Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELUAR dari lift, lelaki muda itu terlihat kuyu. Dua kancing hem biru mudanya terbuka. Bergegas, Patrick Walujo menuju halaman Wisma Bakrie 2, Kuningan, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Sebuah Lexus Sport hitam telah menanti. Tak ada jawaban panjang ketika ditanya soal transaksi PT Northstar Pacific dengan PT Bumi Resources. ”Belum sekarang,” katanya sambil melangkah ke mobil.
Dalam pekan-pekan terakhir ini, gedung milik kelompok usaha Grup Bakrie itu seakan kantor kedua Patrick. Nakhoda perusahaan investasi Northstar itu makin sering menyambangi markas Bumi tersebut. Maklum, ia sedang meminang 35 persen saham induk usaha PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin itu. Dan malam itu adalah tenggat terakhir sebelum memutuskan transaksi saham hari berikutnya.
Cerita ini dimulai dua bulan lalu. Krisis keuangan global yang dipicu oleh masalah kredit perumahan (subprime mortgage) di Amerika menghantam pasar modal dunia. Indeks bursa efek Indonesia jatuh bebas setelah libur panjang Lebaran. Untuk menahan makin terpuruknya indeks, otoritas bursa menghentikan perdagangan.
Di antara para emiten, penurunan saham Bakrie & Brothers dan anak-anak usahanya termasuk yang paling tajam. Saham Bumi, misalnya, pada Juni lalu setiap lembarnya sempat mencapai Rp 8.550. Siapa sangka, harganya terus merosot. Pada 6 Oktober saham ini hanya ditransaksikan pada level Rp 2.175. Begitu juga dengan saham Bakrie yang lain seperti PT Bakrieland Development, seperti PT Bakrie Sumatera Plantation, PT Bakrie Telekom, dan PT Energi Mega Persada. Kapitalisasi pasarnya pun mengerut dari Rp 283,83 triliun pada awal tahun menjadi Rp 70,83 triliun sebelum bursa disuspensi.
Tekanan terhadap saham itu diperparah kabar bahwa Bakrie kesulitan membayar sejumlah utang. Yang membuat runyam adalah uang pinjaman itu diperoleh dengan menggadaikan saham (repurchase agreement) anak perusahaan. Misalnya untuk mendapat dana US$ 1,086 miliar dari Oddickson Finance, Bakrie menggadaikan 3,7 miliar saham Bumi, 4,8 miliar saham Energi, dan 3,8 miliar saham Bakrieland. Metode repo ini dilakukan pula kepada sembilan kreditor yang lain, seperti Recapital Securities, JP Morgan, Mandiri Sekuritas, dan Dinar Sekuritas.
Nah, total jenderal dana yang diraup US$ 1,386 miliar dan Rp 560,81 miliar. Hingga awal bulan lalu baru secuil yang dilunasi. Utangnya masih US$ 1,192 miliar dan Rp 510,81 miliar. Untuk menyelesaikan beban ini, rupanya kantong Bakrie tak cukup sehat. Agar dana segar masuk, diputuskan menjual 35 persen saham Bakrie di Bumi, langkah yang diragukan banyak pihak. ”Bumi kan mesin uang utama Bakrie,” kata seorang analis.
Benar juga, Bakrie tak cepat memutuskan dari sekian investor yang berminat. Salah satu tarik-menarik yang alot adalah permintaan pembelian kembali saham. Selain itu, tentu soal nilai saham. Satu per satu investor yang ingin masuk gugur, seperti Avenue Capital Group, Noonday Asset Management, dan Grup Tata. Yang tersisa adalah Northstar dan San Miguel Corporation, perusahaan makanan dan minuman terbesar di Filipina.
Pada 31 Oktober silam, Northstar akhirnya berhasil menang dalam persaingan itu. Menurut Presiden Direktur Bumi Ari S. Hudaya, untuk membeli 35 persen saham perusahaannya, Northstar berani memberi angka US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 2.000 per lembar, angka yang diperkirakan menutup utangnya. Dalam perjanjian ini disepakati Northstar diberi waktu 28 hari untuk menyelesaikan uji tuntas. Untuk melakukan due diligence ini, Northstar mempercayakan kepada PricewaterhouseCoopers, UBS Securities, dan Melli Darsa and Co.
Harapannya, sales and purchase agreement itu memberikan sentimen positif bagi saham Bumi, yang kembali diperdagangkan pada 6 November lalu. Namun, apa lacur, pada hari pertama itu saham Bumi malah jatuh 100 poin menjadi Rp 1.975. Penurunan ini terus berlanjut dan selalu terkena penghentian secara otomatis (auto rejection) batas bawah. Dua pekan lalu, selama dua hari Bumi bahkan bertengger di level Rp 710.
Angka ini menjadi problematis bagi Northstar, yang menyanggupi membeli di level tinggi. Tiga badan usaha negara yang disebut-sebut tergabung dalam konsorsium Northstar, yakni PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, dan PT Timah, menjadi ciut nyali. ”Pasti mereka tidak berani. Bisa diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan,” kata pejabat Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Direktur Utama Bukit Asam, Sukrisno, yang pada mulanya mendukung penuh, terang-terangan undur diri. ”Kami butuh modal kerja sangat besar,” kata Sukrisno beralasan.
Untuk pertama kali dalam dua bulan terakhir, pekan lalu harga Bumi naik fantastis, sampai 10 persen, sehingga terkena auto rejection batas atas. Pasar pun menebak-nebak. Sejumlah analis mengatakan, ini salah satu upaya Bakrie mendongkrak saham agar selisihnya tak terlalu jauh dari penawaran Northstar. Bila benar, menurut analis dari BNI Sekuritas Noriko Gaman, itu merupakan langkah rasional. Pasalnya, harga premium yang wajar tidak lebih dari 15 persen. ”Kalau tidak, perlu negosiasi ulang,” katanya.
Informasi lain mengatakan, uang yang masuk berasal dari hedge fund asing. Bloomberg menyebutkan salah satu yang bermain adalah George Soros, melalui Citadel Investment Group, yang tengah mengincar saham-saham perusahaan tambang. Direktur Utama PT Financorpindo Nusa Edwin Sinaga mengatakan, siapa pun yang masuk tak jadi soal. ”Pasti karena melihat harga Bumi sudah undervalued,” kata Edwin.
Apa pun upaya mendongkrak Bumi, dua analis tersebut sepakat secara fundamental tidak ada hal serius yang mengganggu bisnis perusahaan tambang tersebut. Aset produksi perusahaan, batu bara, merupakan komoditas penting pada masa mendatang. ”Bila melihat perkembangan sektor energi, mestinya harga Bumi Rp 3.000 hingga Rp 3.500,” kata Edwin.
Walau demikian, menurut Noriko, gelapnya informasi tentang keadaan Bakrie menimbulkan sentimen negatif. Salah satunya ketidakpastian struktur kepemilikan Bumi. Apalagi setelah Patrick mengatakan Northstar tidak akan mengambil alih mayoritas saham Bumi,tapi hanya 10-20 persen. Atau malah muncul kabar transaksi batal. Selain itu, siapa pemegang repo juga masih menjadi tanda tanya publik. Karena inilah harga Bumi pekan lalu cukup fluktuatif.
Menanggapi hal itu, Patrick meyakinkan Northstar tidak akan lari dari gelanggang. Menurut dia, begitu banyak yang mesti diselesaikan, seperti penentuan harga saham dan mekanisme pembayaran. ”Kami mengincar Bumi sejak dua tahun lalu,” kata Patrick.
Di pihak lain, menjelang berakhirnya uji tuntas, Bakrie masih berkecipuk menyelesaikan negosiasi dengan para kreditornya. Seperti pada Kamis pekan lalu, Ari S. Hudaya secara maraton menerima para pemegang repo. Negosiasi yang dilaksanakan di lantai 17 hingga 19 Wisma Bakrie itu berlangsung hingga Jumat dini hari.
Namun tebak kacang berapa besar saham yang dibeli dan pada posisi berapa meleset dari perkiraan banyak orang. Jumat pekan lalu, satu jam menjelang pergantian tanggal 29, Presiden Direktur Bakrie & Brothers Nalinkant A. Rathood mengatakan, kesepakatan yang dicapai adalah Northstar akan menjadi partner strategis Bumi. Caranya, Northstar akan mengambil alih utang Bumi ke Oddickson sebesar US$ 575 juta. Imbalannya akan mendapat saham Bumi. ”Ini win-win solution,” kata Nalinkant.
Sayang, uji tuntas yang memakan hampir satu bulan itu belum menghasilkan bagaimana cara pembayaran dan berapa besar saham yang diterima Northstar. Apalagi bila melihat utang Bakrie yang mestinya masih bejibun, penyelesaian dengan para pemegang repo makin terulur. Namun Nalinkant buru-buru meyakinkan bahwa semua utangnya tinggal US$ 200 juta dengan masuknya Northstar. Dan sisa utang itu akan dilunasi pada akhir bulan ini.
Seorang analis merasa heran mengapa Northstar mau menerima kesepakatan tersebut. Menurut dia, bila Patrick hanya mendapat sekitar 20 persen, perusahaan investasi itu tidak menjadi pengendali. Artinya, Northstar tidak bisa mengontrol secara langsung. Bila ini terjadi, ”Pasar gamang siapa sebenarnya yang memiliki Bumi,” katanya.
Namun sumber dekat Patrick mengatakan, menantu mantan Presiden Direktur PT Astra International Theodore Permadi Rachmat itu tergiur kandungan batu bara yang makin melimpah. Kabarnya, setelah Juni lalu diketahui cadangan batu bara bertambah dari 1,3 miliar ton menjadi 1,8 miliar ton, laporan terbaru menyebutkan adanya penemuan cadangan baru sehingga menjadi 2,2 miliar ton. ”Betapa banyaknya itu,” katanya. Patrick tampaknya lebih mengincar itu ketimbang menjadi penguasa Bumi.
Muchamad Nafi, Cornila Desyana, Sahala Lumban Raja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo