Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN kendaraan melaju kencang di ruas jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), dekat Desa Maracang, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu pagi pekan lalu. Semakin siang, jumlah kendaraan yang melewati ruas tol yang dikelola PT Jasa Marga Tbk. ini terus bertambah. Sedikitnya 25 kendaraan per menit melewati jalan tol yang diresmikan empat tahun lalu ini atau sekitar 29 ribu kendaraan per hari.
Padatnya kendaraan di ruas Cipularang dan juga jalan tol lingkar luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/JORR) menjadi acuan Jasa Marga menggugat perdata Bangun Tjipta Sarana ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 Mei lalu. Operator jalan tol milik negara ini meminta pengadilan membatalkan kerja sama bagi hasil pengelolaan jalan tol ruas Cibitung-Cikampek dengan perusahaan milik Siswono Yudo Husodo itu.
Direktur Utama Jasa Marga Frans Sunito mengakui adanya sengketa dengan Bangun Tjipta ini. Tapi Frans menolak menjelaskannya lebih detail. ”Silakan tanya kuasa hukum perusahaan, Amir Syamsuddin & Partners,” ujarnya di Jakarta pekan lalu. Amir kepada Tempo pekan lalu mengungkapkan, ”Masa mediasi kedua belah pihak untuk berdamai telah berakhir awal Minggu ini (24 Agustus).”
Keduanya sebetulnya berkongsi membangun jalan tol dua lajur dari arah Cikampek ke Cibitung. Ini dilakukan lantaran dua lajur ruas tol Cibitung-Cikampek yang dibangun Jasa Marga beberapa tahun sebelumnya sudah jenuh. Direktur Utama Jasa Marga Soehartono dan Direktur Utama Bangun Tjipta Sarana Fatchur Rochman menandatangani akta 109 tentang perjanjian kerja sama bagi hasil pada 16 Oktober 1992. Dalam perjanjian itu, Bangun Tjipta akan membangun jalan tol dua lajur dari arah Cikampek ke Cibitung sepanjang 47,5 kilometer dengan investasi Rp 69 miliar.
Ruas jalan tol yang dikenal sebagai BTS 1 itu dikelola dengan pola bagi hasil pendapatan tarif tol sebesar 69 persen untuk Bangun Tjipta dan 31 persen untuk Jasa Marga. Jasa Marga menanggung biaya operasi dan pemeliharaan sebesar 18 persen. Masa konsesi Ba ngun Tjipta selama 26 tahun hingga 2015. Ruas jalan tol Cibitung-Cikampek menjadi empat lajur.
Rupanya, volume kendaraan di ruas tol Jakarta-Cibitung-Cikampek kian padat setelah Cipularang beroperasi pada 2005. Volume kendaraan yang melewati ruas ini naik tajam dari 290 ribu menjadi 341 ribu kendaraan per hari. Kepadatan kendaraan makin menjadi-jadi setelah Jakarta-Cikampek mulai terhubung dengan JORR pada 2007.
Alhasil, rasio volume kendaraan per kapasitas jalan (V/C ratio) ruas Cibitung-Cikampek mencapai 0,8—rasio 1,0 jalan sudah macet total. Sesuai perjanjian dengan pemerintah, pengelola jalan tol harus melebarkan jalan. Jasa Marga, kata sumber Tempo, sudah menawarkan pelebaran jalan Cibitung-Cikampek kepada Bangun Tjipta. Lantaran Bangun Tjipta tak kunjung membuat keputusan, Jasa Marga melebarkan sendiri ruas jalan di kilometer 25 sepanjang 9,4 kilometer dengan investasi Rp 26 miliar.
Belakangan Jasa Marga mulai menyadari adanya ketimpangan bagi hasil ruas itu setelah biaya operasi dan pemeliharaan membengkak menjadi 30 persen. Sebaliknya, bagian Bangun Tjipta terus meningkat karena volume kendaraan terus melonjak. Pada 1990, pendapatan bagi hasil Bangun Tjipta hanya Rp 1,8 miliar. Pada 2008, pendapatan untuk Bangun Tjipta mencapai Rp 97,1 miliar.
Manajemen Jasa Marga merasa lonjakan kendaraan di Cibitung-Cikampek disebabkan oleh meningkatnya volu me kendaraan dari Cipularang dan JORR, yang notabene investasi murni Jasa Marga. Untuk membuktikannya, sepanjang 2008 hingga April 2009, Jasa Marga meminta Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung melakukan study traffic.
Hasilnya menunjukkan ada kontribusi JORR dan Cipularang dalam meningkatkan volume kendaraan di ruas Jakarta-Cibitung-Cikampek. Badan Pe ngawasan Keuangan dan Pembangun an melakukan audit investigasi atas kewajaran bagi hasil. Ada kerugian negara yang bisa ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Inilah kenapa manajemen fight menggugat, karena takut dianggap membiarkan kerugian negara,” ungkap Amir.
Jasa Marga juga meminta PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit ba gi hasil jalan tol tersebut. Hasil audit PwC menunjukkan, dengan melonjaknya volume kendaraan yang lewat di ruas Jakarta-Cikampek, tingkat keuntungan atas investasi (internal rate of return/IRR) Bangun Tjipta sudah tercapai pada 2002.
Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Bidang Investigasi Suraji dan Deputi Kepala Bidang Perekonomian Binsar Simanjuntak belum bisa menjelaskannya secara rinci. ”Memang ada audit, tapi saya mesti mengecek dulu detailnya,” kata Binsar. Adapun partner PwC, Mirza Diran, menolak berkomentar. ”Sebaiknya tanya kuasa hukum Jasa Marga,” ujarnya.
Kuasa hukum Jasa Marga dari Amir Syamsudin & Partners, Marisa Iskandar, menjelaskan, dalam usul investasi Bangun Tjipta pada 1998—menjadi dasar perjanjian kerja sama bagi hasil Cibitung-Cikampek—perusahaan itu menetapkan volume kendaraan golong an I yang lewat sebanyak 2.000 unit per hari, sementara golongan II sebanyak 3.400 kendaraan per hari, dengan pertumbuhan kendaraan yang lewat lima persen per tahun. Tingkat IRR-nya diusulkan 19,3 persen.
Berdasarkan perhitungan PwC, kata Marisa, dengan investasi Rp 69 miliar, Bangun Tjipta sudah mendapatkan pengembalian investasi dan keuntungan pada 2002. Indikasinya, pada 2002, tingkat IRR dari Bangun Tjipta tercatat 18,86 persen dan pada 2008 sudah 22,7 persen. ”Jasa Marga menilai konsesi Bangun Tjipta sudah selesai pada 2002,” ujarnya. Volume kendaraan di ruas Cibitung-Cikampek meningkat tajam menjadi 80 ribu kendaraan per hari, dengan pertumbuhan kendaraan yang lewat di ruas itu sekitar 12 persen per tahun.
Masalahnya, bagi hasil sudah disetorkan kepada Bangun Tjipta. Sejak 2002 sampai akhir 2008, kata Marisa, Bangun Tjipta telah mendapatkan bagi hasil Rp 375 miliar, atau Rp 445 miliar dengan memperhitungkan bunga bank delapan persen per tahun. Bangun Tjip ta juga mendapatkan kelebihan pembayaran bagi hasil sebesar Rp 17,4 miliar dari ruas Cibitung-Cikampek yang dilebarkan. Padahal, ”Bangun Tjipta tak keluar uang sama sekali,” ujarnya. Total jenderal, Jasa Marga dirugikan sekitar Rp 572 miliar. ”Kami minta mereka mengembalikannya.” Jasa Marga juga minta hakim menetapkan konsesi telah berakhir pada 2002.
Siswono menilai gugatan Jasa Marga itu konyol. Mantan Menteri Perumah an Rakyat ini heran karena selama 19 tahun bermitra dengan Jasa Marga sebelumnya tidak ada masalah. ”Investor bisa lari jika mereka begitu,” ujarnya. Tapi Siswono enggan menanggapinya lebih jauh. Dia meminta masalah ini dita nyakan kepada direksi Bangun Tjipta.
Direktur Utama Bangun Tjipta Sarana Fatchur Rochman belum dapat dimintai tanggapan. Pertanyaan lewat pesan pendek dan permintaan wawancara belum diresponsnya. Tapi kuasa hukum Bangun Tjipta, Otto Cornelius Kaligis, menegaskan seharusnya Ba ngun Tjipta mendapatkan apresiasi lantaran ikut membangun ruas Cibitung-Cikampek pada 1989, ketika Jasa Marga sedang kesulitan keuangan.
Tentang pelebaran jalan di kilometer 25, Kaligis punya versi lain. Jasa Marga ingin gratis. Semua biaya pelebaran berasal dari Bangun Tjipta. Padahal, se suai dengan perjanjian, proporsinya seharusnya 69 : 31. Tapi, saat Bangun Tjipta akan membuat keputusan, Jasa Marga sudah membangun sendiri.
Gugatan Jasa Marga itu, kata Kaligis, juga aneh dan tak berdasar. Dalam akta perjanjian, tak ada klausul pencapai an tingkat IRR dan dampak lonjakan vo lu me kendaraan. Angka-angka itu ha nya ada dalam perhitungan kasar sebelum perjanjian. Karena itu, kata dia, tidak ada kewajiban merevisi bagi hasil jika ada perubahan kondisi di masa mendatang. ”Itu gugatan licik,” ujar Kaligis.
Amir berpendapat berbeda. Dalam perjanjian memang tidak diatur dampak lonjakan kendaraan dan tingkat IRR-nya. Tapi, kata dia, sesuai dengan asas hukum rebus sic stantibus, ada per ubahan fundamental yang tak masuk perjanjian tapi mempengaruhi semangat awal saling menguntungkan di antara keduanya. Alhasil, Jasa Marga tidak terikat lagi dengan perjanjian karena faktor yang tak masuk perjanjian membuat Bangun Tjipta mendapatkan keuntungan lebih cepat.
Pengamat jalan tol Danang Parikesit menilai sengketa antara Jasa Marga dan Bangun Tjipta muncul lantaran dampak risiko dan keuntungan dari lonjakan volume kendaraan di ruas tol lain tidak dimasukkan secara spesifik ke dalam perjanjian. Kasus ini, kata dia, menjadi pelajaran penting bagi operator jalan tol dalam memprediksi lonjakan vo lume kendaraan, mengelola risiko, dan merumuskan dokumen perjanjian.
Padjar Iswara, Ismi Wahid, Amandra Megarani, Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo