Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF3300>BANK INDONESIA</font><br />Gigit Jari di Babak Akhir

Pegawai Bank Indonesia menolak konsep Otoritas Jasa Keuangan. Disokong Dewan Gubernur?

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia Agus Santoso­ kaget ketika anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Nusron Wahid, menghampirinya di lobi Hotel Ar­yaduta, Jakarta, Rabu malam dua pekan lalu. Ketua panitia khusus penyusun­an Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan itu memberi tahu Agus, panitia kerja memberi waktu kepada pegawai Bank Indonesia menyampaikan pendapat atas rencana pemben­tukan Otoritas Jasa Keuangan lembaga yang akan menggantikan peran Bank Indonesia mengawasi sektor perbankan.

Agus gembira menerima undangan itu. Sejak terpilih menjadi ketua serikat pegawai bank sentral, bulan lalu, Agus dan rekan-rekannya memang berniat memperjuangkan nasib pegawai Bank Indonesia. ”Kami harus bersuara,” katanya kepada Tempo. Malam itu juga serikat karyawan menyiapkan bahan ­presentasi. Esok paginya, Agus bersama 60 pegawai Bank Indonesia menyampaikan pandangannya dalam rapat panitia khusus.

Agus, yang juga Deputi Direktorat Hukum, menyatakan sebagian besar pegawai Bank Indonesia keberatan fungsi pengawasan perbankan dialih­kan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Ikatan pegawai menunjukkan survei terhadap 473 responden dari total 778 pegawai tujuh direktorat di kantor pusat Bank Indonesia. Survei menyimpulkan 76,9 persen pegawai memilih tetap bekerja di Bank Indonesia jika ­peng­awasan perbankan dilimpahkan ke lembaga lain. Hanya 14,54 persen pegawai bersedia pindah ke lembaga pengawas baru, tapi dengan catatan statusnya tetap pegawai Bank Indonesia yang mendapat penugasan khusus. Sisanya memilih pensiun dini.

Di akhir presentasi, ikatan pegawai mengajukan konsep pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tanpa mengurangi fungsi Bank Indonesia sebagai peng­awas perbankan. Nusron mencak-mencak mendengar unek-unek para pegawai Bank Indonesia. Politikus Partai Golkar itu mengatakan tujuan mengundang pegawai Bank Indonesia membahas pasal mekanisme transisi kepegawaian, bukan membahas lagi konsep­ pengawas perbankan versi karyawan. Apalagi panitia kerja sudah hampir merampungkan tugasnya membuat Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Pembahasannya ditargetkan rampung pekan ini.

Nusron menuding ikatan pegawai pasang badan untuk Dewan Gubernur Bank Indonesia. ”Ini pasti lempar bola dari Dewan Gubernur yang gagal meyakinkan kami,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Agus menampik aksi para pegawai digerakkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia. ”Ini murni aksi kami karena selama ini masukan Bank Indonesia tak pernah didengar,” ujar Agus.

Tudingan Nusron bukan tanpa alasan. Bukan rahasia lagi Dewan Gubernur Bank Indonesia memang tak sejalan dengan pemerintah, yang meng­inginkan pengawasan perbankan di­alihkan sepenuhnya ke Otoritas Jasa Keuangan. Dewan Gubernur lebih sreg pengawasan bank tetap berada di bawah Bank Indonesia, dengan status badan otonom, agar hubungan antara perbankan dan bank sentral sebagai pengambil kebijakan moneter tetap terjalin.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah berkilah ngotot-nya Bank Indonesia atas pengawasan perbankan bukan tanpa alasan. Bank sentral, kata dia, bertugas menjaga stabi­litas moneter. Tapi, mengawasi sektor­ keuangan, termasuk perbankan, juga merupakan tugas bank sentral karena berkaitan dengan stabilitas mo­neter. ”Bila terjadi gangguan di sektor ke­uangan, pasti akan berdampak langsung ke sektor moneter,” katanya, Jumat pekan lalu. Konsep tersebut, kata Halim, sudah disampaikan kepada panitia khusus perumus RUU Otoritas Jasa Keuangan.

Toh, para pegawai Bank Indonesia tampaknya harus gigit jari. Panitia khusus tak menggubrisnya. Kementerian Keuangan sebagai wakil pemerintah juga tak ambil pusing meski sebagian besar pegawai Bank Indonesia menolak pindah ke Otoritas Jasa Ke­uangan. ”Kami yakin akan dapat karyawan yang baik,” kata Menteri Ke­uangan Agus Martowardojo.

Agoeng Wijaya, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus