Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar sekaligus penyandang peringkat korupsi papan atas sedunia-bahkan ibadah haji pun tak luput dari penyelewengan. Setiap tahun 200 ribu orang pergi haji, hampir setiap tahun pula terdengar manipulasi dalam perjalanan suci umat Islam itu. Bahkan sepuluh tahun terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan mengendus berbagai penyimpangan dana haji di Kementerian Agama. Tahun ini dugaan patgulipat muncul lagi dengan modus lain: setoran awal ongkos naik haji yang mengendap dalam deposito Menteri Agama dijadikan jaminan bisnis perusahaan swasta.
Ini perkara yang menyangkut uang berjumlah tak main main, yakni hampir Rp 2 triliun. Dari sebuah dokumen diketahui PT Daestra Rajawali Perkasa, yang menjadi pihak pertama dalam kesepakatan, berjanji memberikan pinjaman-dalam dokumen disebut menempatkan-dana kepada PT Kranggo Bakti Persada. Jaminannya sertifikat deposito Menteri Agama di Bank BNI.
Hubungan kedua perusahaan itu dengan Menteri Agama ataupun Kementerian Agama belum terang benar. Tapi bisnis kedua perusahaan ini tak ada kaitannya dengan haji. Majalah ini menemukan PT Daestra berkantor di sebuah rumah sederhana di Batam, Kepulauan Riau. Bisnis perusahaan itu serabutan: bengkel, penyewaan mobil, sampai event organizer yang menyediakan artis dan pelawak.
Adapun PT Kranggo berkantor di sebuah gudang jual beli mobil bekas di daerah Cawang, Jakarta Timur. Perusahaan ini pernah mendapat proyek pengangkutan batu bara dari Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, ke Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Proyek terhenti setelah bohirnya ditangkap.
Penggunaan sertifikat deposito Menteri Agama sebagai jaminan bisnis perusahaan swasta jelas melanggar hukum. Direktur Pengelola Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Sistem Informasi Haji Achmad Djunaedi yang namanya tercantum dalam dokumen-tahu benar konsekuensi hukum ini. Meskipun membantah mengenal dua perusahaan itu dan terlibat kesepakatan bisnis tadi, Achmad Djunaedi mengakui bahwa pada Maret 2010 memerintahkan penarikan deposito dari Bank BNI.
Achmad Djunaedi mengatakan penarikan deposito berjangka waktu sebulan itu dilakukan karena pihak Kementerian menginginkan BNI menambahkan bunga dari 6,5 persen menjadi 7 persen. Dana pencairan deposito sebulan itu, menurut Djunaedi, tak mengalir ke mana mana, tapi segera masuk deposito berjangka waktu setahun.
Di sini ada pertanyaan. Kalau hanya untuk mengalihkan jangka waktu, kenapa perlu ada surat penarikan deposito. Apakah tidak cukup proses pengalihan itu melalui surat menyurat saja? Mengingat deposito berjumlah sangat besar itu atas nama Menteri Agama, apakah kewenangan menarik dan memindahkan tidak berada di tangan menteri atau setidaknya direktur jenderal. Cukupkah didelegasikan kepada pejabat setingkat direktur?
Yang lebih krusial menjelaskan mengapa deposito jumbo itu sampai bisa dipakai sebagai jaminan perusahaan swasta. Sejauh ini pihak Kementerian ataupun BNI membantah mengetahui urusan perusahaan swasta ini. Tapi kelak pihak Badan Pemeriksa Keuangan, misalnya, perlu mengusut deposito Menteri Agama yang diduga dijaminkan ke perusahaan swasta itu.
Duit berjumlah besar jelas mendatangkan manfaat besar pula. Bila deposito hampir Rp 2 triliun itu dipakai sebagai jaminan kredit separuh saja dari nilai jaminan, itu artinya pihak ketiga yang meminjam uang dari bank bisa mendapat plafon kredit sampai Rp 1 triliun. Dengan bunga kredit di pasar 10 11,5 persen, setahun bank bisa meraup Rp 100 115 miliar. Bunga kredit komersial ini memang jauh di atas bunga deposito yang diterima Kementerian Agama. Di tangan mereka yang punya naluri bisnis, dan otoritas cukup atas dana itu, selisih ini bisa mendatangkan keuntungan tak sedikit.
Kementerian Agama dan juga BNI sangat berkepentingan memastikan bahwa pihaknya tidak terlibat. Prinsip kehati hatian wajib dalam mengelola dana 1,1 juta calon haji yang sekarang berada dalam daftar tunggu. Dana Rp 22,4 triliun, sampai akhir November lalu, merupakan titipan calon "tamu Tuhan" yang dikumpulkan bertahun tahun atau hasil menjual rumah, tanah, ternak, atau milik berharga lainnya. Dari dana jemaah itu, Kementerian Agama menikmati bunga deposito sekitar Rp 100 miliar sebulan tanpa mengembalikan sedikit pun kepada jemaah.
Sudah waktunya dana haji dikelola secara lebih profesional dan transparan. Sebaiknya Kementerian Agama mendengarkan saran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan agar pemerintah membentuk Badan Layanan Umum. Pemerintah bisa belajar dari sukses Malaysia, misalnya, dengan Tabung Haji nya. Pemerintah cukup bertindak sebagai pembuat aturan dan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang tak melaksanakan aturan.
"Dwifungsi" pemerintah seperti sekarang sebagai regulator sekaligus pelaksana-terbukti rawan penyimpangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo