, hakim pengadilan pertama seharusnya tidak mengesampingkan kesaksian itu, yang bisa menentukan pelaku sesungguhnya. ”Ada penerapan hukum yang keliru,” kata Surya dalam putusan itu.

Adanya kekeliruan inilah yang menjadi celah Komisi Yudisial mengusut laporan Antasari. Setelah mangkrak setahun, Komisi membentuk panel untuk menelisik dugaan pelanggaran perilaku hakim perkara Antasari. Panel terdiri atas tiga komisioner, yaitu Taufiqurrohman, Suparman Marjuki, dan Jaja Ahmad Jayus.

Dasar hukum Komisi mengusut laporan itu, kata Taufiqurrohman, adalah surat kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial pada 2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sesuai dengan butir kesepuluh soal sikap profesional hakim, kata dia, hakim seharusnya menghindari kekeliruan membuat putusan atau tidak mengabaikan fakta persidangan.

Ditemui Tempo di kantornya Kamis pekan lalu, bekas ketua majelis kasus Antasari, Herri Swantoro, enggan mengomentari temuan awal Komisi Yudisial itu. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini siap mempertanggungjawabkan putusannya.

Setali tiga uang, anggota majelis perkara itu, Nugroho Setiadji, memilih irit bicara. ”Saya tidak punya kapasitas mengomentari putusan yang sudah diketuk,” katanya. Dalam putusannya, mereka mengatakan sudah memperoleh keyakinan karena semua unsur yang didakwakan jaksa penuntut kepada Antasari terpenuhi.

Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa tampil membela anak buahnya. Menurut Harifin, hakim perkara Antasari sudah benar. Kelemahan di pengadilan pertama, kata dia, juga sudah diuji sampai kasasi. Harifin memastikan apa pun temuan Komisi Yudisial tidak akan mempengaruhi putusan. Jika Antasari masih tidak puas, Harifin mempersilakannya mengajukan upaya hukum luar biasa.

Upaya hukum luar biasa itulah yang kini dipakai Antasari, yakni peninjauan kembali. Berkas peninjauan kembali sudah hampir rampung dikerjakannya. ”Ini saatnya saya menuntut keadilan,” kata Antasari. Jalan Antasari sepertinya masih panjang, mungkin sama panjangnya dengan hukuman yang dia jalani kalau semuanya normal tak ada rekayasa.

Anton Aprianto, Ayu Cipta (Tangerang)


Fakta versus Rekayasa

Antasari Azhar menuding peradilannya telah direkayasa. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini menuduh hakim mengabaikan fakta sidang dan saksi-saksi yang mementahkan tuduhan ia memerintahkan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Antasari juga menuduh para saksi telah merekayasa bukti dan fakta untuk menjatuhkannya sejak awal. Dihukum 18 tahun penjara, ia mengkritik hakim tak mendalami lebih jauh keterangan para saksi dan bukti yang diperoleh polisi.

Versi Polisi

1. Motif kuat: takut perselingkuhan dengan Rani Juliani terbongkar.

2. SMS ancaman kepada Nasrudin.

3. Antasari melapor dan meminta perlindungan kepada Kepala Polri.

4. Antasari kecewa tim Kapolri tak menemukan bukti pidana Nasrudin: narkoba dan korupsi.

5. Perintah pembunuhan melalui Sigid Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizar.

6. Amplop cokelat berisi data dan foto Nasrudin yang diserahkan Antasari.

7. Antasari memerintahkan anggota staf KPK menyadap telepon Nasrudin.

8. Antasari memberikan Rp 500 juta sebagai biaya operasional membunuh Nasrudin.

9. Rekaman percakapan Antasari dan Sigid soal solusi menghentikan teror.

10.Perintah Antasari menguntit Nasrudin sebagai ”tugas negara”.

11.Ucapan Antasari, ”Saya atau dia yang mati.”

12.Nasrudin ditembak dari jarak dekat. Bukti: pistol revolver S&W Special enam silinder kaliber 0,38, 27 butir peluru, dua selongsong, dan satu proyektil.

Versi Antasari

1. Rani dan serangkaian kejadian sudah disiapkan untuk menjebak Antasari.

2. Tak ada bukti dari penyedia layanan telepon dan SMS, tak ditayangkan dalam sidang.

3. Memohon perlindungan sebagai pejabat negara.

4. Kecewa karena teror kepada keluarganya terus berlangsung.

5. Tak ada rekaman atau bukti perintah tegas membunuh Nasrudin.

6. Isi amplop proposal kerja sama KPK dengan Harian Merdeka.

7. Hanya kesaksian dua anggota staf KPK yang tak hadir di sidang.

8. Hanya pengakuan Sigid. Faktanya, itu uang pinjaman kepada Sigid, tak terbukti dicairkan Antasari.

9. Hipotesis dan asumsi seorang analis rekaman suara.

10.Asumsi dan kesimpulan Sigid kepada Wiliardi.

11.Saksi yang mendengar tak dihadirkan di sidang

12.Pistol S&W rusak dan macet. Diameter peluru di tubuh korban 9 milimeter. Peluru 9 mm tak cocok dengan SW 38.
Mayat sudah rusak ketika diotopsi: ada jahitan, dan baju Nasrudin hilang.

Versi Hakim

Kronologi dan perbuatan Antasari punya hubungan kasualitas dengan tewasnya Nasrudin Zulkarnaen

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus