Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan seorang Fortinbras. Pangeran Norwegia yang masih muda ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakespeare, tapi dalam dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga absurditas.
Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Hamlet menyaksikan pangeran itu menggelar pasukan: 20 ribu prajurit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak berangkat tidur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah yang tak berarti, petak yang begitu kecil hingga tak cukup untuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh [akan] disembunyikan”.
Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan: bahkan demi ”sekerat cangkang telur” pun orang macam Fortinbras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tak dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.
Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap kepahlawanan. Tapi kegilaan dan kedahsyatan Fortinbras menggugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikiran—”yang sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap: ia akan bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak berharga.
Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib dan kemungkinan mati dihadapi. Orang tak perlu lagi ”memikirkan terlalu persis apa yang terjadi”. Sebab kita tahu sebagaimana Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar, adil dan tak adil, patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak dapat sepenuhnya tajam dan dapat dikekalkan. Momen keputusan, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang mendesak, momen yang digegas. ”Saat keputusan adalah sebuah kegilaan” (ia mengutip Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah interupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis, hukum, dan ethis—tapi itulah kebebasan.
Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang takut akan ”kegilaan”, waswas akan pikiran ”berlumur darah” dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak selamanya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan luhur dalam niat. Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut sebuah parabel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penonton dari sang pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan. Sang pelaku pertandingan tak akan bisa melihat dari luar gelanggang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh kemasyhuran.
Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat mengambil jarak dari laku yang terjadi di arena itu. Dialah tamsil sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan mengamati dan merenungkan, bios theôrêtikos. Arendt juga mengatakan bahwa dalam risalah Plato tentang ”negarawan”, seorang penguasa yang ideal dikatakan tak bertindak sama sekali. Ia berada di atas perbuatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang bekerja, ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian yang bila perlu menempuh air yang bacin dan lumpur yang bernajis.
Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirundung bimbang? Pangeran Denmark ini, mahasiswa yang perenung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewajiban yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan seperti ”sebuah penjara”. Shakespeare menggambarkan anak muda itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana Elsinore, bergumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar ini—gumam bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa yang mungkin terjadi. Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah dan kematian,
Dan rona asli yang mewarnai tekad
jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat
Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama
Jadi surut, berpaling jalan
Tak lagi bernama tindakan—
Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak bertindak. Tekadnya masih saja ”tersaput pikiran pucat”. Satu hal besar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai penonton—atau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di babak III karya Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertunjukan sandiwara yang menyindir Raja, orang yang kini bertakhta dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang dua bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di malam itu, seperti dikatakannya kepada sahabatnya, Horatio, adalah ”Aku harus seperti tak berbuat apa-apa”.
Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet sebenarnya. Ia telah menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenungkan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku berlangsung tanpa kita mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebelumnya ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama, ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali menganggap itu sebagai cela. Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah kebebasan?
Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan digerakkan seorang Fortinbras. Pada akhirnya, di satu ujung jalan, kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil, dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersifat coba-coba; tak ada yang untuk selama-lamanya. Kita mungkin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal adalah ilusi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo