Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ini Bocor atau Bobol?

Kebocoran anggaran makin menjadi-jadi. Malingnya makin banyak, atau polisinya makin gesit? Tanggung jawab Gus Dur atau Habibie?

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIKUS-TIKUS rupanya tidak lagi betah di sawah. Mereka ramai-ramai bermigrasi ke kantor pemerintah. Lihat saja audit terbaru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diumumkan dua pekan lalu. Audit itu menyimpulkan, tingkat kebocoran keuangan negara terus membengkak. Untuk tahun anggaran 1999/2000 lalu, misalnya, penyimpangan yang merugikan negara sudah mencapai Rp 209 triliun, 12 kali lipat kebocoran tahun sebelumnya. Melihat pertumbuhan yang dramatis ini, orang-orang pun berkata, ''Itu gara-gara tikus makin banyak berkeliaran di kantor pemerintah." Nah!

Para pejabat boleh saja berkilah bahwa lonjakan itu disebabkan obyek yang diperiksa BPK makin luas. Baiklah. Kalau dulu BPK cuma membongkar bujet pemerintah, mulai tahun anggaran lalu BPK juga memeriksa anggaran Bank Indonesia (BI), dana nonbujeter yang suka bikin kuping merah itu, juga anggaran daerah. Lagi pula, yang diperiksa juga bukan cuma pendapatan atau arus duit masuk, tapi juga arus keluar alias belanja pemerintah. Tak mengherankan jika ''anggaran" yang diperiksa BPK kini mencapai Rp 455,6 triliun, atau dua kali lipat nilai APBN.

Jadi betul, obyek pemeriksaan memang makin besar. Tapi itu tak bisa jadi alasan bahwa tikus-tikus itu tidak makin rakus. Lihatlah porsi atau bagian yang mereka gerogoti. Untuk tahun 1998/1999, tingkat kebocoran anggaran cuma 4 persen, tapi kini (1999/2000) menjadi 46 persen. Jadi, tampaknya sulit disangkal lagi, seperti kata seorang ekonom, ''Tikus-tikus pemerintah itu sekarang makin ganas."

Audit itu memang tak 100 persen melulu menunjukkan kebocoran. Pemeriksaan itu memakai standar audit pemerintahan (SAP) yang juga mencakup soal pemeriksaan kinerja. Dalam perkara kinerja inilah ditemukan pula kasus-kasus inefisiensi dan kegagagalan efektivitas, yang nilainya hanya mencapai ratusan miliar rupiah. Tapi, sebagian besar dari kebocoran itu, boleh dibilang lebih dari 95 persen, memang menyangkut soal pelanggaran tata tertib dan peraturan.

Salah satu tikus paling rakus, tak seperti biasanya, terdapat di Departemen Luar Negeri. Di kantor yang dipimpin Menteri Alwi Shihab itu, ada sejumlah pungutan dan penyetoran pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) yang tak sesuai dengan ketentuan. Jumlahnya mencapai Rp 24 miliar alias 55 persen dari total PNBP yang diperiksa.

Selain itu, Kantor Menteri Negara Investasi dan Pengembangan BUMN tampaknya juga ''memelihara" tikus serupa. Di kantor yang kini dipimpin Menteri Rozy Munir itu ditemukan penyimpangan dalam penjualan gedung milik empat bank pemerintah. Akibat penjualan yang tak sesuai dengan ketentuan, negara terancam dirugikan Rp 674 miliar.

Toh, kendati besarnya angka-angka itu cukup mengejutkan, semua itu bagaikan secuil roti dibandingkan dengan penyimpangan dana di Bank Indonesia (BI). Dari Rp 426 triliun dana anggaran BI, sekitar Rp 205 triliun yang bocor (hampir separuhnya). Tampaknya, penyimpangan itu terjadi dalam penyaluran dana talangan Bank Indonesia. Sebelumnya diketahui, sekitar Rp 80 triliun dana yang disebut BLBI itu tak layak dialihkan menjadi utang pemerintah. Sementara itu, sekitar Rp 125 triliun BLBI tak didukung jaminan yang efektif.

Persoalannya sekarang, siapa yang harus bertanggung jawab atas kebocoran gila-gilaan itu? Patut diingat, kabinet Gus Dur baru dibentuk November 1999 dan efektif sebulan kemudian. Padahal, anggaran 1999/2000 dimulai sejak 1 April 1999 hingga 31 Maret 2000. Artinya, pemerintahan Gus Dur baru menikmati anggaran itu pada kuartal terakhir saja.

Menurut ekonom yang bekerja untuk Nomura Securities di Singapura, Adrian Panggabean, secara proporsional 75 persen anggaran habis pada tiga kuartal pertama. Dengan kata lain, ''Bekas presiden Habibie yang harus lebih bertanggung jawab atas kebocoran itu," katanya. Jika melihat kontribusi utama kebocoran yang berasal dari pembobolan dana bantuan likuiditas BI, argumen Adrian itu memang ada benarnya.

Tapi, berbeda dengan Adrian, Umar Juoro, yang pernah menjadi penasihat ekonomi Habibie, menunjuk kebocoran menggila itu lantaran lemahnya sanksi. ''Tiap tahun ada audit," katanya, ''tapi tak ada kelanjutannya." Menurut Umar, pelaku penyelewengan itu merupakan birokrat yang levelnya di bawah menteri. Celakanya, di masa Gus Dur saat ini, birokrasi tetap terdiri dari orang-orang yang sama. Yang ganti cuma menteri dan dirjen. Tenaga administrasinya sama. ''Jadi, korupsi ini sifatnya sistemis," kata Umar. Artinya, sistemnya sendiri tak berjalan dengan baik untuk mencegah kebocoran.

Menurut Umar, yang diperlukan adalah proses hukum dan administratif. Secara administratif, perlu dilakukan upaya mengurangi kebocoran. Tapi itu harus diikuti dengan tindakan hukum yang lebih konkret dari aparat kejaksaan dan peradilan. Repotnya, sampai sekarang tindakan hukum itu tak juga berubah.

Ekonom M. Ikhsan menambahkan perlunya perbaikan insentif. Maksudnya, gaji pegawai negeri dinaikkan. Kalau sekarang gaji mereka di bawah rata-rata, kata Ikhsan, ''Mana bisa cukup mereka membiayai hidup?"

Dari luar negeri, tekanan lembaga dan negara-negara donor untuk menciptakan pemerintahan yang bersih sebetulnya makin kuat. Ketetapan itu malah juga sudah tertuang dalam daftar target reformasi ekonomi yang disusun bersana Dana Moneter Internasional (IMF). Artinya, jika aktivitas korupsi tak bisa dipangkas, ada kemungkinan bantuan mereka tertunda atau malah diberhentikan.

Bagaimana dengan pengawasan DPR? Anggota Komisi IX DPR, Didik Supriyanto, berjanji akan menyikapi masalah ini dengan tegas. Seperti apa sikap tegas itu? Tidak jelas. Ia cuma mengaku, sampai hari ini belum ada pembicaraan di DPR yang khusus menyoroti soal-soal maraknya korupsi. Hasil audit BPK itu saja belum ''digarap". Begitu pun Didik masih punya alasan. ''Lo, hasil audit itu diserahkan kepada pimpinan DPR belum lama ini," katanya. DPR, kata Didik, perlu meneliti dan mempelajari dulu hasil audit tersebut.

Ekki Syachrudin juga menunjuk lemahnya kemampuan administratif dan manajemen pemerintahan Gus Dur sebagai penyebab kebocoran anggaran. Untuk memperkuat pengawasan DPR terhadap anggaran pemerintah, ia mengusulkan agar DPR memiliki komisi yang mengawasi anggaran berjalan. ''Agar tidak kebobolan seperti sekarang," katanya, ''Setelah bocor, baru tahu."

Moga-moga saja kebocoran bisa dikurangi. Kalau tidak, cap kita sebagai negara paling korup di dunia tidak akan membaik.

Nugroho Dewanto, Rian Suryalibrata, Adi Prasetya, Andari Karina Anom

Hasil Audit BPK Tahun Anggaran 1999/2000 (dalam juta rupiah)

SasaranJumlah AnggaranNilai yang DiperiksaCakupan Audit (%)TOTAL PENYIMPANGAN
JumlahNilai%
APBN 9,331,522.21    569,546.83 6.10
Pendapatan negara219,603,8001,855,296.904.2537 247,609.5713.35
Belanja negara219,603,800 0.84257  
Bank Indonesia 426,276,920 426,276,920 100 2 204,728,380 48.03
Dana Non-APBN 3,102,451.78 2,056,777.84 66.30 19 1,004,038.30 48.82
APBD 49,829,636.8 16,143,768.05 32.39 466 2,880,814.99 17.84
Total 918,416,608.58 455,664,285 49.61 779 209,430,389.69 45.96

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus