Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANGKUK sup sirip ikan hiu hangat masih penuh di atas meja yang ditempati Ari Sapta Hudaya di Restoran Lai Ching, Hotel Four Seasons, Jakarta, Selasa siang pekan lalu. Direktur PT Bakrie & Brothers Tbk. ini hanya sedikit mencicipi masakan ala Kanton, Cina, itu lantaran sibuk menggambar notasi akuntansi (T-account) struktur perusahaan dan utang Grup Bakrie di papan tulis kertas.
Lewat rumus dasar akuntansi itu, Ari memaparkan rencana penyelesaian utang perusahaan melalui penerbitan obligasi konversi (convertible bond). Ari, yang juga Direktur Utama PT Bumi Resources Tbk., menjelaskan pula keuntungan pembayaran utang dengan obligasi yang bisa ditukar dengan saham itu. ”Ini yang terbaik untuk melindungi semua pemegang saham,” katanya.
Obligasi konversi itu merupakan bagian dari kesepakatan pengambilalihan utang kepada Oddickson Finance. Seperti ramai diberitakan, pada April 2008, Bakrie & Brothers meminjam duit senilai US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 10 triliun) dari lembaga investasi yang berbasis di Virgin Islands ini. Jaminannya 14,98 persen saham Bumi Resources, 11,92 persen saham PT Bakrieland Development Tbk., 43,2 persen saham PT Energi Mega Persada Tbk., 8,03 persen saham PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk., dan 24,86 persen saham PT Bakrie Telecom Tbk.
Lantaran kesulitan duit tunai, Bakrie & Brothers meminta bantuan Northstar Pacific Partners Limited untuk menyelesaikan utang kepada Oddickson. Perusahaan investasi milik Patrick Waluyo ini akhirnya membeli utang Bakrie & Brothers senilai US$ 575 juta dari Oddickson pada 28 November 2008. Tagihan Oddickson pun beralih kepada Northstar.
Pada 24 Desember lalu, Bakrie & Brothers dan Northstar membentuk perusahaan patungan yang menguasai 21,4 persen saham Bumi Resources. Sesuai dengan kesepakatan, Bakrie & Brothers akan membayar utang kepada Northstar dengan obligasi konversi berjangka waktu setahun senilai Rp 4,2 triliun yang bisa ditukar dengan 38,7-42,6 miliar lembar saham seharga Rp 100-110. Nantinya, Bakrie & Brothers bisa mendapatkan kembali saham lima unit usaha yang telah dijaminkan tadi.
Tapi rencana ini memicu kontroversi baru. Pemicunya, saham yang akan diserahkan kepada Northstar ternyata saham baru Bakrie & Brothers, bukan saham lama milik pengendali perusahaan. Persoalan bertambah rumit karena penerbitan saham baru (penambahan modal) ada kemungkinan dilakukan tanpa hak memesan efek terlebih dulu alias rights issue terbatas. Hak membeli saham baru Bakrie & Brothers hanya akan diberikan kepada Northstar. Pemegang saham mayoritas, juga publik, tak bisa menggunakan haknya membeli saham baru itu. Bayang-bayang dilusi (pengurangan persentase jumlah saham) ada di depan mata.
Tak mengherankan jika rencana aksi perusahaan berkode saham BNBR ini menyengat investor publik. Para pemegang saham minoritas langsung menentang aksi lanjutan Bakrie & Brothers ini karena dianggap tidak fair dan melanggar peraturan Badan Pengawas Pasar Modal nomor IX.D.4. ”Penerbitan saham baru tanpa hak memesan efek terlebih dulu hanya boleh maksimal lima persen,” kata Sekretaris Umum Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia Sanusi kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Saham baru yang akan dikeluarkan mencapai 30-31 persen dari total saham yang dikeluarkan Bakrie & Brothers
Ahli hukum pasar modal Indra Safitri malah lebih tegas. Dalam dunia pasar modal, kata dia, penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dulu tak lazim. Dalam penerbitan saham baru, ujarnya, pemegang saham lama wajib mendapat kesempatan terlebih dulu menggunakan haknya atau membeli saham baru.
Tapi, menurut Sanusi, seandainya penerbitan saham baru Bakrie & Brothers tetap melalui mekanisme hak memesan efek terlebih dulu, investor tetap saja keberatan. Sebab, investor publik sudah babak-belur gara-gara manajemen Bakrie & Brothers melakukan transaksi repurchasing agreement (repo) dengan sejumlah perusahaan investasi tahun lalu.
”Gara-gara repo itu, saham Grup Bakrie nyungsep semua. Sekarang saja harga saham Bakrie & Brothers cuma gocap (Rp 50),” ujarnya. Dia mengatakan banyak pemegang saham Grup Bakrie yang rugi besar sehingga tak mampu lagi menambah modal. Sepanjang tahun lalu, lima saham Grup Bakrie rata-rata anjlok 80 persen dari harga tertingginya.
Pendapat Sanusi diiyakan Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia N.H. Murdani. Dia mengaku sudah kehilangan kepercayaan terhadap Bakrie & Brothers. Dia merujuk rights issue perusahaan itu senilai Rp 40,8 triliun pada Maret 2008. Saat itu, harga saham barunya Rp 500 per lembar. Dengan dana rights issue itu, Bakrie & Brothers mengakuisisi Bumi Resources, Energi Mega, dan Bakrie Development. ”Lihat berapa harga saham Bakrie & Brothers sekarang? Cuma sepersepuluh dari waktu rights issue tahun lalu,” katanya.” Bagaimana kami bisa percaya lagi?”
Pada Maret 2008, Bakrie & Brothers melakukan rights issue senilai Rp 40,8 triliun. Dananya untuk membeli 35 persen saham Bumi Resources, 40 persen saham Energi Mega, dan Bakrie Development. Tapi rights issue ini kurang sukses karena dana yang bisa dikumpulkan hanya sekitar Rp 30 triliun. Terpaksa Bakrie & Brothers meminjam duit, termasuk dari Oddickson, yang totalnya hampir mencapai US$ 1,1 miliar, lewat repo berjaminan saham. Tapi repo menjadi bumerang bagi Bakrie & Brothers karena pasar saham terpuruk hebat. ”Bakrie Bersaudara” pun kesulitan menutup utang, yang berujung pada masuknya Northstar.
Seorang manajer investasi asing juga pesimistis investor publik mau membeli saham baru Bakrie & Brothers. Di pasar saham, ungkapnya, ada penawaran 900 juta saham perusahaan itu dengan harga Rp 50 per lembar. Tapi hampir tak ada investor yang mau membelinya. ”Apalagi dengan harga Rp 100 per lembar.”
Analis pasar modal Norico Gaman mengingatkan terjadinya penurunan harga saham Bakrie & Brothers pasca-rights issue. ”Harga saham bisa jatuh lebih dalam lagi karena jumlah saham yang beredar lebih banyak,” ujarnya. Padahal, kata dia, investor publik juga telah terbebani dengan harga saham perusahaan yang sudah susut tajam.
Ari memahami resistensi investor publik ini. ”Mungkin mereka belum mengetahui manfaat obligasi konversi,” katanya. Mekanisme tanpa hak memesan efek terlebih dulu pun belum final. ”Bisa berubah,” ujarnya.
Manajemen Bakrie & Brothers, menurut Ari, sebenarnya bisa saja mengambil jalan pintas. Misalnya menjual aset untuk membayar seluruh utang. Tapi langkah ini tidak akan memberikan manfaat apa pun kepada pemegang saham, termasuk dari publik. Perseroan juga bisa saja tetap berutang Rp 4,2 triliun kepada Northstar. Ini pun risikonya tinggi karena bisa terjadi gagal bayar dan penurunan nilainya akibat aksi jual paksa oleh kreditor. Buntutnya, semua pemegang saham merugi karena nilai aset berkurang.
Karena itu, kata dia, langkah yang paling menguntungkan semua pemegang saham Bakrie & Brothers adalah penerbitan obligasi konversi dan saham baru. Dengan cara ini, utang perusahaan senilai US$ 1,3 miliar tak ada lagi. Utang perusahaan nantinya hanya tinggal US$ 92 juta (sekitar Rp 1 triliun). Dilusi saham pun sedikit, hanya 30 persen.
Dengan utang yang rendah, Bakrie & Brothers akan lebih leluasa menjalankan usaha. Unit-unit usahanya pun bisa berekspansi lagi dan mendorong harga sahamnya. ”Jika itu terjadi, boom… harga saham Bakrie & Brothers akan naik lagi,” ujar Ari.
Analis pasar modal Erwan Teguh berpendapat pemegang saham Bakrie & Brothers tidak dirugikan karena harga saham dalam obligasi konversi lebih tinggi daripada harga sekarang. ”Jadi secara teori sebenarnya bukan dilusi, tapi memperbaiki nilai perusahaan,” katanya. Tapi, Erwan mengingatkan, sebaiknya manajemen Bakrie & Brothers membayar utang tanpa harus mendilusi saham pemodalnya. ”Itu bisa lebih positif lagi.”
Adanya gejala resistensi dari investor publik tak lantas membuat manajemen Bakrie & Brothers patah arang. Agar rencana berjalan mulus, menurut Ari, mulai bulan ini manajemen akan mendatangi (road show) semua pemegang saham. Rencana aksi korporasi itu juga akan disampaikan ke Badan Pengawas Pasar Modal dalam waktu dekat. Rapat umum pemegang saham luar biasa ditargetkan akan digelar pada Mei mendatang.
Sejauh ini, Badan Pengawas Pasar Modal belum bisa memastikan menolak atau menerima proposal Bakrie & Brothers. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Fuad Rahmany hanya meminta manajemen perusahaan itu memberikan keterangan yang jelas dan transparan kepada investor publik dan regulator. ”Tidak ada lagi sembunyi-sembunyian.”
Padjar Iswara, Ismi Wahid
Komposisi Pemegang Saham Bakrie & Brothers
Infrastructure Investment Holding Ltd. 11,46%
CMA Fund Management Ltd. 5,51%
Samuel Sekuritas 3,3 %
Signature Capital 2,71%
Credit Suisse Singapore 2,63%
Investor publik 74,34%
SUMBER: BAKRIE & BROTHERS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo