Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

'Happy Ending' buat Si Jempol

DPR akhirnya menyetujui suntikan modal untuk Bank Bali. Benarkah James Riady ada di balik DBC?

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISRUH Bank Bali berakhir bahagia. Ditunggui Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto, dan Kepala Bapepam Herwidajatmo, para wakil rakyat di DPR akhirnya menyetujui usulan pemerintah menyuntikkan dana untuk Bank Bali. Wajah-wajah lelah dan mengantuk peserta rapat pun seketika berubah cerah ketika pimpinan sidang yang juga Ketua Komisi IX DPR, Sukowalujo Mintorahardjo, mengetukkan palu tanda persetujuan. Barangkali leganya anggota DPR itu lantaran jam di dinding sudah menunjukkan pukul 03.45, Sabtu dini hari lalu. Para anggota dewan sudah "tertahan" tujuh jam untuk membahas rencana pemerintah menambal modal Bank Bali serta dua bank lainnya, BRI dan BTN.

Berakhirlah silang sengketa setahun lebih menyangkut bank yang didirikan oleh Djaja Ramli itu. Bank yang berusia 45 tahun ini didera setumpuk masalah, tak cuma soal bisnis tapi juga politik, dari kelambanan BPPN membayar tagihan antarbank sampai ditolaknya usul pemilik Bank Bali menggandeng GE Capital sebagai investor. Yang heboh adalah meledaknya skandal cessie PT Era Giat Prima yang melibatkan para tokoh Golkar. Puncaknya, pengambilalihan Bank Bali oleh BPPN. Upaya memasukkan Standard Chartered Bank sebagai investor akhirnya dibatalkan sendiri oleh BPPN.

Rudy Ramli, bekas pemilik Bank Bali, menyebut seluruh kejadian tersebut sebagai bagian dari "konspirasi untuk mengambil alih Bank Bali". Nah, lantaran merasa dikerjai, Rudy menggugat pemerintah dan Bank Indonesia atas tindakan mem-BTO (bank take over)-kan banknya. Gugatannya menang di Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi nasib Bank Bali tetap sengsara. Modal dibandingkan dengan aset tertimbangnya merosot hingga minus 85 persen. Tiap bulan, bank berlogo jempol itu menderita perdarahan Rp 40 miliar lantaran pendapatan bunga negatif (negative spread). Dana pihak ketiganya pun menipis drastis karena banyak nasabah yang melarikan simpanannya ke tempat lain. Dalam kepanikan yang tak terkendali, menurut catatan Sumantri Slamet, Deputi Kepala BPPN Bidang Administrasi, dana yang kabur itu pernah mencapai Rp 1,5 triliun. Bahkan, karyawannya yang berprestasi pun kabarnya sudah hengkang ke bank lain.

Satu-satunya jalan menyelamatkan Bank Bali adalah dengan memberi infus modal. Tapi, dengan status hukum yang goyah, pemerintah mulanya ragu-ragu. Syukur, kendati mesti melalui perang urat saraf, akhirnya BI, BPPN, dan Rudy Ramli sepakat untuk menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan. Hasilnya, tiga tuntutan Rudy dipenuhi, yaitu pembekuan saham milik Deutsche Bourse Clearing (DBC), Rudy mendapat pembayaran reimbursement fee sebesar Rp 2 miliar, dan penggantian biaya penasihat hukum senilai Rp 7 miliar.

Kesepakatan tersebut membuat plong semua pihak. "Kita merasa lega," ujar Pejabat Gubernur BI, Anwar Nasution. Menteri Keuangan Bambang Sudibyo berkomentar senada. "Kesepakatan itu cara yang paling murah untuk menyelesaikan persoalan Bank Bali," ujarnya. Sedangkan Rudy ikut senang karena bank yang dibangun keluarganya masih berpeluang untuk terus hidup. Apalagi dia juga mendapat kompensasi Rp 9 miliar. "Itu itung-itung pesangon buat saya," ujarnya. Selain itu, Rudy diberi kesempatan membeli kembali saham Bank Bali bila kelak pemerintah melakukan divestasi.

Hanya, pemerintah harus menguras kas lebih banyak. Akibat tertunda-tunda, suntikan dana untuk Bank Bali, yang tadinya cuma Rp 4,56 triliun, menggelembung menjadi Rp 5,3 triliun. Dengan duit segitu, pemerintah punya 99 persen saham Bank Bali, sementara Rudy Ramli dan DBC menjadi pemilik saham minoritas.

Semua beres. Kalau ada yang tersisa, itu hanya pertanyaan: siapa di balik DBC yang sempat memiliki 51 persen saham Bank Bali tersebut. Sampai sekarang masih misterius. "Tim penyelidik yang dibentuk Bapepam untuk mengusut siapa di belakang DBC," ujar Ketua Bapepam Herwidayatmo, "sampai sekarang belum menemukan titik terang."

Belakangan tersebar kabar bahwa bos Bank Lippo, James Riady, adalah dalang di balik DBC. Rudy Ramli sendiri mengaku James memang sudah lama mengincar Bank Bali. "Tiga kali James mengundang saya untuk bertemu dan meminta agar Bank Bali bisa diambil alih oleh Lippo," ujarnya. Sebagai imbalan, Rudy akan diberi saham Lippo Life, Lippo Securities, atau anak perusahaan Lippo lainnya. "Tapi tawaran itu saya tolak," ujar Rudy. Benarkah? Roy Tirtadji, Managing Director Lippo yang dikenal sebagai tangan kanan James, membantah. "Seribu persen tak benar Lippo ada di belakang DBC," ujarnya. Roy juga menyangkal kemungkinan James bermain sendiri tanpa melibatkan Lippo.

Di tengah belantara pasar modal global, menemukan pemilik perusahaan investasi macam DBC memang ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Jadi? Buat apa, sih, repot-repot.

Nugroho Dewanto, Wenslaus Manggut, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus