Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=brown>PERMINYAKAN</font><br />Cilacap, Bukan Soal Usia

Tiga tangki di kompleks kilang minyak Cilacap hangus digarang api. Ini kebakaran ketiga kalinya.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT pukul empat subuh, Sabtu dua pekan lalu, Agung, pekerja kontrak rekanan PT Pertamina Cilacap, baru saja selesai bekerja. Malam sebelumnya, pria 30 tahun itu mendapat giliran memasang tubing baja. Pulang subuh, ia melewati pintu II kompleks kilang minyak Cilacap, Jawa Tengah.

Tiba-tiba tampak api menjalar melalui pipa menuju bagian bawah tangki 31 T-02. ”Cepat sekali, hanya beberapa detik,” katanya Rabu pekan lalu. Dalam sekejap, api mengepung bagian bawah tangki berupa kolam air penampung kebocoran, lalu naik, membekap badan tangki baja.

Tak sampai setengah jam kemudian, silinder baja meledak. ”Duaar...,” Agung mengisahkan. Api berkobar menjilam langit. Agung dan kawan-kawannya, Paimin, Eko, serta Rustam, yang berada 200-300 meter dari tangki, lari berhamburan.

Menurut juru bicara Pertamina Unit Pengolahan Cilacap, Kurdi Susanto, tangki berdiameter 20-an meter setinggi pohon kelapa itu berisi high octane mogas component, zat yang berfungsi menaikkan kandungan oktan dalam proses pembuatan Premium. Zat ini tergolong minyak ringan yang sangat mudah terbakar. Kapasitas tangki 10.487 kiloliter. Tapi, ketika terbakar, volumenya hanya 60 persen.

Unit Pengolahan IV Cilacap merupakan satu dari enam unit pengolahan minyak di Tanah Air. Kilang berkapasitas 348 ribu barel per hari ini tergolong lengkap, memproduksi bensin, bahan baku pelumas, dan zat aromatik.

Kilang Cilacap memasok 34 persen kebutuhan bahan bakar minyak nasional atau 60 persen kebutuhan Jawa. Hampir seluruh bensin yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebagian ke Jakarta (baca ”Kilang Warisan Ibnu Sutowo”).

Polisi segera mensterilkan lokasi kebakaran. Warga yang ramai-ramai menonton diminta menjauh hingga radius 1 kilometer. Kobaran api membesar tertiup angin kencang. Enam branwir milik Pertamina, PT Holcim, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cilacap, dan Pemerintah Kabupaten Cilacap kewalahan menjinakkan api.

Sekitar pukul 14.30, api mulai merambat ke tangki sebelah, 31 T-03. Tabung ini berisi naphtha, bahan baku industri petrokimia. Terdengar ledakan keras. Tangki kedua terbakar. Malam harinya, sekitar pukul 20.00, tangki 31 T-07 bernasib sama.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan tiba di Cilacap pada Senin pagi. Hatta mendatangkan helikopter dari Jakarta. Tim pemadam gabungan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi akan menyemprotkan busa putih dari atas.

Namun rencana itu urung karena penyemprotan busa dari atas tak sesuai dengan prosedur standar. Delapan puluh tenaga pemadam dari berbagai instansi dikerahkan melokalisasi api.

Karen mengatakan prioritas utama adalah mendinginkan tangki 31 T-04, yang posisinya paling dekat dengan tabung ketiga yang terbakar. Tangki ini juga berisi zat penambah angka oktan Premium. Suhu sempat turun menjadi 30 derajat Celsius dari semula 50 derajat Celsius.

l l l

DALAM tempo 20 menit, polisi mengumpulkan 250 sepeda motor. Tukang ojek dan warga dikerahkan dengan iming-iming Rp 20 ribu. Mereka parkir berjajar sepanjang 10 meter di pinggir landasan Bandar Udara Tunggul Wulung, Cilacap, Sabtu malam dua pekan lalu.

Separuh menghadap ke utara, lainnya mengarah ke selatan. Di tengah gelap itu, sorot lampu sepeda motor menerangi garis-garis landasan. Nyala lampu sepeda motor itulah yang memandu pesawat Fokker 27 milik TNI Angkatan Udara mendarat sekitar pukul 21.00.

”Pilot memberi konfirmasi bisa mendarat kepada petugas menara bandara,” kata Kepala Kepolisian Sektor Jeruklegi Ajun Komisaris Fauzan Widiarto kepada Tempo. Lapangan terbang itu sebetulnya tak boleh menerima pendaratan malam. Kondisi darurat memaksa Kepala Bandara Banggas Silitonga memberi izin.

Satu per satu drum berisi air busa dikeluarkan dari lambung pesawat. Tak sampai sejam, 12 ton busa putih dari Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, sudah berpindah tempat. Pagi harinya telah mendarat 5 ton. Pasokan juga datang dari kilang minyak Balongan di Indramayu dan kilang elpiji di Cirebon.

Menurut Sekretaris Perusahaan Pertamina Hari Karyulianto, mereka perlu 40 ton air busa untuk melokalisasi kebakaran. Esoknya, 200 drum busa putih datang lagi dari Jakarta, diangkut menggunakan truk. Hari berikutnya diterima lagi 8,5 ton.

Menurut sumber Tempo, Pertamina Cilacap kedodoran sekali dalam hal standar keselamatan. Fasilitas pemadam terbatas, stok air busa cekak untuk kilang yang tergolong besar. Pasokan busa dari Plaju, misalnya, diangkut truk melalui jalur darat. ”Belum bicara kelaikan atau perawatan infrastruktur,” ujarnya. Padahal kebakaran di kilang Cilacap ini merupakan yang ketiga kalinya, setelah 1995 dan 2008.

Manajer Media Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan prosedur pemadaman tiga tangki agak tersendat. Indikasinya, persediaan busa relatif sedikit sehingga harus didatangkan dari kilang lain. Padamnya api lebih disebabkan oleh habisnya cairan di dalam tangki.

Sejak awal tim berusaha melokalisasi api dengan teknologi seadanya. Perangkat pemadam kebakaran, seperti terminator cannon foam—penyemprot busa jarak jauh dengan debit besar—tak tersedia di Cilacap. Terminator didatangkan dari Balongan. ”Ini pelajaran berharga bagi semua,” kata Wianda. Pekan lalu manajemen Pertamina mengatakan akan mengevaluasi prosedur penanganan kebakaran di semua kilang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengatakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara pasti akan melakukan evaluasi. ”Supervisi atas Pertamina untuk aspek kegiatan harian dan aksi korporasi, termasuk keamanan dan kebakaran, merupakan domain pengawasan Menteri BUMN,” katanya.

Namun Darwin menilai tangki yang terbakar tergolong tua, meski tidak semua yang uzur bermutu jelek. Jarak antartangki juga terlalu dekat. ”Pemerintah akan mengaudit, terutama kilang tua, sebagai dasar membuat regulasi baru,” ujarnya.

Beberapa praktisi perminyakan mengatakan umur bukan ukuran kelaikan sebuah kilang. Tidak sedikit unit pengolah di dalam negeri maupun di negeri tetangga lebih berumur. Di Singapura, misalnya, menurut mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, beberapa kilang sudah lima puluhan tahun beroperasi. Banyak unit di sana dibangun sebelum Cilacap. Yang terpenting adalah pemeliharaan, pengamanan, dan prosedur operasi memenuhi standar keselamatan.

Tolok ukurnya satu, yakni asuransi. Pertamina, kata Ari, telah mengasuransikan semua kilang. Sebelum polis diteken, perusahaan asuransi pasti memeriksa semua aspek. Kondisi kilang menentukan besaran premi yang harus dibayar. Semakin bagus kelaikan suatu proyek, makin rendah tingkat risiko, maka biaya asuransi menjadi murah. Demikian pula sebaliknya.

Ari menambahkan, desain awal kilang-kilang Pertamina sebetulnya telah memenuhi standar American Petroleum Institute dan American Standard of Testing Material, termasuk prosedur keamanan operasi, juga jarak antartangki. ”Kalau tidak memenuhi, asuransi pasti mempermasalahkan sejak dulu.”

Persoalannya adalah implementasi di lapangan. Selama ini sering kali terjadi kelalaian prosedur dan kekhilafan manusia. ”Ingat kebakaran Depo Plumpang,” kata Ari. ”Itu karena seorang petugas keamanan mau nyolong.”

Praktisi perminyakan lain, Agus Budihartono, juga tak sepakat faktor usia kilang menjadi kambing hitam. Pada saat proyek dirancang berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. ”Kalau sudah disetujui, baru boleh jalan,” kata bekas Vice President Pengembangan Bisnis Elnusa ini.

Begitu pula ketika kilang beroperasi, secara periodik dilakukan pemeriksaan kelayakan. Artinya, kata dia, ”Bila perawatan oke dan pengawasan berjalan, umur 40 pun enggak jadi masalah.”

Sampai pekan lalu penyebab kebakaran belum bisa dipastikan. Kepolisian masih terus melakukan audit forensik. Beruntung, Rabu sore pekan lalu, api padam. Pada saat itu juga, kata Karen, kilang yang sebagian sempat berhenti beroperasi dijalankan kembali.

Produksi dan distribusi bensin mesti normal kembali. Bila tidak, ongkos akan semakin besar. Selama lima hari darurat saja, Pertamina harus menyiapkan 400 ribu barel Premium untuk depo-depo yang biasanya dipasok kilang Cilacap.

Retno Sulistyowati, Evana Dewi, Aris Andrianto (Cilacap)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus