Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Jatah Gas Bukit Tua

BP Migas membatalkan perjanjian awal PT Perusahaan Gas Negara dengan Petronas. Perusahaan milik negara itu akan kehilangan potensi rezeki jumbo. Akankah peluang emas ini jatuh ke tangan Petrogas, korporasi milik pemerintah Jawa Timur, yang sangat ekspansif?

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDUNG mengiringi pertemuan Nyoman Ngurah Widiyatnya dengan Melanton Ganap di kantor pusat PT Pembangkitan Jawa-Bali di kawasan Ketintang, Surabaya, Selasa siang dua pekan lalu. Melanton, General Manager Surabaya II PT Perusahaan Gas Negara, dan timnya menyodorkan rencana kerja sama penyediaan gas buat pembangkit listrik milik Pembangkitan Jawa-Bali. ”Mereka mengajukan rancangan nota kesepahaman pasokan gas dari Lapangan Bukit Tua,” kata Nyoman, Manajer Komersial Pembangkitan Jawa-Bali, kepada Tempo.

Pabrik gas pelat merah itu kini sedang ngebet mendekati Pembangkitan Jawa-Bali. Anak usaha PT PLN (Persero) ini sedang giat-giatnya mencari gas untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Gresik. Sudah 10 tahun pembangkit listrik di Desa Sidorukun di kota yang dikenal dengan penganan khas bernama pudak itu kekurangan gas. Setiap hari pembangkit berbahan bakar gas pertama di Indonesia ini hanya mendapat pasokan gas rata-rata 190 juta kaki kubik dari total kebutuhan 330 juta kaki kubik.

Walhasil, selama itu pula pembangkit listrik Gresik terpaksa membakar solar untuk menghidupkan tiga dari total sembilan turbinnya. Padahal penggunaan solar lebih mahal tiga kali lipat dibandingkan dengan gas. Gara-gara kekurangan pasokan gas 140 juta kaki kubik itu, unit PLN ini harus mengeluarkan ongkos ekstra pembelian solar sebesar US$ 1,68 juta (sekitar Rp 15,1 miliar) saban hari atau Rp 5,5 triliun dalam setahun untuk memenuhi kebutuhan pembangkit Gresik.

Meski berat, apa boleh buat, Pembangkitan Jawa-Bali tetap memakai solar. Bila itu tak dilakukan, target produksi listrik 2.200 megawatt buat kebutuhan Pulau Jawa dan Bali bakal meleset. ”Itu sebabnya kami akan selalu menerima tamu yang menawarkan gas,” kata Nyoman. Karena itulah pemasok gas milik negara ini menyodorkan rencana pasokan gas dari Lapangan Bukit Tua, yang kini dikelola oleh PT Petronas Carigali Ketapang II. Korporasi pelat merah itu bermodal perjanjian awal (head of agreement) alokasi gas dengan Petronas, yang diteken November tahun lalu.

Ternyata modal itu tak membuat Pembangkitan Jawa-Bali begitu saja mau menerima tawaran PGN. Dua jam lebih Melanton meyakinkan Nyoman, pertemuan tetap tak membuahkan hasil. Rupanya Pembangkitan Jawa-Bali sudah bersepakat lebih dulu dengan PT Petrogas Jatim Utama. Perusahaan milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu juga menawarkan pasokan gas dari ladang yang sama, yakni Lapangan Bukit Tua. ”Kami harus menghormati nota kesepahaman yang sudah diteken bersama Petrogas,” ujar Nyoman.

Di tengah gerimis, Melanton dan timnya melenggang keluar dari kantor pusat Pembangkitan Jawa-Bali. Dihubungi Rabu pekan lalu, Melanton membenarkan pertemuan itu, tapi menolak mengomentari urusan gas dari Lapangan Bukit Tua. ”Lebih tepat tanyakan saja ke Jakarta (PGN pusat),” ujarnya.

lll

LAPANGAN Bukit Tua terletak di perairan Pulau Madura, Jawa Timur, sekitar 100 kilometer arah timur laut dari Kota Surabaya. Lapangan ini diperkirakan menimbun cadangan 50 juta hingga 80 juta barel minyak dan 100 miliar kaki kubik gas. Gas inilah yang ditawarkan PGN kepada Pembangkitan Jawa-Bali. ”Sejak tiga tahun lalu kami menjalin perjanjian awal dengan pemilik Bukit Tua,” kata Sekretaris Perusahaan PGN Wahid Sutopo kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.

PGN telah meneken perjanjian awal dengan ConocoPhillips—kontraktor awal Blok Ketapang, yang di dalamnya termasuk Lapangan Bukit Tua. Saat itu Blok Ketapang dimiliki bersama Conoco dan Petronas. Namun, sejak 2008, Lapangan Bukit Tua beralih ke Petronas Carigali Ketapang. PGN mengamendemen perjanjian dengan Petronas pada November tahun lalu.

Semua perjanjian ini sudah disodorkan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 2001, pengelolaan usaha hulu minyak dan gas beralih dari pemerintah ke BP Migas. Dengan persetujuan BP Migas-lah head of agreement bisa ditingkatkan menjadi perjanjian jual-beli gas (gas sales agreement). Tapi sampai kini BP Migas tak kunjung mengeluarkan keputusan buat PGN. Alhasil, perusahaan itu belum bisa meneken perjanjian jual-beli gas dengan Petronas.

Deputi Pengendalian Operasi BP Migas Budi Indianto mengatakan pihaknya tak bisa menyetujui head of agreement PGN karena rencana pengembangan Lapangan Bukit Tua tak kunjung pasti. Terlebih setelah Conoco menyerahkan pengelolaan lapangan itu kepada Petronas. Pada saat bersamaan, kata dia, pemerintah sedang mencari gas buat kepentingan pembangkit listrik di Jawa Timur. Ladang Bukit Tua jadi solusinya. ”Kami harus mempertimbangkan betul pemanfaatan gas tersebut,” ujarnya.

Menurut sumber Tempo, saat pemerintah mengevaluasi pemanfaatan gas Bukit Tua, Petrogas muncul meminta kuota gas kepada BP Migas awal tahun lalu. Jalan Petrogas makin lempeng setelah, pada September 2010, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan gas dari Bukit Tua akan dimanfaatkan buat kebutuhan pembangkit listrik. Dengan keputusan ini, ”Head of agreement PGN dengan Petronas tak berlaku lagi,” ujarnya.

BP Migas, kata sumber itu, membatalkan perjanjian awal PGN dengan Conoco dan Petronas karena kontrak itu belum mengikat sama sekali. Dalam perjanjian itu, PGN juga belum memerinci harga jual-beli, penggunaan, dan rencana pendistribusian gas dari Bukit Tua.

Sontak, PGN sewot. Penggunaan detail gas, kata Wahid, akan muncul bila perjanjian lanjutan dengan Petronas disetujui BP Migas. Dalam perjanjian lanjutan, PGN akan membangun pipa gas dari kawasan Maspion V—titik didaratkannya pipa gas bawah laut dari Bukit Tua yang dibangun Petronas—untuk disambung dengan pipa yang sudah dimiliki perseroan di dekat daerah tersebut.

Sadar peluangnya terbuka, Petrogas mendekati Pembangkitan Jawa-Bali. Keduanya lalu meneken nota kesepahaman pada 27 Oktober 2010. Nota kesepahaman dengan Pembangkitan Jawa-Bali ini sebagai syarat mendapatkan gas dari Petronas. Kepada calon mitranya itu, Petrogas berjanji seluruh gas dari Bukit Tua akan diserahkan kepada pembangkit listrik Gresik. ”Inilah yang membuat Pembangkitan Jawa-Bali mau, sedangkan PGN dari dulu tak bisa memastikan hal ini,” kata sumber Tempo tersebut.

Skema penggunaan gas buat pembangkit Gresik juga sempat dipresentasikan Petrogas dalam rapat bersama BP Migas dan Petronas di Jakarta, 5 November tahun lalu. Sayangnya, manajemen Petronas Carigali belum bisa dimintai konfirmasi. Pertanyaan Tempo dan surat permohonan wawancara lewat e-mail dan faksimile belum direspons. Adapun Direktur Utama Petrogas Abdul Muid mengatakan korporasi yang ia pimpin tak main-main meminta kuota gas.

Petrogas sudah menjajaki beberapa sumber pembiayaan dan calon investor untuk membangun pipa gas bila BP Migas menyetujui jual-beli gas dengan Petronas. Muid enggan memerinci lembaga keuangan dan identitas investornya. Yang terang, kata dia, alokasi gas kepada Petrogas wajar saja. Apalagi selama ini Provinsi Jawa Timur tak pernah kebagian gas dari perusahaan migas yang beroperasi di wilayahnya. ”Pasokan gas selalu diberikan kepada PGN,” ujarnya. ”Kami juga butuh pendapatan lain di luar kepemilikan konsesi (participating interest).” (lihat ”Ambisi Besar Dividen Kurang”)

Wahid menyesalkan keputusan BP Migas karena perjanjian awal dengan Conoco dan Petronas secara hukum seharusnya sudah cukup kuat buat PGN memperoleh kuota gas dari Bukit Tua. Apalagi, ujar dia, penyusunan perjanjian awal tersebut juga disupervisi BP Migas. ”Kami ingin agar sikap BP Migas konsisten,” katanya.

Menurut Wahid, PGN memang tak menderita kerugian akibat pembatalan kontrak dengan Petronas itu. Namun perseroan bisa kehilangan potensi pendapatan di Jawa Timur jika gas Bukit Tua diambil alih Petrogas. Wahid menghitung alokasi 70 juta kaki kubik gas per hari dari Bukit Tua untuk pembangkit listrik Gresik setara dengan 8 persen dari 824 juta kaki kubik gas yang didistribusikan PGN saban hari. Tahun lalu, dari bisnis distribusi gas saja, PGN meraup pendapatan Rp 18 triliun.

Budi Indianto membantah BP Migas menganakemaskan Petrogas. Hingga saat ini lembaganya belum memutuskan perusahaan yang akan memperoleh jatah gas Bukit Tua. Yang pasti, ujar dia, gas Bukit Tua harus dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Direktur Niaga Pembangkitan Jawa-Bali Adi Supriyono tak mau ikut berpolemik. Bagi PLN, yang terpenting saat ini pemerintah kudu segera memutuskan perusahaan yang berhak memperoleh jatah gas untuk dipasok ke pembangkit listrik Gresik. Sebab, setelah pemerintah memutuskan pembelinya, paling cepat dua tahun kemudian gas bisa mengalir ke pembangkit. Kalau tidak, ”Makin lama makin sulit bagi kami untuk menghemat biaya,” katanya.

Agoeng Wijaya, Kukuh S. Wibowo, Fatkhurochman Taufiq (Surabaya)

Lokasi:
Kompleks Ketapang PSC

Posisi:
Laut Jawa, 30 kilometer utara Madura

Kedalaman:
2.049 m

Cadangan gas:
150 miliar kaki kubik

Cadangan minyak:
80 juta barel

Operator:
Petronas Carigali

Rencana pipa:
110 kilometer

Sumber: Petrogas Jatim Utama, riset, wawancara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus