Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Perminyakan</font><br />Gagal Kawin Pertamina-Medco

Pertamina batal membeli saham Medco Energi. Lantaran tak bisa mengontrol operasional.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada perdebatan sengit saat direksi PT Pertamina menggelar rapat di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Rapat itu lanjutan dari pertemuan maraton sehari sebelumnya di kantor pusat Pertamina, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Agenda rapat sangat penting: membahas laporan tim valuasi aset Medco Energi. Perusahaan minyak milik negara ini memang berencana membeli saham Encore International Limited, induk Medco Energi.

Menurut sumber Tempo, Direktur Utama Galaila Karen Agustiawan, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Frederik Siahaan, Direktur Keuangan M. Afdal Bahaudin, dan beberapa direktur lain tak banyak berbeda pendapat. Akhirnya direksi Pertamina memutuskan mundur alias menghentikan rencana akuisisi saham Encore International. "Semuanya sepakat," ujar sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.

Hari itu batas akhir periode eksklusif bagi Pertamina meneliti dan menilai aset Medco. Itu sesuai dengan principles of agreement yang diteken Pertamina Encore International, 15 Oktober lalu. Encore International, perusahaan yang berbasis di British Virgin Island, memiliki 60,6 persen saham Encore Energy Pte., Ltd., induk Medco Energi. Rencananya, Pertamina akan membeli 55 persen saham keluarga Panigoro di Encore International.

Dengan skenario itu, mestinya Pertamina bisa menjadi pemegang saham tak langsung Medco Energi 27,9 persen. Berdasarkan laporan ke Bursa Efek Indonesia, 30 Juni lalu, Medco dimiliki oleh Encore Energy Pte., Ltd., sebesar 50,70 persen; PT Medco Duta 0,29 persen; PT Multifabrindo Gemilang 0,06 persen; dan lain lain 37,24 persen. Sisanya, 11,72 persen, saham portepel saham yang masih disimpan dalam perusahaan.

Benar saja. Hari berikutnya, Rabu pagi pekan lalu, Pertamina menerbitkan siaran pers yang intinya menyebutkan principles of agreement berakhir tanpa transaksi. Artinya, Pertamina tidak jadi membeli saham Encore. Proses uji tuntas dan negosiasi eksklusif diakhiri. Perundingan dengan keluarga Panigoro tak dilanjutkan.

Keputusan direksi Pertamina itu sempat membuat geger. Beredar gosip kebijakan diambil lantaran ada tekanan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat. Memang dua kali rapat dengan Dewan, Pertamina dicecar soal rencana mengambil alih saham keluarga Panigoro di Medco itu. Kamis sore dua pekan lalu, Komisi Energi (Komisi VII) Dewan Perwakilan Rakyat dalam kesimpulannya menyatakan tidak mendukung proses akuisisi. "Fraksi fraksi di Komisi VII menolak," kata Wakil Ketua Komisi Effendy Simbolon, membacakan hasil rapat.

Dalam rapat yang tidak dihadiri Karen itu, delapan fraksi termasuk Fraksi Partai Demokrat-tidak setuju Pertamina membeli saham Medco. Cuma Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang belum bersikap karena belum ada keputusan di tingkat fraksi. Menurut anggota Fraksi Partai Golkar, Satya Yudha, Pertamina mestinya mengakuisisi ladang ladang minyak, bukan membeli saham perusahaan induk. "Kalau membeli saham, Pertamina tidak akan menjadi operator," kata Satya, "Pertamina juga harus menanggung segala kewajiban, termasuk utang Medco."

Senada dengan Satya, Effendy, yang berasal dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengatakan Pertamina bukan perusahaan investasi sehingga tak perlu gencar mengakuisisi atau membeli saham. Sebagai perusahaan minyak, mestinya badan usaha milik negara itu giat bereksplorasi mencari cadangan baru.

Komisi Energi mempermasalahkan laju penyedotan minyak dan gas biasa disebut withdrawal rate atau off take rate, yakni perbandingan antara produksi selama satu tahun dan cadangan pada awal tahun. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas mencatat withdrawal rate Pertamina cuma empat persen. Sebagai perbandingan, laju pengurasan Caltex Pacific Indonesia sekitar 60 persen dan ConocoPhillips 50 persen. Itu berarti, potensi di ladang ladang Pertamina masih besar. "Pertamina masih menggunakan cara cara konvensional," kata Satya.

Dalam rapat lanjutan Dewan dan Pertamina, Jumat keesokan harinya, direksi Pertamina kembali "diserbu" pertanyaan serupa. Saat itu mereka didampingi Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar. Ujung ujungnya sama: Komisi Energi menolak rencana pembelian saham Encore International, induk Medco. Tapi, malam itu, Frederick Siahaan, yang menjadi Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama, berusaha menenangkan akuisisi belum terjadi. "Masih dalam tahap uji tuntas," ujarnya.

Juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, membantah soal rata rata laju pengurasan Pertamina yang cuma empat persen. Angka itu, kata dia, data cadangan lama. Pertamina telah merevisinya tiga tahun lalu. Memang ada perbedaan cara penghitungan. Dulu, seluruh cadangan gas dihitung meskipun belum ada pembelinya. Walhasil, laju penyedotan menjadi kecil karena angka pembaginya jumlah cadangan-besar. Sekarang sebaliknya. "Pembeli ada dulu, baru potensi diperhitungkan sebagai cadangan komersial," kata Harun.

l l l

SEPEKAN berlalu setelah perjanjian eksklusif Pertamina Encore International berakhir, manajemen perusahaan pelat merah itu belum bersedia bicara gamblang alasan pembatalan pembelian Medco. Termasuk kemungkinan tekanan politis dari Dewan. "Saya enggak mau berkomentar. Sudah ada di siaran pers, kami tidak mencapai kesepakatan," kata Karen.

Secara teknis komersial, ujar Karen, manajemen Pertamina sebenarnya telah memaparkan keuntungan yang bisa didapat perseroan. Misalnya, kemungkinan "membelokkan" gas dari proyek Donggi Senoro-Medco salah satu pemilik sahamnya-dari kilang Mitsubishi ke Pertamina. Juga peluang produksi dari sumur di Libya milik Medco 160 ribu barel per hari pada puncak produksi. "Secara teknis komersial sangat menguntungkan bagi Pertamina," katanya.

Menurut sumber Tempo tadi, tim internal Pertamina sebenarnya belum merampungkan proses valuasi aset Medco. Artinya, belum ada laporan hasil mitigasi. Toh, proses uji tuntas dihentikan di tengah jalan karena pertimbangan bisnis. Salah satunya kemungkinan Pertamina sulit mengklaim angka produksi Medco. Itu karena posisi Pertamina nanti hanya pemegang saham di perusahaan induk. "Pertamina tidak terlibat di operasional. Pertamina tidak bisa mengontrol," ujarnya.

Sumber lain mengatakan ada beberapa persoalan lain mengganjal pada proses negosiasi. Misalnya, keluarga Panigoro tetap ingin sebagai pemegang kendali alias pengontrol perusahaan. "Mereka tidak mau Pertamina intervensi ke lapangan, mengontrol."

Dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu, Arifin Panigoro mengatakan Pertamina secara tidak langsung memegang kendali Medco. "Tapi kami tetap di situ. Saya founder, jadi tahu apa yang harus dikerjakan. Saya tidak akan tinggal diam. Tidak akan sekadar ambil uang, lalu pensiun."

Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro, di sela acara Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, di gedung The Energy milik Medco, di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta, Rabu pekan lalu mengatakan negosiasi eksklusif bersama Pertamina menyangkut banyak hal, mulai administrasi hingga harga. "Harga justru enggak jadi masalah." Justru, kata Hilmi, ganjalannya tahap administrasi.

Maksudnya, kata Hilmi, posisi Pertamina sebagai perusahaan negara, sedangkan Medco sebagai perusahaan publik, sangat ribet menyatukannya. Kedua perusahaan tidak menemukan kesepakatan menyelesaikan masalah itu. "Tidak mudah mengatasinya." Menurut Hilmi, kerja sama dengan Pertamina mestinya tidak dilakukan di tingkat holding atau induk perusahaan. Format yang pas, kata dia, seperti di Sebakung, Kalimantan, dan Senoro di Sulawesi.

Masalah lain suntikan modal. Pertamina meminta penyuntikan dana segar nantinya diperhitungkan atau dikonversi sebagai penambahan saham. "Tapi keluarga Panigoro menolak," bisik sumber Tempo.

Ada juga persoalan utang. Tim Pertamina menilai utang Medco terlalu banyak. Sampai semester pertama tahun ini tercatat US$ 1,32 miliar (sekitar Rp 11,9 triliun). Utang ini nantinya juga harus ditanggung Pertamina, jika menjadi pemegang saham. Desakan politis dari Senayan, sang sumber menambahkan, juga menjadi pertimbangan meski bukan faktor utama.

Analis pasar modal Norico Gaman pernah mengatakan kepada Tempo, Medco memang memiliki masalah dalam bisnis minyak dan gas di dalam negeri. Salah satunya utang besar gara gara berinvestasi saat harga minyak sedang loyo. Ia menilai Medco kesulitan mengembangkan bisnis emas hitam karena itu berupaya melepaskan diri dan beralih menggarap bisnis lain.

Retno Sulistyowati, Nieke Indrietta

Kinerja PT Medco Energi Internasional Tbk. (US$)

Semester I 2009Semester I 2010
Total aset2,07 miliar2,06 miliar
Total utang1,36 miliar1,32 miliar
Pendapatan311 juta397 juta
Laba bersih9,6 juta12,1 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus