Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>STIMULUS FISKAL</font><br />Sinterklas Segelintir Orang

Dana jumbo stimulus fiskal digelontorkan dengan risiko defisit anggaran membengkak. Tidak mampu menyelamatkan sektor riil.

2 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sampai dua bulan, anggaran stimulus fiskal membengkak hampir 600 persen. Akhir tahun lalu, pemerintah masih mematok besaran stimulus fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 12,5 triliun. Pekan lalu, jumlahnya sudah diubah menjadi Rp 71,3 triliun.

Perubahan fantastis ini diharapkan menciptakan 150 ribu lapangan kerja baru. Angka pengangguran pun bakal susut dari 8,87 persen pada 2008 menjadi 8,34 persen akhir tahun ini. "Stimulus fiskal ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat, daya saing usaha, serta belanja infrastruktur padat karya," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu.

Porsi terbesar stimulus fiskal (Rp 43 triliun) berupa penghematan pajak sebagai dampak amendemen Undang-Undang Pajak Penghasilan yang meliputi pengurangan pajak badan dan perorangan serta kenaikan pendapatan tidak kena pajak. Stimulus fiskal bagi sektor riil antara lain pemerintah akan menanggung pajak pertambahan nilai untuk minyak goreng serta eksplorasi minyak dan gas bumi. Bea masuk bahan baku dan barang modal serta subsidi pajak penghasilan karyawan dan industri panas bumi juga ditanggung pemerintah (lihat "Siapa Dapat Apa").

Stimulus ini berisiko karena defisit anggaran membengkak dari 1 menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto, sebesar Rp 132 triliun. Tapi pemerintah pede karena ada sisa anggaran tahun lalu Rp 51 triliun plus standby loan dari bilateral dan multilateral. Masih lebih kecil, dibanding Malaysia yang defisitnya 4,4 persen dari produk domestik bruto akibat stimulus fiskal.

Wakil Ketua Panitia Anggaran Dewan, Harry Azhar Azis, mempertanyakan kenaikan stimulus. "Dampak terhadap pemutusan hubungan kerja, penyerapan tenaga kerja, tingkat kemiskinan, dan kinerja industri belum jelas," katanya. Dan penanggungan bea masuk malah menggenjot impor. Efektivitas insentif harus dijaga, "Jangan seolah-olah jadi Sinterklas tapi menyenangkan segelintir orang saja."

Insentif ini, menurut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Fiskal dan Moneter Hariyadi Sukamdani, juga tak efektif menahan laju pemutusan hubungan kerja di industri padat karya. Selain nilainya mini, insentif pajak penghasilan 21 sebesar Rp 5,5 triliun hanya dirasakan industri nonpadat karya yang penghasilan karyawannya melebihi angka penghasilan tidak kena pajak.

Ia menghitung, nilai efektif stimulus ke sektor riil hanya Rp 11,7 triliun, masing-masing Rp 9,5 triliun dan Rp 2,4 triliun untuk menanggung pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Dana Rp 9,5 triliun itu pun dibatasi: untuk minyak goreng serta eksplorasi minyak dan gas bumi dan bahan bakar nabati menjadi Rp 3,5 triliun. Sisa dana stimulus fiskal ditujukan bagi trade financing dan infrastruktur.

Problem lain, tingginya suku bunga perbankan. Karena masih terlalu tinggi, daya beli masyarakat pun belum akan terkerek secara signifikan. Mau tak mau, pengusaha harus menurunkan kapasitas produksi industri 30-40 persen. Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja tidak terhindarkan. "Insentif yang paling ditunggu sebetulnya penghapusan tarif dayamax."

Selain itu, Hariyadi menduga realisasi target penghematan pajak akan meleset. Sebab, dasar perhitungan pajak tahun 2008 dan 2009 berbeda karena pertumbuhan ekonomi anjlok. "Pengorbanan yang tidak besar-besar amat bagi pemerintah dengan mengeluarkan Rp 43 triliun untuk sektor riil," ucapnya.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady memahami, tidak semua pihak happy dengan usul ini. Tapi ia yakin insentif pajak penghasilan akan membantu perusahaan yang beban pajaknya besar. Dan akhirnya mereka bakal tertolong. Dan ancaman pemutusan hubungan kerja pun bisa dikurangi besarannya.

R.R. Ariyani

Siapa Dapat Apa

Rp 43 Triliun
Penghematan Pembayaran Pajak

  • Tarif PPh badan, perorangan, penghasilan tidak kena pajak

    Rp 15 Triliun
    Subsidi dan Belanja Negara pada Dunia Usaha

  • Penurunan harga solar: Rp 2,8 T
  • Diskon dayamax listrik industri : Rp 1,4 T
  • Tambahan belanja infrastruktur: Rp 10,2 T
  • Perluasan PNPM: Rp 0,6 T

    Rp 13,3 Triliun
    Pajak dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah

  • PPN eksplorasi migas, minyak goreng: Rp 3,5 T
  • Bea masuk bahan baku dan barang modal: Rp 2,5 T
    (14 sektor: alat berat, otomotif, elektronik, listrik, telematika, dll)
  • PPh karyawan: Rp 6,5 T
    PPh panas bumi: Rp 0,8 T

    Indikator Ekonomi Makro

     20082009
    TargetRealisasiSasaranOutlook Januari
    Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,46,264,5-5,5
    Inflasi (%)6,5116.26.2
    Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)7,59,37,57,5
    Harga Minyak ICP (US$/barel)9596,88045
    Nilai Tukar (Rp/US$)9.1009.6929.40011.000

    SUMBER: BAHAN RAPAT KERJA DENGAN DPR

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus