Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DRAMA dolar berakhir antiklimaks, setidaknya sementara. Mereka yang berharap bisa menjala untung dari memborong dolar, ternyata, harus berhadapan dengan alotnya daya tahan rupiah. Kamis lalu, beberapa jam setelah Presiden Abdurrahman Wahid ’’tak menjawab” interpelasi (hak meminta penjelasan) anggota DPR, nilai tukar rupiah justru menguat terhadap dolar. Sore itu, harga dolar bisa ditekan di bawah Rp 9.000, ’’revans” pertama rupiah setelah beberapa bulan terakhir terus digencet kekuatan dolar (lihat grafik).
Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, di tengah suhu politik yang panas, tentu saja tak terduga. Beberapa jam sebelum rupiah menguat, publik pasar uang merasa kecewa terhadap sikap Gus Dur menghadapi interpelasi DPR. ’’Jawaban Gus Dur, yang semau gue, jauh dari harapan,” kata seorang dealer pasar valuta asing di Jakarta. Akibatnya, sebagian kekuatan pasar berusaha membalas dengan mengobral rupiah dan memborong dolar. Siang itu, harga dolar sempat melambung menjadi Rp 9.200, naik Rp 160 dari hari sebelumnya.
Lalu, mengapa rupiah berhasil melakukan revans? Ada banyak versi jawaban. Menurut seorang dealer pasar uang sebuah bank asing di Jakarta, daya tahan rupiah banyak ditopang gebrakan bank sentral. Agaknya, Bank Indonesia (BI) sudah punya ancang-ancang: ujung interpelasi DPR bisa membahayakan posisi nilai tukar rupiah dan perekonomian Indonesia. Jika harga dolar melambung menembus batas keramat Rp 10 ribu, tak sulit membayangkannya untuk terus membubung hingga belasan ribu.
Salah satu jurus penting dari gebrakan BI itu adalah pemanggilan pengelola bank-bank asing. Bank asing dianggap sebagai salah satu aktor penting pasar uang yang melempengkan jalan penduduk lokal menempatkan uangnya di luar negeri. Selain itu, BI mengiringinya dengan jurus audit. Semua bank asing dibuka lagi isi perut dan laporan keuangannya, apakah ada peraturan transaksi valuta asing yang dilanggar.
Selain itu, bank sentral memerintahkan agar bank-bank pemerintah—pada dasarnya, hampir semua bank lokal besar di Jakarta adalah bank pemerintah—menjaga nilai tukar rupiah dengan menjual dolar. BI juga minta bantuan bank-bank sentral di Asia Tenggara agar membantu mencegah spekulasi. Semua langkah itu disertai ancaman Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, bahwa ’’BI akan mengambil tindakan tertentu untuk mencegah melemahnya rupiah.”
Tindakan tertentu itu, oleh sejumlah pemain pasar uang, sering dipahami sebagai cara-cara ’’di luar jalur”—cara yang tak biasa, cara-cara ’’preman”. Kata seorang pejabat treasury sebuah bank asing kepada TEMPO, BI memanggil bankir asing dua kali: pertama pada Kamis, 13 Juli, lalu diikuti Selasa pekan lalu.
Menurut sumber ini, BI minta bank-bank asing mematuhi aturan transaksi valuta asing. Misalnya, posisi net open position alias NOP (selisih kewajiban dan kekayaan bank dalam bentuk valas) setiap hari harus dipertahankan agar tak melebihi 20 persen modal. Transaksi swap (jual-pinjam valas) juga tak boleh lebih dari US$ 5 juta per hari.
Sebenarnya, rambu-rambu transaksi itu bukan aturan yang baru. Jadi, agak aneh kalau BI sampai merasa perlu mengingatkan kembali. Tapi, menurut seorang dealer, langkah ini mengirim sinyal kepada pasar bahwa BI bisa juga serius dalam menerapkan aturan. Apalagi, setelah para bankir dipanggil, giliran auditor BI mendatangi bank-bank asing untuk melakukan ’’bedah perut”.
Bahkan, BI menempatkan pengawasnya menongkrongi dealing room (ruang transaksi) valas sejumlah bank yang dianggap hiperaktif dalam ’’berdagang”. Para dealer malah sempat diinterogasi, siapa saja yang memborong dolar dalam jumlah besar dan untuk apa pembelian itu. Jurus ini, kata seorang bankir asing, ’’Memaksa spekulan berpikir ulang untuk main-main.”
Selain itu, Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom minta agar bank giat menyerap likuiditas dengan menaikkan suku bunga simpanan dan memudahkan publik membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Seorang bankir mengakui, bank enggan menaikkan suku bunga simpanan karena dengan mudah bisa menikmati selisih bunga simpanan dengan bunga SBI hingga dua persen, tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Sebenarnya, publik punya hak dan akses membeli SBI ’’pecahan” Rp 100 juta. Tapi bank-bank menghambat akses ini dengan menaikkan batas minimum pecahan antara Rp 500 juta dan Rp 1 miliar. ’’Kalau membiarkan nasabah lari ke SBI, namanya bunuh diri,” kata seorang bankir. Dengan menghalangi akses publik ke SBI dan membiarkan suku bunga simpanan pada tingkat yang rendah, bank-bank bisa mencetak untung tanpa kerja keras.
Celakanya, keengganan bank-bank menaikkan bunga simpanan rupiah punya andil dalam melemahkan nilai tukar oeang republik. Soalnya, bank-bank Singapura menyediakan simpanan dolar AS berbunga 6,5 persen ditambah fasilitas swap dengan premium 7 persen. Artinya, konsumen punya kesempatan memiliki simpanan setara rupiah berbunga 13,5 persen tanpa pajak (lihat Dolar, Rupiah, Bisa Juga Saham). Ini jauh lebih tinggi dari simpanan rupiah di dalam negeri, yang bunganya paling banter 12 persen—dan masih pula dipotong pajak.
Di atas kertas, selisih bunga jauh ini menambah deras laju uang ke Singapura. Ini tentu saja memukul daya tahan rupiah pada tempat yang paling fatal. Kalaupun dianggap tak ada lagi duit yang bisa terbang keluar, selisih ini menghambat dana-dana yang ingin kembali mudik. Akibatnya sama saja. Karena itulah Miranda minta bank-bank mendongkrak suku bunga simpanan agar setidaknya bisa menandingi Singapura.
Rupanya, gebrakan dan imbauan BI itu cukup sukses. Rupiah yang semula panas-dingin mulai menemukan kepercayaan diri. Harga dolar yang semula ajojing di atas Rp 9.000 bisa dikendalikan. Pertanyaannya: apakah rupiah akan terus menguat? Seberapa jauh daya tahan mata uang kebanggaan Indonesia itu?
Sejumlah dealer dan analis pasar uang umumnya sependapat, sampai Sidang Umum MPR, Agustus mendatang, situasi masih sulit ditebak. Gonjang-ganjing harga dolar dan panas-dingin nilai tukar rupiah akan jalan terus mengikuti fluktuasi gosip politik. Tapi, menurut seorang bankir asing, begitu sidang umum kelar, apa pun hasilnya, ’’Keadaan akan tenang kembali.” Maksudnya, rupiah akan kembali menguat mendekati nilai wajarnya.
Mengapa? Tak ada penjelasan yang rasional. Hanya, katanya, pola seperti itu sudah terjadi berulang-ulang. Setiap kali menjelang hajatan politik, pasar pasti berguncang. Para dealer agaknya memanfaatkan rumor dan perselisihan politik untuk menjala keuntungan permainan valas. Tapi, begitu peristiwanya lewat, keramaian akan mereda sampai ditemukan satu event lain yang bisa dijadikan ’’bahan baku” untuk mengguncang pasar.
Celakanya, bahan baku untuk mengguncang pasar itu sudah mulai disiapkan saat ini. Permintaan maaf Gus Dur yang ditanggapi secara beragam bisa saja menjadi bom yang dahsyat: DPR bisa memakai hak melakukan penyelidikan alias hak angket. Hak ini bisa diterapkan terhadap sumbangan US$ 2 juta dari Sultan Brunei dan penarikan dana Bulog Rp 35 miliar. Santer terdengar, kedua skandal ini akan dibahas pada masa persidangan setelah Sidang Tahunan MPR, awal Agustus ini.
Situasi bisa makin gawat karena panitia yang menyiapkan agenda Sidang Umum MPR mengajukan rancangan perubahan tata tertib yang memudahkan DPR mengundang sidang istimewa. Dalam tata tertib sebelumnya, pemanggilan ini bisa dilakukan jika presiden melanggar UUD dan GBHN, dan kini ditambah jika pertanggungjawaban presiden ditolak. Betul, sejauh ini sudah ada jaminan dari Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung bahwa tak akan ada impeachment terhadap presiden. Tapi, siapa tahu, bola bergulir lebih cepat.
Pelbagai agenda ini bisa memperpanjang masa gejolak. Jika selama ini pasar berharap setelah Agustus gonjang-ganjing akan mereda, kenyataannya kelak mungkin sebaliknya. Pasar bisa terus-menerus berajojing rock and roll karena bahan-bahannya memang tersedia—tinggal diolah.
Menurut seorang bankir, sebenarnya bukan suksesi itu benar yang ditakuti. Pergantian presiden dari Gus Dur ke Megawati, misalnya, mungkin akan diterima pasar karena Ketua Umum PDI Perjuangan itu juga legitimate, sah dan diakui rakyat. Cuma, soalnya, ’’Pasar tak yakin apakah suksesi itu tak diikuti pengerahan massa,” katanya. Jika aksi kekerasan meletup, dengan gampang dolar akan melambung hingga di atas Rp 10 ribu.
Celakanya, ada soal di luar politik yang bisa ikut mengguncang rupiah: tingginya kebutuhan dolar untuk membayar utang luar negeri. Riset SocGen Securities Singapura menunjukkan, utang luar negeri yang jatuh tempo Agustus nanti mencapai US$ 2,6 miliar. Jumlah ini amat besar mengingat rata-rata pembayaran utang per bulan selama ini, menurut taksiran ekonom Nomura Securities, Adrian Panggabean, cuma US$ 600-700 juta.
Karena itu, sulit untuk membayangkan rupiah bisa bertahan pada posisinya saat ini. Jadi, bersiap-siap sajalah.
M. Taufiqurohman,
Leanika Tanjung, Ardi Bramantyo, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo