Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perekonomian dunia pada 2009 diperkirakan masih menghadapi tekanan berat. Sebagian besar negara maju sudah mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif. Sejumlah negara berkembang ikut terpukul. Pertumbuhan ekonomi mereka melorot. Beberapa di antaranya terpaksa mengetuk pintu Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memperoleh kucuran dana karena cadangan devisanya tergerus.
Pemulihan ke tingkat sebelum krisis finansial diperkirakan bakal membutuhkan waktu cukup lama dan lebih panjang dari krisis-krisis sebelumnya. Itu karena kerusakan yang terjadi di Amerika Serikat, yang hingga kini masih merupakan lokomotif perekonomian dunia, sangat parah. Krisis kali ini langsung menghantam jantung perekonomian karena sudah terlalu banyak bergelimangan ”lemak” dan ”racun” yang dihasilkan sektor keuangan.
Sektor ini tumbuh liar, telah jauh melampaui daya dukung perekonomian untuk menopangnya. Berbagai produk keuangan dianakpinakkan. Produk derivative (termasuk commodity derivative) dan credit default swap saja telah mencapai nilai yang tak kepalang, sekitar US$ 700 triliun, padahal produk domestik bruto (PDB) dunia hanya sekitar US$ 50 triliun. Sosok perekonomian dunia dan gemerlap negara-negara maju, terutama AS, seolah disinari oleh fatamorgana yang kemudian sirna seiring dengan matahari terbenam.
Sekalipun demikian, kapitalisme tampaknya tak akan mati, melainkan sebatas perubahan sosok dengan kandungan financially-driven yang melemah. Itulah yang menyebabkan sekujur perekonomian negara maju lesu darah. Tak mengherankan jika pemulihan kali ini akan memakan waktu yang lebih lama, karena membutuhkan perubahan perilaku yang mendasar, baik pada sisi pemerintah maupun masyarakat. Intinya, pemerintah dan masyarakat di negara maju harus lebih mengendalikan konsumsi dan lebih banyak menabung serta memacu produktivitas riil.
Sejauh ini perekonomian Indonesia masih bisa bertahan dengan laju pertumbuhan di atas 6 persen. Pertumbuhan ekonomi hanya turun dari 6,4 persen pada triwulan kedua menjadi 6,1 persen pada triwulan ketiga tahun lalu. Besar kemungkinan pada triwulan keempat akan turun lebih tajam, namun secara keseluruhan pertumbuhan 2008 diperkirakan masih bisa mencapai 6 persen.
Bayang-bayang pesimistis memang sangat dominan untuk tahun 2009. Bank Dunia baru saja mengeluarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 sebesar 4,4 persen. Proyeksi Bank Indonesia tak jauh dari angka itu, yakni 4 hingga 5 persen. Yang lebih ekstrem adalah versi Economist Intelligence Unit, yakni hanya 3,7 persen.
Kita menyadari bahwa perekonomian Indonesia akan menghadapi tekanan lebih berat pada 2009. Alangkah sangat bijaksana seandainya sedari awal kita mempersiapkan diri dengan mengantisipasi kemungkinan terburuk, agar perekonomian kita tidak terjun bebas.
Modal dasar yang kita miliki cukup memadai. Pertama, perekonomian dan sektor keuangan kita tak terkait erat dengan sektor keuangan di AS, sehingga toxic assets yang disebarkan oleh lembaga-lembaga keuangan AS tak mewabah di sini. Patut disyukuri bahwa sektor keuangan kita belum sempat berkembang liar. Kita masih belum terlambat untuk membangun kedaulatan keuangan dengan bertumpu pada sistem sirkulasi peredaran darah (perputaran dana) internal.
Kedua, sektor perbankan kita sangat sehat. Kasus Bank Indover dan Bank Century tak ada kaitannya dengan krisis finansial dewasa ini. Nisbah kecukupan modal (capital adequacy ratio) perbankan nasional kita sangat tinggi dan tertinggi di kawasan. Utang bermasalah (non-performing loan) sangat rendah, lebih rendah dari rata-rata negara tetangga dan jauh lebih rendah ketimbang di masa krisis 10 tahun lalu. Asalkan potensi kredit macet kelompok-kelompok usaha yang sangat dekat dengan kekuasaan yang membebani bank BUMN bisa dienyahkan, kita tak melihat adanya potensi ledakan kredit macet.
Indikator lainnya seperti return on asset dan return on equity juga relatif tinggi. Persoalan likuiditas ketat sudah pulih, walau persebarannya belum merata. Jika saja pemerintah menjamin pinjaman antarbank, niscaya suku bunga deposito dan pinjaman berpotensi turun secara berarti. Apalagi mengingat bahwa Bank Indonesia sudah mulai menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada awal Desember 2008. Bank Indonesia memiliki ruang gerak lebih leluasa untuk kembali menurunkan suku bunga SBI pada awal 2009 ini ke tingkat di bawah 9 persen mengingat tekanan inflasi cenderung melemah.
Ketiga, dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sumbangan ekspor terhadap produk domestik bruto di Indonesia paling rendah, yakni sekitar 25 persen. Sebagai perbandingan, angka untuk Malaysia hampir 100 persen, untuk Vietnam dan Thailand di atas 50 persen, serta untuk Cina dan Korea sekitar 35 persen. Ditambah lagi, dalam beberapa tahun terakhir porsi ekspor Indonesia ke negara maju sudah menunjukkan kecenderungan menurun.
Keempat, pelaku usaha berpotensi mendapatkan energi tambahan dari penurunan harga komoditas. Tarif listrik seharusnya sudah diturunkan secara signifikan mengingat sekitar 70 persen belanja energi primer PT PLN terserap untuk bahan bakar minyak (BBM). Demikian pula untuk harga gas, elpiji, dan pupuk. Karena semua komoditas itu dihasilkan oleh perusahaan negara (BUMN), pemerintah seharusnya memiliki komando langsung untuk memastikan pemberlakuan harga yang wajar. Jangan justru di tengah keadaan serba sulit ini, perusahaan pelat merah berulah sesuka hati dengan seribu satu dalih sebagaimana kerap dilontarkan jajaran direksinya.
Sejumlah BUMN juga berpeluang menjadi market leader untuk mendorong penurunan harga. Yang harus kita sehatkan adalah neraca perekonomian nasional, bukan neraca keuangan BUMN atau pemerintah dengan cara mencari selamat sendiri-sendiri. Kalau pemerintah lepas tangan, kita patut curiga jangan-jangan bakal ada transfer dana dari BUMN untuk kepentingan pemilu 2009.
Modal dasar di atas saja tak cukup. Bagi perekonomian yang sedang dan akan mengalami tekanan sangat berat karena usaha swasta dan konsumsi masyarakat cenderung melemah secara signifikan, maka peran negara harus lebih mengedepan. Stimulus fiskal dalam jumlah yang lebih dari sekadar memadai harus segera digelontorkan. Jika dosis stimulus fiskal serba tanggung, dampak terhadap perekonomian kurang terasa atau sama saja seperti menggarami laut.
Kita harus siap tempur mengantisipasi keadaan luar biasa, dengan serangkaian langkah yang luar biasa pula. Kalau kita menyerah dengan keadaan, kita bakal digilas oleh gelombang pasang dari luar.
Langkah luar biasa itu antara lain, pertama, menempatkan dana pemerintah yang ”menganggur” di bank-bank nasional yang sangat sehat tetapi dengan kondisi likuiditas ketat, mengingat masalah likuiditas ini juga merupakan ”kesalahan” pemerintah dan Bank Indonesia. Kedua, menaikkan defisit APBN hingga mendekati 3 persen dari PDB. Ketiga, Bank Indonesia menyerap secara langsung maupun tak langsung Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah untuk menutup defisit APBN.
Tentu saja tak mungkin mewujudkan extraordinary measures tersebut tanpa dukungan DPR yang seiring dan seirama. Karena itu, krisis ini tak semestinya dijadikan komoditas politik sesaat. Jika seluruh pemangku kepentingan bangsa punya wawasan yang sama tentang potensi terburuk dari krisis finansial dunia, DPR dan pemerintah harus bahu-membahu mempersiapkan seluruh perangkat kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan. Dengan begitu, persetujuan DPR bukan berarti memberikan cek kosong kepada pemerintah.
Seandainya berbagai hal di atas terwujud, sekalipun ekspor dan investasi swasta sama sekali tak tumbuh serta impor turun 5 persen, kita masih bisa menggapai pertumbuhan ekonomi pada 2009 sebesar 5,7 persen. Dengan catatan, pertumbuhan konsumsi masyarakat diupayakan bisa tumbuh 5 persen. Ini bukan mustahil, karena ada juga sumbangan dari belanja pemilu oleh partai-partai serta calon anggota legislatif dan calon presiden.
Kita berharap krisis finansial global ini justru bisa menjadi pemicu kesadaran baru kita: menuju negara yang mandiri. Kita memasuki 2009 tidak perlu dengan ketakutan yang berlebihan, tapi tetap penuh dengan kewaspadaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo