MENUNGGU memang bukan pekerjaan menyenangkan. Apalagi yang ditunggu-tunggu adalah pemodal yang menentukan mati-hidupnya usaha yang tengah dijalankan. Rasa waswas dalam ketidakpastian itulah yang kini dialami awak stasiun televisi Anteve. Sudah lama stasiun yang berslogan "Wow, keren" itu menunggu datangnya pemodal anyar, tapi yang ditunggu tak jua kunjung datang. Padahal, bila investor tak kunjung mengulurkan tangan, stasiun yang didirikan keluarga Bakrie dan Agung Laksono ini besar kemungkinkan harus amit mundur.
Stasiun televisi yang awalnya didirikan di Lampung, 1 Januari 1993, itu kata Chief Executive Officer PT Cakrawala Andalas Televisi—penyelenggara siaran Anteve—Omar Lutfhi Anwar, terus mengalami defisit. Biaya operasional yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan yang masuk. Stasiun yang dikenal sebagai stasiun anak muda ini dibanding empat stasiun televisi swasta lainnya memang paling keteter dalam menjaring iklan. Besar pasak daripada tiang, kata pepatah.
Sementara itu, pemodal lama—Bakrie Investindo (60 persen) dan Hasmuda Internusa (40 persen)—sulit diharapkan bisa menyuntikkan dana segar guna menggairahkan kembali stasiun televisi yang ibaratnya telah menderita kurang darah yang kronis ini. Maklum, kocek mereka juga sedang seret. Alih-alih menyuntikkan modal baru, untuk membayar utang saja Bakrie Investindo sudah pusing tujuh keliling. Jadi, satu-satunya harapan adalah masuknya juragan baru.
Untuk memikat juragan baru, sebenarnya Anteve masih menarik. Meminjam istilah Manajer Hubungan Masyarakat Anteve, Soraya Perucha, investor antre untuk bisa meminang stasiun televisi yang sempat unggul dalam program-program olahraga itu—program yang sebenarnya potensial mengundang iklan dan sponsor.
Setidaknya ada tiga investor yang selama ini terdengar serius hendak menanam uangnya di Anteve. Yang pertama adalah Kelompok Kompas-Gramedia. Pemilik usaha penerbitan terbesar di Indonesia yang sejak dulu ingin memiliki stasiun televisi itu sempat menjajaki Anteve. Niat itu gagal karena permintaan potongan utang kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—Anteve berutang Rp 50 miliar kepada BPPN via BNI 46— tidak dikabulkan. Yang kedua adalah Bhakti Investama. Namun, seperti halnya Kompas-Gramedia, usaha Bhakti kabarnya juga mentah di BPPN.
Nah, peminat ketiga yang tak kalah semangatnya adalah PT Indopac Media. Negosiasi dengan perusahaan yang dijalankan oleh kelompok anak muda yang tengah getol-getolnya berbisnis media ini sejatinya nyaris rampung. Harga sudah cocok. Dengan pemilikan saham lebih dari 50 persen, sang komandan Indopac, Erick Thohir, pun sudah diplot untuk duduk di kursi Wakil Direktur Utama Cakrawala Andalas Televisi.
Namun, begitu masuk pada pola penyetoran modal, ada ketidaksepahaman antara Indopac dan Bakrie Investindo. Grup Bakrie menginginkan pelunasan pembayaran dilakukan segera, sementara penyerahan pemilikan saham dilakukan secara bertahap sambil menunggu persetujuan kreditor lainnya. Untuk diketahui, selain berutang kepada BPPN, Anteve juga memiliki utang obligasi sebesar US$ 59 juta kepada konsorsium kreditor dari Jepang, Korea, dan Inggris.
Indopac tidak mau menggunakan pola itu. Dalam pandangan Erick, pola itu terlalu berisiko buatnya. Pengusaha yang kini mengendalikan harian umum Republika ini—Indopac menguasai 40 persen saham—ingin pembayaran dilakukan setelah ada persetujuan dari semua kreditor. "Ibarat membeli mobil, kalau kita bayar cash, kita ingin STNK (surat tanda nomor kendaraan) dan BPKB (bukti pemilikan kendaraan bermotor) diserahkan sekalian," kata pemilik stasiun radio Radio One, majalah Golf Digest, dan media iklan Layar Indonesia yang berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, ini.
Menurut Erick, pihaknya kini tengah menunggu jawaban dari Bakrie. Jika Bakrie mau mengubah pola pembayarannya, Erick siap mengucurkan dana. Tetapi jika Bakrie berkeras, apa boleh buat, Anteve tampaknya harus memanggil investor lain yang ada dalam antrean. Sebab, Erick juga tidak mau mengubah keputusannya.
Bisa dimaklumi jika Erick bersikap begitu, karena uang yang akan dipakai untuk meniupkan napas ke Anteve besarnya 70 persen dari modal yang dimiliki Indopac. Dengan dana sebesar itu, tentunya Erick ingin kepastian, sedangkan pola yang ditawakan Bakrie tidak memberi kepastian. "Ya, kalau tidak ada masalah dengan kreditor lain. Kalau ada masalah kan repot," kata sumber TEMPO.
Pihak Bakrie tampaknya tidak bisa berlama-lama menggantung persoalan. Apalagi ancaman serius sudah dilayangkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. Jika dalam waktu satu bulan Anteve tidak melunasi tunggakan biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi dari tahun 1995 sampai 2000 yang besarnya Rp 4 miliar, frekuensi yang digunakan Anteve akan dicabut.
Itu artinya, jika sampai pertengahan September 2001 ini Anteve belum juga melunasi tunggakannya, slogan "Wow, keren" bakal raib dari udara. Akankah Anteve turun panggung sementara slogan-slogan baru dari beberapa televisi baru mulai bermunculan Oktober mendatang?
Hartono, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini