Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#CC0033>Energi Alternatif</font><br />Ambruk Tersandung Harga

Permintaan ekspor biodiesel semakin tinggi. Tinggal satu perusahaan yang berproduksi.

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

<font size=2 color=#CC0033>Energi Alternatif</font><br />Ambruk Tersandung Harga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hampir saban menit, mobilmobil tangki berkapasitas 1820 kiloliter minyak sawit mentah (CPO) masuk antrean di depan gerbang megah PT Wilmar Bioenergi Indonesia, Dumai, Riau. Hirukpikuk pabrik ini dinikmati betul oleh salah satu sopir mobil itu, Martanda Harahap.

Ia bercerita, sebelum April, paling banter ia mengirim satu truk bahan baku minyak sawit mentah ke pabrik bioenergi itu. Memasuki Mei, kegiatan pabrik makin sibuk. Sehari ia kini bisa tiga kali bolakbalik ke pabrik. Otomatis, uang yang dia bawa pulang bertambah. "Bisa seratusan ribu rupiah setiap hari," kata Martanda, Rabu pekan lalu.

Operasi Wilmar meningkat karena permintaan dari pasar ekspor juga naik. Kebijakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mendorong penggunaan biodiesel untuk otomotif menjadi salah satu penyebabnya. Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga memprediksi permintaan pasar ekspor biodiesel bisa naik 20 persen tahun ini dibanding tahun lalu, yang mencapai 248.300 kiloliter.

Sayangnya, cerahnya pasar di luar negeri tidak dibarengi membaiknya pasar biodiesel di dalam negeri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan menyatakan sudah setahun ini puluhan pabrik bahan energi pengganti bahan bakar minyak tutup pintu. Dari 22 pabrik yang ada, tinggal Wilmar yang berproduksi. PT Indo Biofuels Energy yang dipimpinnya pun tutup.

Penyebabnya, Pertamina sebagai konsumen utama biodiesel membeli bahan bakar alternatif ini dengan harga jauh di bawah ongkos produksi. Anggota staf pengembangan bisnis Wilmar, Max Ramajaya, menyatakan biodiesel di dalam negeri hanya dihargai US$ 300 per kiloliter, sedangkan di luar negeri bisa mencapai US$ 700.

Selisih inilah yang "dijanjikan" akan dibayar setelah aturan harga bahan bakar nabati disahkan pemerintah. Selain itu, harga biodiesel US$ 700 per kiloliter saat ini hanya impas jika harga minyak mentahnya US$ 7580 per barel. Hanya dengan harga minyak mentah sebesar itulah, kata dia, harga energi terbarukan bisa bersaing.

Padahal prospek pasar biodiesel di dalam negeri cukup cerah. Indocommercial memperkirakan kebutuhan biodiesel akan mencapai 3,572 juta kiloliter pada 2013, melompat jauh dibanding kebutuhan tahun ini, yang hanya 224 ribu kiloliter. Sektor pemakai terbesar adalah transportasi, disusul industri, pembangkit listrik, dan komersial.

Pemerintah juga mengakui bahwa hargalah yang membuat industri biodiesel kembangkempis. Berbagai insentif, seperti penanggungan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan industri, masih belum cukup karena yang paling penting adalah kepastian penentuan harga.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Herawati Legowo berjanji surat keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengatur penentuan harga biodiesel, yang kajian hukumnya tengah digodok, bisa terbit dalam waktu dekat. "Sehingga Pertamina tidak lagi kesulitan membeli biodiesel."

Ini sejalan dengan kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tentang formula harga pokok bahan bakar nabati, yang salah satunya untuk biodiesel. Intinya: harga ditetapkan oleh Menteri Energi setiap bulan dan memakai harga pokok yang merupakan indeks biodiesel Asia Tenggara ditambah indeks biodiesel domestik dibagi dua. Diharapkan patokan harga itu bisa diterapkan pertengahan tahun ini.

Soal lain adalah keteguhan pemerintah dalam program pengembangan bahan bakar nabati ini. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 yang dikeluarkan pada 13 Oktober 2008, yang salah satu isinya mewajibkan penggunaan biodiesel di sektor transportasi minimal satu persen mulai tahun ini, juga masih belum terealisasi. Padahal itu penting agar pasar domestik tumbuh dan industri yang bermodal cekak bisa bertahan.

Sumber Tempo di pemerintahan membisikkan hal lain. Masalah berikutnya yang juga penting adalah minimnya insentif bagi industri hulu dan hilir biodiesel ini. Menurut dia, tidak mungkin memaksakan penggunaan biodiesel kalau industri hilirnya tidak memodifikasi mesin agar responsif terhadap energi terbarukan itu. Jadi, siapa yang mesti memulainya duluan?

R.R. Ariyani, Jupernalis Samosir (Riau), Iqbal Muhtarom

Prospek Pasar Biodiesel Berdasar Pemakai 2009-2013 (ribu kilo liter)

20092010201120122013
Transportasi1173237101.1711.718
Industri862244667271.008
Komersial1668359565791
Pembangkit listrik512254056
Total2246271.5602.5033.572

Peta Biodiesel 2004-2008 (kiloliter)

TahunProduksiKonsumsi
2004500500
200530.0001.000
2006100.00012.000
2007400.00030.000
2008300.00051.700

Sumber: Indocommercial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus