Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJALANAN dari Shanghai itu menelan waktu dua jam. Menaiki pesawat China Eastern, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar mendarat di Xi’an, ibu kota Provinsi Shaanxi, menjelang siang. Dari Bandar Udara Internasional Xi’an Xianyang, ia masih harus melanjutkan perjalanan menuju Distrik Yanliang, satu jam dari pusat kota, dengan bus yang disediakan tuan rumah. Di situlah pabrik Xi’an Aircraft Industry Company Ltd. berada.
Mustafa punya agenda mustahak di Cina. Pada Ahad akhir Agustus lalu, dia berikhtiar melihat kondisi 13 pesawat MA-60 yang akan memperkuat Merpati Nusantara Airlines. Kunjung an ini sekaligus menyelesaikan pembelian pesawat komuter berkapasitas 50 penumpang yang sudah dua tahun terkatung-katung. ”Saya ke sana menginspeksi kondisi pesawat. Ternyata sudah layak terbang,” katanya. Direktur Utama Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo ikut menemani. ”Pak Menteri tidak mau ke Xi’an kalau saya tidak ada, karena nantinya pesawat itu buat Merpati,” ujarnya, Selasa pagi dua pekan lalu.
Setiba di sana, Mustafa dan Sardjono disambut Wakil Presiden Xi’an Aircraft Gang Shao Hua. Dalam pertemuan itu, selain membicarakan urus an pesawat yang akan melayani rute pe rintis di wilayah timur Indonesia itu, Mustafa mengajak Xi’an ikut mengembangkan industri penerbangan di Indonesia, misalnya menjalin kerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia. Manajemen Xi’an, kata seseorang yang ikut dalam rombongan, menyambut baik tawaran itu. Mustafa dan Sardjono ditemani manajer dari bermacam divisi di pab rikan pesawat pelat merah itu—lalu diajak berkeliling melihat pabrik. ”Industrinya cukup bagus dan bonafide,” kata Mustafa seusai kunjungan. Acara keliling pabrik seluas 300 hektare itu berakhir sore hari.
Persamuhan dilanjutkan dengan jamuan makan malam. Tapi, sebelum acara dimulai, Sardjono pamit pulang karena mesti terbang ke Shanghai, dilanjutkan ke Jakarta. Esok paginya, ia ada rapat dengan Panitia Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta membicarakan penerusan pinjaman luar negeri (subsidiary loan agreement) buat pembelian pesawat MA-60. Ketika itu, pembicaraan perjanjian penerusan pinjaman mema suki pembahasan akhir. Menteri Mustafa menginap di Xi’an. Besoknya, ia pulang ke Jakarta.
PENGADAAN pesawat ini bermula dari kontrak pembelian bersyarat yang ditandatangani Hotasi Nababan—Direktur Utama Merpati saat itu—dengan Xi’an. Dalam kontrak yang diteken pada 7 Juni 2006 di Beijing, Merpati setuju membeli 15 pesawat MA-60 senilai US$ 232,4 juta. Sebagai bagian dari transaksi, Merpati menyewa dua MA-60 selama 24 bulan sejak Januari 2007, dengan harga sewa US$ 70 ribu per bulan per unit. Dua pesawat ini melayani rute Bali-Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur-Sulawesi Selatan.
Pendek kata, pemerintah Cina dan Indonesia menyetujui transaksi jual-beli MA-60. Bentuknya dituangkan dalam perjanjian pinjaman (government concession loan agreement) antara Bank Exim Cina dan Departemen Keuangan, pada 5 Agustus 2008. Sesuai dengan perjanjian, Bank Exim menyediakan pembiayaan 1,8 miliar yuan. Pinjaman 15 tahun itu berbunga 2,5 persen per tahun. Lantaran pinjaman diberikan kepada pemerintah, Merpati harus menandatangani perjanjian penerusan pinjaman dengan Departemen Keuangan agar bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan.
Di sinilah tarik-ulur muncul. Xi’an menganggap transaksi efektif setelah Bank Exim Cina dan Departemen Keuangan menandatangani perjanji an. Perusahaan itu mendesak Merpati mengambil sisa pesawat. Manajemen dan komisaris Merpati menolak karena belum menandatangani perjanji an penerusan pinjaman. Gara-gara ini, Zhang Qiyue, Duta Besar Cina untuk Indonesia, dan Li Ruogu, Presiden Bank Exim Cina, pernah mendesak pemerintah Indonesia meneken perjanjian penerusan pinjaman secepatnya. Xi’an bahkan mengancam membawa persoalan ini ke pengadilan arbitrase di Singapura.
Merpati lalu meminta pemerintah menyetujui perjanjian penerusan pinjaman. Said Didu, Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara, meminta Merpati menunggu hasil kajian yang dila kukan tim restrukturisasi Merpati, yang diketuai Sahala Lumban Gaol. Sahala adalah Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi di Kementerian BUMN. Tim restrukturisasi mengusulkan beberapa persyaratan kontrak ditinjau ulang, misalnya soal harga, jumlah pesawat, dan garansi. Apalagi Merpati tengah dibelit persoalan serius. Pada akhir 2008, asetnya cuma Rp 1,06 triliun, sedangkan kewajibannya Rp 2,7 triliun.
Pada November 2008, Presiden Direktur Xi’an Aircraft Meng Xiankai meng undang Sahala ke Cina. Tapi pertemuan ditunda dua kali. Sahala dan timnya baru datang satu bulan kemudian. Namun, diakui Jack Liu, Manajer Contract Affairs Xi’an, pertemuan itu tidak membawa hasil setitik pun. ”Kami tidak memiliki kesempatan diskusi karena waktunya pendek,” katanya. Kedua pihak setuju bertemu kembali di Jakarta pekan kedua Januari tahun lalu. Namun tidak satu pun pertemuan digelar. ”Kami kecewa karena tim restrukturisasi tidak memegang janji,” ujar Jack. Padahal perwakilan Xi’an lebih dari seminggu berada di Jakarta.
Singkat cerita, sembari menunggu hasil tarik-ulur negosiasi, Sofyan Djalil ketika itu Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara—mengusulkan Departemen Keuangan menyetujui perjanjian penerusan pinjaman. Usul itu disampaikan menjelang berakhirnya masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu I.
Xi’an melunak. Pada Oktober tahun lalu, pabrikan itu bersedia menyediakan garansi kelaikan terbang dalam bentuk ketersediaan suku cadang, komponen, tidak ada pembatasan sertifikasi selama masa pakai 25 tahun, serta jaminan perbaikan terhadap kerusakan yang bersifat baby sickness alias kerusakan dini ketika pesawat baru saja dioperasikan. Xi’an juga mau memberikan garansi pembelian kembali bila terjadi kesalahan pabrikasi. Pengiriman pesawat dilakukan selama dua tahun.
Kementerian Perhubungan menyata kan sertifikasi pesawat MA-60 telah sesuai dengan prosedur dan memenuhi persyaratan regulasi keselamatan penerbangan sipil. Dengan terpenuhi nya persyaratan tadi, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Herry Purno mo membuat nota dinas. Dalam surat yang dikirim beberapa hari setelah Kabinet Indonesia Bersatu II terbentuk itu, Herry meminta pertimbangan agar Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan surat persetujuan.
Syaratnya, plafon pinjaman dalam bentuk rupiah, yang nilainya ekuivalen dengan US$ 232,4 juta. Nilai kurs dipatok maksimum Rp 10 ribu per dolar. Jangka waktu pinjaman 15 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun. Tingkat suku bunga 3 persen per tahun. Merpati diharuskan membuka reke ning penampungan. Arus kas operasional pesa wat MA-60 dan pembayaran penerusan pinjaman kepada pemerintah dilakukan melalui rekening ini. ”Semua pendapatan dan profit pesawat MA-60 masuk rekening penampungan agar bisa dikontrol pemerintah,” kata Sar djono.
Setelah tertunda berkali-kali, akhirnya perjanjian penerusan pinjaman diparaf Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada awal Juli lalu. Dua bulan sebelumnya, Agus menggantikan Sri Mulyani, yang kini menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Dengan begitu, Menteri Agus, dan pendahulunya, Sri Mulyani, memberi tonggak disetujuinya skema pinjaman lunak yang pertama kali diberikan Cina untuk pengadaan pesawat bagi Merpati.
PERSETUJUAN dari Kementerian Keuangan tidak otomatis membuat Dewan Perwakilan Rakyat menge tuk palu. Setelah hampir empat kali bersidang, para politikus di Senayan itu baru memberikan lampu hijau Senin dua pekan lalu. Syaratnya: Merpati harus menyerahkan rencana bisnis ke Badan Anggaran dan pemerintah paling lambat tiga bulan setelah persetujuan diberikan. Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Melchias Markus Mekeng mengatakan pemberian penerusan pinjaman setara dengan Rp 2,138 triliun tetap digunakan untuk membeli pesawat MA-60. Setelah pinjaman disetujui, Direktur Jenderal Perbendaharaan akan mengirim perintah pembayaran. Dari Bank Exim, uang itu langsung disetor ke Xi’an.
Tapi persetujuan itu bukan tanpa perdebatan. Sebelumnya, Badan Anggaran mempersoalkan pemberian pe nerusan pinjaman buat Merpati. Semua fraksi mempertanyakan kenapa Merpati bolak-balik diberi utang, sementara kondisinya tidak pernah sehat. Karena para politikus Senayan beranggapan kucuran tunai dari Bank Exim itu masuk brankas Merpati, muncul ide agar pinjaman tersebut dijadikan penyertaan modal negara. ”Semua fraksi suaranya sama,” kata Sardjono.
Implikasinya, pemerintahlah yang mesti merogoh kocek buat pengadaan pesawat MA-60. Sardjono setuju bila pinjaman luar negeri itu dijadikan mo dal. Hitung-hitungannya, bila dana itu jadi modal, ekuitas Merpati yang kini minus Rp 1,9 triliun bisa positif Rp 600-700 miliar di akhir tahun. Langkah ini didukung Mustafa Abubakar. ”Kami dukung supaya beban arus kas Merpati berkurang,” ujarnya.
Namun Menteri Agus Martowardojo menampik usul itu. Perjanjian pene rusan pinjaman yang sudah disetujui, kata dia, tidak akan dikonversi menjadi penyertaan modal. ”SLA (subsidiary loan agreement) sudah disetujui dan akan tetap menjadi SLA,” ujar Agus. Apalagi keputusan ini bagian dari kesepakatan yang diteken antara Kementerian Keuangan dan Bank Exim.
Di sisi lain, kata Sardjono, pemerintah tampaknya tidak mau kecolongan lagi. Soalnya, kata seorang sumber, Merpati di masa lalu dinilai kurang transparan dan belum punya rencana bisnis yang jelas. ”Pemerintah belum sepenuhnya percaya untuk memberikan penyertaan modal,” kata dia. Merpati pernah memperoleh penyertaan modal negara Rp 450 miliar pada 2007. Tapi hasilnya nihil. Merpati juga akan memperoleh kucuran dana dari Perusahaan Pengelola Aset Rp 310 miliar.
Namun, kata Sardjono, bantuan itu tidak tepat waktu dan tidak tepat dosis. Dana yang diajukan Merpati saat itu Rp 1,8 triliun. Tapi, setelah hampir 50 kali rapat, bantuan yang disetujui Rp 450 miliar. Adapun dana dari Perusahaan Pengelola Aset hanya terfokus untuk rasionalisasi 1.300 pegawai senilai Rp 230 miliar. Baru sisanya buat revitalisasi armada dan modal kerja.
Dengan tambahan 15 pesawat ini, Sardjono yakin volume bisnis Merpati bertambah. Merpati juga punya kesempatan mempertahankan hidup. ”Paling tidak, arus kas membaik,” ujarnya. Namun ia tidak yakin Merpati bisa tumbuh dan berkembang kalau hanya mengandalkan subsidiary loan agreement dari Bank Exim Cina. ”Keputusan ini bisa mendatangkan penda patan baru bagi Merpati, dan dibukukan secara terpisah, ” kata sumber Tempo yang mengikuti proses pengadaan pesawat ini.
Lalu kapan pesawat datang? Mustafa Abubakar berharap semua sisa pesawat tiba akhir tahun ini. ”Pesawat akan datang bertahap dua bulan sekali,” Said Didu menambahkan. Pesawat pertama akan tiba satu pekan setelah tim teknis berkunjung ke Xi’an.
Disetujuinya perjanjian penerusan pinjaman membuat Xi’an lega. Xi’an sempat ketar-ketir karena proses penerusan pinjaman tidak jelas. Padahal pesawat sudah selesai dan keluar dari jalur produksi. ”Kami berutang banyak karena sudah menunda pembayaran terlalu lama,” ujar Sardjono. ”Ini keputusan molor, buying time percuma selama dua tahun lebih, toh hasilnya seperti keputusan awal,” kata sumber Tempo.
Yandhrie Arvian, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo