Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Misteri 1808

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM meledak di dua hotel di Jakarta. Diketahui sembilan korban meninggal dan 55 lainnya mengalami luka. Yang belum diketahui adalah siapa pelakunya dan untuk apa kegiatan laknat itu dijalankan. Bahkan identitas dua jena zah yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri belum juga diketahui sampai saat ini, sepekan setelah kejadian. Maka, muncul perta nyaan: kepada siapa aksi hukum wajib dite rapkan untuk menegakkan keadilan di negeri ini?

Jawabannya memang perlu dinanti. Polisi masih sibuk menyelidiki kasus ini dengan bantuan para pakar negara sahabat. Semakin cepat kasus ini terungkap tentu makin baik. Soalnya, semakin lama publik menunggu, semakin panjang waktu yang tersedia bagi para penyemai bibit spekulasi untuk berkiprah. Mereka yang mengaku pengamat, analis, atau mantan pejabat intelijen sibuk mengisi waktu vakum ini untuk menjajakan dugaan dan teori masing-ma sing. Ini tentu bukan kegiatan haram, selama masyarakat cukup dewasa untuk memaknainya sebagai dugaan yang bisa benar, bisa salah, persis dengan analisis para peng amat bola.

Namun, tidak seperti dalam olah tebak sepak bola, kekeliruan analisis dalam kasus pelanggaran hukum memiliki risiko menyulitkan warga yang tak bersalah. Anali sis awal bahwa pelakunya adalah anggota jaringan Noor Din Top bernama Nur Said, misalnya, ternyata keliru setelah pengujian DNA dilakukan. Kekeliruan dugaan ini, bagi para pengamat yang melontarkannya, mungkin cuma mencederai reputasi mereka. Tapi, bagi keluarga Nur Said, setidaknya selama lima hari mereka didera kesibukan bahkan kedukaan yang berpotensi traumatik—misalnya karena rumah mereka diobrak-abrik pene gak hukum.

Penegak hukum bukan tak punya alasan. Mereka menjalankan tugas demi kepentingan publik. Yang dise sali adalah masih banyaknya pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan di lapangan. Penyidikan yang tak menghormati hak hukum terperiksa masih kerap terjadi. Semuanya berdalih demi memerangi teroris. Padahal, ironisnya, semakin banyak pelanggaran ini terjadi justru semakin memperkuat jaringan teroris.

Sebab, aksi teror biasanya dilakukan oleh kalangan yang ingin mengubah peradaban, karena merasa terpinggirkan dan tak mungkin bertahan dalam peradaban yang berlaku. Simak saja sejarah terorisme yang sudah dimulai pada abad pertama Masehi oleh kelompok Sicarii Zealots atau kaum fanatik berbelati. Kelompok ekstrem Yahudi ini tak dapat menerima peradaban Roma yang berkuasa dan secara tersembunyi membunuhi elite Yahudi yang dianggap bekerja sama dengan pemerintahan Roma, termasuk pendeta agung Jonathan.

Sekitar seribu tahun kemudian, aksi te roris dilakukan oleh kelompok sempal an Niza ri atau lebih dikenal dengan nama Hashshashin terhadap kekalifahan Fati mid (al-Fatimiyyun) yang dianggap terlalu pluralis. Kepiawaian kelompok ini dalam melakukan pembunuhan terhadap para elite yang berkuasa saat itu menyebabkan orang Eropa menggunakan kosakata assassin untuk menyebut para pembunuh profesional itu.

Jerman, Italia, dan Jepang pun sempat diguncang aksi jaringan teroris Tentara Merah pada 1970-an, kelompok kiri yang mengecam ideologi kapitalis pemerintahan mereka. American Weather Underground (Weathermen), kelompok dengan ideologi serupa, pada saat hampir bersamaan melakukan aksi pengeboman dan kegiatan teror lainnya di Amerika Serikat.

Punahnya kelompok Weathermen pada akhir 1970-an tak membebaskan Amerika dari aksi teror. Enam tahun sebelum serangan terhadap menara kembar World Trade Center oleh jaringan Al-Qaidah pada 11 September 2001, gedung pemerintah federal di Oklahoma diledakkan oleh Timothy McVey. Bekas tentara yang menewaskan 168 orang—termasuk puluhan anak-anak—itu menyatakan aksinya merupakan balas dendam atas aksi hukum pemerintah federal yang membubarkan kelompok sempalan Kristen di Waco dan Ruby Ridge.

Semua aksi teror di atas gagal mencapai tujuan karena masyarakat yang menjadi target teroris tak terpancing untuk membalas dengan aksi teror serupa. Sebaliknya, penguasa yang terpancing biasanya malah mengalami kekalahan. Salah satu pemulanya adalah rezim Jacobin di era Revolusi Prancis pada abad ke-18, yang melakukan aksi teror negara terhadap para pembangkangnya. Ke(tidak)bijakan yang disebut la Terreur ini membantai 40 ribu orang dan berakhir dengan jatuhnya rezim serta lahirnya kosakata terror. Hal serupa juga terjadi pada rezim Hitler di Jerman, yang menggunakan Gestapo untuk meneror musuh-musuhnya.

Belajar dari pengalaman di atas, kita semakin yakin bahwa mengalahkan teroris itu sebenarnya tak sulit. Pertahankan sistem demokrasi berasas hukum, hormati hak asasi manusia, dan kembangkan sikap pluralis. Lantas, dalam koridor itu kita tingkatkan profesionalitas polisi untuk mengatasi ancaman para pelaku teror.

Sementara itu, sambil menunggu hasil kerja polisi, mari kita berseru kepada para teroris: kami tidak takut!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus