Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asap hitam terus menerus mengepul dari 11 cerobong pembangkit listrik Tambak Lorok di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Kamis pekan lalu. Warna pekatnya terlihat kontras dengan langit biru sore itu. Hawa panasnya sudah terasa dari jarak 100 meter, menambah gerah suhu di pesisir kota lumpia itu.
Tambang Lorok termasuk salah satu pembangkit penting dari sistem kelistrikan Jawa Bali. Dalam sehari, pembangkit ini bisa menghasilkan listrik 1.300 megawatt. ”Daya itu menyumbang sepertiga kebutuhan listrik Jawa Bali,” kata General Manager PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Semarang, Sumarna, kepada Tempo di Semarang pekan lalu.
Pembangkit Tambak Lorok yang dikelola anak usaha PT PLN (persero) ini merupakan pembangkit listrik berbahan baku gas uap. Delapan pembangkit menggunakan tenaga gas alam. Tiga pembangkit lainnya menggunakan bahan baku uap solar. Kebutuhan gas alam 166 juta kaki kubik per hari akan dipasok oleh dua lapangan gas. Sebanyak 50 juta kaki kubik diperoleh dari lapangan gas Gundih, Grobogan, Jawa Tengah, yang dioperasikan Pertamina. Sedangkan 116 juta kaki kubik diperoleh dari lapangan Kepodang, yang dioperasikan Petronas Malaysia.
Namun, sejak dibangun 17 tahun silam, delapan pembangkit sudah tak menggunakan gas alam karena pasokannya berhenti. ”Hingga kini belum ada kabar pasokan gas itu,” kata Sumarna. Walhasil, sekarang semua pembangkit menggunakan dua juta liter solar sebagai bahan bakar.
Pasokan solar dari Pertamina tak ada masalah. Setiap hari mengucur deras. Toh, manajemen PLN tetap gelisah karena harga solar lebih mahal dibanding gas alam. Seretnya pasokan gas membuat PLN tak bisa menghemat ongkos bahan bakar. Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji menghitung, potensi penghematan bisa mencapai Rp 3,4 miliar sehari atau Rp 1,2 triliun setahun bila pasokan gas dari ladang Gundih mengalir. PLN bisa menghemat uang lebih besar lagi jika mendapat gas alam dari ladang Kepodang. Ongkos penghematannya bisa mencapai US$ 1,3 juta sehari atau Rp 12,8 miliar atau Rp 4,6 triliun setahun. ”Bayangkan berapa biaya yang bisa dihemat jika Gundih dan Kepodang beroperasi,” ujarnya.
Belum lagi dari sisi pemeliharaan pembangkit. Biaya pemeliharaan rutin pembangkit bertenaga gas lebih murah. Menurut Nur, biaya pemeliharaan pembangkit gas setiap jam mencapai Rp 5,2 juta, sedangkan pembangkit tenaga solar Rp 7,8 juta per jam. ”Keuntungan lainnya, penggunaan bahan bakar gas lebih ramah lingkungan,” kata dia.
Kini PLN harus gigit jari. Gara gara tak ada pasokan gas, perusahaan setrum ini tak bisa menghemat ongkos penggunaan bahan bakar. Pasokan gas dari ladang Gundih belum siap karena masalah teknis. Salah satunya kandungan belerang dalam gas masih tinggi. Pasokan gas dari ladang ini diperkirakan baru bisa mengalir ke pembangkit Tambak Lorok pada 2013. Setali tiga uang dengan gas dari ladang Kepodang. Pasokannya belum jelas karena berlarut larutnya negosiasi antara PT Bakrie & Brothers, yang akan membangun jaringan pipa gas dari ladang Kepodang ke Tambak Lorok, dengan Petronas Malaysia dan pemerintah.
Berdasarkan perjanjian dengan Petronas, kata Nur, pasokan gas dari Kepodang seharusnya bisa mengalir pada 2012 atau 2013. Akibat panjangnya negosiasi tadi, pasokan gas Kepodang ke Tambak Lorok kemungkinan baru mengalir empat tahun lagi. Tapi Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Haposan Napitupulu menjamin keterlambatan pasokan gas dari ladang Kepodang dan Gundih hanya akan molor enam bulan dari target awal. ”Sekarang sudah mulai finalisasi,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Fery Firmansyah, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo