Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMHAR selama seminggu kemarin tidak banyak bekerja. Beban pekerjaan pengurus Koperasi Unit Desa Budi Karya Klitik, Kecamatan Geneng, Ngawi, Jawa Timur, yang sehari-hari mengurusi distribusi pupuk bersubsidi ini sudah jauh berkurang. Biasanya pupuk datang dua hari sekali. Belakangan datangnya hanya sepekan sekali. Itu pun jumlahnya susut dari semula 7,5 ton menjadi 3 ton.
Tapi Kamhar kini punya banyak teman mengobrol. Puluhan petani selalu menemaninya setiap hari. Mereka antre menunggu pupuk bersubsidi datang. Setiap hari, paling kurang mereka harus menunggu empat jam sebelum memperoleh jatah pupuk 50 kilogram per orang. Koperasi unit desa itu memang menjadi tumpuan terakhir para petani untuk memperoleh pupuk murah.
Di kios-kios pertanian di Ngawi kini makin sulit memperoleh pupuk bersubsidi. Yang ada hanyalah pupuk nonsubsidi yang harganya selangit. Pupuk urea dan NPK di kios-kios itu dijual masing-masing Rp 500 ribu dan 300 ribu per kuintal. Harga itu jauh lebih tinggi dibanding harga urea dan NPK bersubsidi, yang hanya Rp 120 ribu dan Rp 180 ribu per kuintal.
Padahal, menurut Sales Supervisor Pupuk Petrokimia Gresik Jawa Timur 1 Kris Suwanto Basuki, pasokan pupuk tidak pernah berkurang. Di Kabupaten Ngawi, misalnya, stok urea sebanyak 7.600 ton, ZA 2.216 ton, SP 36 5.140 ton, Phonska 3.180 ton, dan Petroganik sekitar 1.887 ton. ”Jumlah itu sesuai dengan kebutuhan petani,” katanya.
Kelangkaan pupuk terjadi merata di sejumlah daerah, terutama di Jawa Timur. Para petani pun berteriak karena harganya jadi melonjak. Teriakan petani akhirnya sampai ke Istana. Saat membuka Jambore dan Festival Karya Penyuluh Pertanian di Cibodas, Cianjur, Jawa Barat, Ahad dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta tiap pihak mengawasi distribusi pupuk bersubsidi.
Esoknya, pemerintah menggelontorkan 300 ribu ton pupuk urea ke petani—200 ribu ton untuk daerah yang mengalami defisit pupuk dan 100 ribu ton dalam bentuk operasi pasar. Jumlah itu dinilai cukup untuk mengatasi kelangkaan karena kebutuhan per bulan saat masa tanam lazimnya 300 ribu ton.
Polisi pun ikut sibuk mengawasi distribusi pupuk. Dua pekan lalu, Kepolisian Resor Ngawi menyita empat ton pupuk yang akan ”diselundupkan” ke Blora, Jawa Tengah. Dua orang ditangkap karena tidak bisa menunjukkan surat distribusi pupuk bersubsidi. Mereka diduga melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Seorang distributor mengaku selalu lolos dari incaran polisi karena mengantongi surat jalan pengiriman pupuk bersubsidi ke luar wilayah kekurangan pupuk.
Bisnis pupuk bersubsidi memang gurih. Alih-alih digunakan petani sasaran program, pupuk sering kali berbelok untuk berbagai kepentingan. Hukum pasar pun terjadi, harga membubung. Apalagi saat ini sedang musim tanam. Harga pupuk urea di salah satu kios di Jember, Jawa Timur, kini mencapai Rp 220 ribu per kuintal, hampir dua kali lipat harga eceran tertinggi (HET) Rp 120 ribu.
Inti masalah ”lagu lama” ini adalah selisih harga pupuk bersubsidi dan pupuk nonsubsidi sangat jauh. Bandingkan harga pupuk bersubsidi urea, NPK, dan ZA, yang masing-masing Rp 1.200, Rp 1.750, dan Rp 1.050 per kilogram, dengan harga pupuk nonsubsidi, yang kini di atas Rp 2.100 per kilogram. ”Mungkin hanya malaikat yang tak tergiur menyelewengkan pupuk,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Fadhil Hasan.
Perbedaan harga pula yang diduga mendorong distributor nakal mengekspor pupuk ketimbang menjual di dalam negeri. Dengan harga pupuk urea internasional kini sekitar US$ 260 per ton—turun dari rekor Maret lalu US$ 800-an—menjual pupuk di pasar internasional tetap lebih menguntungkan. Fee memasok pupuk ke kios pun sangat minim, hanya Rp 10 per kilogram.
Modus lain, pupuk urea bersubsidi dijual ke industri tekstil dan daur ulang kertas, yang membeli Rp 2.200 per kilogram, dua kali lipat dari harga pupuk bersubsidi. Agar tak kentara, tulisan ”subsidi” di karung dihapus dengan cairan khusus agar mirip pupuk nonsubsidi. Jurus lawas juga masih jitu. Misalnya, pengecer tak resmi—yang sebenarnya tukang becak atau tukang ojek—menyamar dan antre pupuk bersama para petani.
Distributor pupuk dari luar kota juga dituding menyelewengkan pupuk bersubsidi. Di Jember, dari tujuh distributor resmi, lima di antaranya berasal dari Surabaya. Karena dari luar kota, otoritas di Jember sering sulit memantau mereka. Tak jarang petani nekat. Dalam tiga pekan terakhir, tercatat delapan kali truk pembawa pupuk bersubsidi dihadang petani. Bukan berniat menjarah, mereka mau membeli paksa pupuk.
Karena itu, pengelola gudang milik PT Pupuk Kaltim di Jember sejak Senin pekan lalu menyiapkan dokumen delivery order per hari untuk pengiriman 650 ton, padahal biasanya per minggu. Tapi Sales Representative PT Pupuk Kaltim di Jember, Sugiono Masheri, menyatakan stok pupuk urea bersubsidi masih aman. Bulan ini, total stok 11 ribu ton, naik tiga kali lipat dari tiga bulan sebelumnya. Begitu juga di gudang PT Petrokimia Gresik di Jember. Direktur Utama PT Pupuk Sriwijaya Dadang Heru Kodri bahkan memastikan tidak ada pengurangan produksi. Artinya, pupuk seharusnya ada di kios-kios dengan harga normal.
Untuk mencegah pupuk bersubsidi diselewengkan, sebetulnya pemerintah telah memulai sistem distribusi tertutup. Dengan begitu, data riil kebutuhan pupuk sesuai dengan area yang dimiliki petani diajukan ke Menteri Pertanian sebagai rekomendasi alokasi pupuk tahun berikutnya. Dan hanya petani terdaftar yang bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. ”Tapi ini baru efektif 2009,” kata Direktur Bina Pasar dan Distribusi Departemen Perdagangan Jimmy Bela.
Tahun ini kelangkaan pupuk diperparah oleh permintaan yang melonjak, meleset dari alokasi tahun sebelumnya, karena musim tanam berubah, area tanam meluas, serta terjadi kesalahan pola penggunaan pupuk. Soal terakhir ini, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menuding petani Jawa Timur sangat boros. Sebab, untuk per hektare padi yang idealnya hanya butuh 250 kilogram pupuk urea, petani di sana menabur sampai 400-600 kilogram.
Tak mengherankan jika konsumsi pupuk tahun ini jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu. Jika tambahan 300 ribu ton ditambah dengan tambahan alokasi pupuk urea bersubsidi pertengahan bulan lalu 200 ribu ton, hingga akhir tahun nanti sudah digerojokkan 4,8 juta ton pupuk ke petani. Tahun lalu, jumlah pupuk yang dipasok ke petani hanya 4,5 juta ton.
Karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat kabinet terbatas Jumat dua pekan lalu menyerukan semua pabrik bekerja full capacity. ”Revitalisasi industri agar total kapasitas produksi urea naik menjadi 10,31 juta ton per tahun dan BP Migas menjamin ketersediaan gas selama 20 tahun,” kata Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady. Ini sekaligus menjawab keluhan produsen pupuk akan seretnya pasokan gas.
Namun persoalan pupuk sebetulnya bisa diselesaikan dengan cara lain. Kalau pemerintah tetap saja enggan menerapkan harga pasar pupuk, satu-satunya jalan agar tidak terus terjebak di masalah klasik ini, kata pengamat pertanian Bustanul Arifin, pemerintah harus tegas menindak distributor dan pengecer nakal. ”Memang berat karena mensyaratkan governance system dan good government yang lebih baik lagi.” Repotnya, soal itulah yang justru sering menjadi biang keladi kelangkaan pupuk.
R.R. Ariyani, Eko Widianto (Ngawi), Mahbub Djunaidy (Jember)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo