Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makro adalah pionir. Inilah pusat perkulakan modern pertama di Indonesia. Pada zamannya, orang Jakarta bangga jika di dompetnya ada kartu keanggotaan Makro. Bagi Ibu Salimin, warga Kampung Melayu, misalnya, Makro adalah cinta lama. ”Saya jadi pelanggan setia sejak 15 tahun lalu.”
Makro memang tak tampil kinclong seperti hipermarket yang datang belakangan. Tapi itu tak jadi masalah. ”Yang penting, saya mendapat harga miring,” kata Ibu Salimin. Jarak Makro di Kelapa Gading yang lumayan jauh dari rumahnya pun bukan masalah.
Sejak awal, Makro—di bawah naungan SHV Holdings, perusahaan asal Belanda—memang memilih jurus harga murah, ”everyday low price”. Jurus ini terbukti efektif meraih pelanggan. Setidaknya jurus itu manjur pada 1990-an, sehingga jumlah gerai Makro berkembang menjadi 19.
Tapi, seiring dengan bergeraknya waktu, rupanya jurus jual murah tidak lagi cukup. Sang pionir perlu darah baru dan modal lebih kuat.
Lotte Mart, peretail asal Korea Selatan, datang menawarkan darah baru bagi Makro. Proses pengambilalihan Makro oleh Lotte Mart telah rampung pada Oktober 2008.
Pertumbuhan penjualan Makro yang lebih dari 25 persen per tahun telah memikat Lotte Mart. Apalagi, di negeri sepadat Indonesia, potensi pasar masih amat luas (lihat ”Rimba Persilatan Makin Seru”).
Maret nanti, semua outlet Makro akan bersolek. Nama dan logo akan diganti menjadi Lotte Mart yang didominasi warna merah. Jumlah gerai akan diperbanyak, yakni menjadi 45 dalam empat tahun mendatang.
Target omzet pun dipacu. ”Tahun ini target omzet dipatok naik 20 persen dibanding 2008, menjadi Rp 5,7 triliun. Lima tahun mendatang, angka itu diharapkan bisa tumbuh tiga kali lipat menjadi Rp 17 triliun,” kata Presiden Direktur PT Lotte Shopping Indonesia Moon Young Pyo.
Demi langkah yang lebih agresif, Lotte Mart melepaskan diri dari label ”perkulakan” yang selama ini menempel pada Makro. Lotte memilih berfokus pada tiga macam format, yakni hipermarket, supermarket, dan pusat perbelanjaan, yang diklaim sudah mendapat izin Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Lotte tidak secara tegas menyatakan akan meredupkan bisnis perkulakan yang telah dirintis belasan tahun. Direktur Operasional PT Lotte Shopping Indonesia Jusuf Halim hanya memastikan proses transformasi tidak akan dilakukan gegabah. ”Bakal ada studi mendalam guna memilih format yang paling menguntungkan,” katanya.
Walhasil, langkah Lotte Mart diperkirakan membuat bisnis perkulakan modern makin sepi. Pada awal 1990-an, pemainnya adalah Makro, Goro, dan Alfa Gudang Rabat. Goro sudah tamat seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Alfa berubah menjadi Carrefour. Kini, jika Makro benar mundur dari perkulakan, tinggal Indogrosir yang tersisa.
Direktur Pengembangan Bisnis dan Retail PT AC Nielsen Indonesia Yongky Surya Susilo menilai bisnis perkulakan sebetulnya masih menjanjikan. ”Sayang kalau tidak dipertahankan oleh Lotte. Indogrosir kan tidak seagresif Makro,” katanya.
Pemilik toko kecil, menurut Yongky, akan tetap memilih pusat perkulakan. Alasannya, kestabilan harga dan variasi barang yang dibutuhkan pedagang lebih terjaga. ”Walau lokasinya agak jauh dari pusat kota, barang selalu ada,” kata Yongky. ”Rantai pasokan juga konsisten.” Di Amerika, bisnis perkulakan seperti di Costco juga masih prospektif karena, selain pengusaha toko, konsumen individu—end user—juga dilayani.
Rencana mundurnya Makro dari bisnis perkulakan tentu membuka peluang baru. Indogrosir, unit perkulakan milik Grup Salim, yang kini baru memiliki enam gerai, bisa jadi merebut peluang ini.
Manajemen perusahaan yang berafiliasi dengan Indomaret itu enggan berbicara tentang hal ini. Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama, Laurentius Tirta Widjaja, hanya menyatakan, pembeli yang biasa mencari produk dalam jumlah besar pasti mencari alternatif toko baru jika Makro meninggalkan perkulakan. ”Pasti ada juga yang beralih ke Indogrosir,” katanya.
Potensi bisnis perkulakan memang masih terbuka lebar. Tapi, seperti kata Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia Tutum Rahanta, bisnis ini belum berkembang optimal. Penyebabnya antara lain persyaratan keanggotaan, pembelian barang eceran yang tidak fleksibel, dan suasana belanja yang tidak nyaman. ”Kebanyakan perkulakan tidak berpendingin ruangan. Anak-anak juga dilarang dibawa saat belanja,” tuturnya.
Adakah pemerintah sengaja menyurutkan langkah pebisnis perkulakan? Sekretaris Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo membantah dugaan ini. ”Tidak ada pilih kasih. Kami justru mendorong perkulakan sebagai perantara toko dan produsen,” katanya.
Kalaupun bisnis perkulakan sema-kin merosot, menurut dia, itu semata karena urusan bisnis. Pengusaha perkulakan tak sanggup bersaing dengan hipermarket dalam menggaet pemasok dengan harga lebih kompetitif. Pemerintah pun, menurut Gunaryo, hanya mendorong pedagang berada pada koridor masing-masing. ”Peretail jangan menjual dalam bentuk grosir. Sebaliknya, perkulakan jangan menjual secara retail. Jika itu dilanggar, izin usaha bisa dibekukan,” tuturnya.
R.R. Ariyani, Amandra Mustika
Pertumbuhan Peretail Nasional
Jenis | 2007* | 2008** |
Minimarket | 5.137 | 6.218 |
Supermarket | 270 | 286 |
Hipermarket | 90 | 121 |
Perkulakan | 25 | 25 |
Drugstore | 341 | 401 |
Sumber: AC Nielsen
*Sampai Desember
**Sampai November
Pendapatan Peretail (Miliar Rupiah)
Matahari
1. 8.488
2. 9,768*
Hero
1. 4.809
2. 5.147*
Ramayana
1. 4.478
2. 9,768*
Alfa
1. 3.625
2. 2.410*
Carrefour
1. 10.030
2. 11.108
Ket :
1. 2006
2. 2007
*Sampai September
Sumber: Bursa Efek Indonesia, situs Carrefour
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo