Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASNUL Suhaimi gembira sekali. Wajahnya berseri-seri. Direktur Utama PT XL Axiata ini memang sedang bungah. Maklum saja, sepanjang 2010, kinerja perusahaannya sangat kinclong.
Kamis dua pekan lalu, dalam penjelasan resmi ke publik dan Bursa Efek Indonesia, XL Axiata mengumumkan pendapatan Rp 17,6 triliun, naik sepertiga kali lipat dibanding periode 2009. Keuntungan perusahaan milik Khazanah Bhd, Malaysia, itu melonjak 70 persen menjadi Rp 2,9 triliun. "Dengan tarif murah, kami masih bisa tumbuh tinggi," ujar Hasnul kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Sementara XL Axiata sedang cemerlang, PT Indosat, pesaing terdekat XL, justru sebaliknya. Laba Indosat anjlok lebih dari separuhnya. Adapun PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) meraih pendapatan besar, Rp 68,6 triliun. Tapi pertumbuhan pendapatan perusahaan milik negara ini rendah, hanya 1,4 persen dibanding tahun lalu. Laba Telkom naik tipis, kurang dari 2 persen, menjadi Rp 11,5 triliun. Telkom terus memutar otak agar pendapatannya bisa melejit lagi (lihat "Mencari Pasar Baru").
Tahun lalu periode sulit bagi perusahaan telekomunikasi. Sumber Tempo berbisik, dari 10 perusahaan telekomunikasi di Indonesia, hanya dua perusahaan yang labanya tumbuh pada 2010, yakni XL dan Telkom. Pertumbuhan keuntungan delapan operator lainnya minus bahkan rugi besar. "Itu dipaparkan di Kementerian Badan Usaha Milik Negara dua pekan lalu," ujar sumber Tempo.
Kurang gemerlapnya kinerja perusahaan telekomunikasi akibat perang tarif seluler. "Banting-bantingan harga masih terjadi," sumber Tempo menambahkan. Pungutan besar oleh pemerintah daerah terhadap menara telekomunikasi ikut menggerus laba operator seluler. Khusus Indosat, kata Group Head Segment Management Insan Prakasa, penurunan laba lantaran rendahnya keuntungan kurs, pembayaran utang, dan tingginya depresiasi.
PERANG tarif seluler sudah dimulai tiga tahun lalu. Puncak persaingan terjadi pada 2008. Tapi sampai sekarang pertempuran antar-operator seluler belum usai. Lihat saja XL, yang memberikan tarif gratis pada jam-jam sibuk setelah 19 detik pertama menelepon. Telkomsel juga menawarkan tarif cuma-cuma berjam-jam setelah satu menit pertama. Indosat menawarkan Paket Obral-Obrol Rp 1.000 setelah menelepon selama semenit.
Natrindo Telepon Seluler tak ketinggalan. Operator Axis ini mengiming-imingkan tarif gratis 1.000 menit. Hutchinson Indonesia, operator Three, menawarkan tarif Rp 15 per menit. Adapun tarif pesan pendek (SMS) malah lebih heboh. Hampir semua operator memberi ribuan SMS gratis kepada pelanggan.
Konsumen senang dengan perang bubat antar-operator seluler itu karena tarif semakin murah. Empat tahun lalu, tarif seluler di Indonesia rata-rata Rp 900-an per menit, termahal di Asia-Pasifik. Tapi sekarang rata-rata Rp 100 alias cuma cepek semenit, termurah kelima di dunia atau paling rendah di Asia Tenggara. Tarif seluler paling murah di dunia masih dipegang India, Rp 40-50 per menit.
Sebaliknya, operator menelan ludah lantaran pendapatannya berkurang setelah menyodorkan tarif rendah. Seorang petinggi perusahaan telekomunikasi bercerita, empat tahun lalu rata-rata pendapatan per pelanggan sekitar Rp 1.200. Tapi, gara-gara bersaing tarif, pendapatan ini tinggal Rp 220 per pelanggan. Toh, operator seluler mau memberikan tarif miring. "Harapannya jumlah pelanggan naik," ujarnya. Penurunan pendapatan, ujarnya, bisa ditutup dari bisnis data dan Internet yang masih tumbuh baik.
Tak semua operator senang perang tarif. Salah satunya Natrindo. Perusahaan milik Saudi Telecom ini kewalahan mengikuti adu tarif rendah para gajah dan pemain lama: Telkomsel, XL, dan Indosat. Vice President Sales & Distribution Axis Syakieb A. Sungkar mengatakan, operator baru-termasuk Natrindo-butuh waktu untuk membangun jaringan. Alhasil, agar dikenal konsumen, para pemain baru menggenjot strategi pemasaran, termasuk mengeluarkan jurus obral tarif. "Jika pemain lama ikut mengobral tarif, itu sama saja menutup peluang kami sebagai pemain baru," ujarnya kepada Tempo di Jakarta.
Kamis tiga pekan lalu, perusahaan eks Lippo Group itu melayangkan surat ke Badan Regulasi Telekomunikasi (BRTI) dan meminta pembatasan tarif bawah. "Di Singapura dan Arab Saudi batas bawah ini juga diatur," ujar Syakieb. Anggota BRTI, Heru Sutadi, mengatakan surat dari Natrindo telah diterima. "Mereka belum datang ke sini," ujarnya.
Operator umumnya tak keberatan tarif bawah seluler diatur. "Kalau pemerintah mau mengatur, kami ikut," ujar Hasnul. Meski demikian, ujar dia, rata-rata tarif seluler Rp 100 per menit sudah pas. Sekretaris Perusahaan Telkomsel Aulia E. Marintho setuju ada pembatasan tarif bawah. "Agar industri seluler menjadi sehat," ujarnya. Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah menambahkan, tarif seluler jangan terlalu rendah karena akan memangkas pendapatan. Jika pendapatan rendah, investasi jaringan minim. "Kualitas layanan dikhawatirkan menurun," katanya.
Keinginan Natrindo masih membentur tembok. Kementerian Komunikasi belum punya rencana mengatur batas bawah tarif retail seluler. "Kami tak punya instrumen mengawasi tarif retail," kata juru bicara Kementerian, Gatot Dewa Broto. "Kami hanya bisa mengatur tarif interkoneksi."
Hal itu segendang sepenarian dengan Badan Regulasi Telekomunikasi. Lembaga ini condong membiarkan tarif menurut mekanisme pasar. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, menurut Heru, menyarankan regulator membiarkan saja tarif seluler terbawah. Alasannya, bila tarif bawah ditetapkan, batas itu akan dipakai oleh operator. Buntutnya, konsumen tak pernah bisa menikmati tarif murah. "Itu pernah terjadi dengan tarif SMS yang dipatok Rp 250. Padahal ongkos produksinya hanya Rp 76."
Padjar Iswara
Laba/(rugi) emiten telekomunikasi (miliar rupiah)
Emiten | 2009 | 2010 | Pertumbuhan (%) |
Indosat | 1.498,2 | 647,1 | (56,8) |
XL Axiata | 1.709,5 | 2.891,2 | 69,1 |
Mobile-8 | (724,4) | (1.401,8) | (98,5) |
Bakrie Telecom | 98,442 | 9,975 | (89,9) |
Telkom | 11.399 | 11.537 | 1,2 |
Keterangan: ( ) = rugi |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo