Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Dani Tergolek di Kramatjati

Demi Daulah Islam Nusantara, kaum mujahidin diduga melakukan aksi teror di Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Benarkah kelompok lokal terlibat?

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Rumah Sakit Kramatjati, Jakarta Timur, kini masih tergolek tubuh Taufik Abdul Halim alias Dani. Satu kaki pemuda berusia 26 tahun asal Malaysia itu sudah diamputasi. Rambutnya pun telah dipotong pendek. Tapi ia masih ke-lihatan gagah karena dagunya yang kekar dan sorot matanya yang tajam. Pekan lalu, korban sekaligus pelaku ledakan bom di Plaza Atrium Senen, Jakarta, itu melontarkan pengakuan penting. Ucapannya memperjelas sebuah dugaan: adanya jaringan teroris internasional yang telah merambah ke negeri ini. Dimuat dalam sebuah koran Malaysia, The Star, edisi 30 Agustus lalu, Dani mengaku sebagai pembawa bom yang meledak di Senen sebulan silam itu. Bom yang dicampuri paku dan baut itu dibawanya bersama tiga rekannya. Benda berbahaya itu keburu meledak sebelum perintah datang. Keterangan alumni Universitas Teknologi Mara, Johor Baru, yang pernah bergerilya di Pakistan selama tiga tahun ter-sebut tak berhenti di situ. Ia juga mengungkapkan bahwa ledakan sepekan sebelumnya di Gereja Santa Anna, Jakarta Timur, merupakan hasil kerja kelompoknya. Dani datang ke Indonesia sekitar Juni tahun lalu. Ia menyusup secara ilegal karena paspornya A 6057149 sudah ditahan oleh imigrasi Malaysia. Pemuda yang suka memakai nama samaran Dodi itu masuk lewat Nunukan, Kalimantan Timur, sempat transit di Sulawesi, lalu menjejakkan kakiknya di daerah konflik di Maluku. "Di sana saya ikut menjaga kampung-kampung dari serangan musuh," katanya. Pengakuan Dani menjadi bahan kajian kalangan intelijen Indonesia, kepolisian, dan bahkan interpol. Diduga, sekitar delapan orang Malaysia yang menyusup bersama Dani masih berkeliaran di Indonesia. Terang-terangan, Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, menyebut adanya kaki tangan jaringan teroris antarbangsa yang membuat onar di Indonesia. Kata Sofjan, mereka berasal dari kelompok jihad di Malayasia yang masuk lewat berbagai pintu, antara lain Manado, Tarakan (Kalimantan Timur), Ambon, dan Tanjungpriok. Masalah ini juga menjadi pembicaraan saat Presiden Megawati bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia beberapa waktu silam. Menurut sumber TEMPO di Mabes Polri, kelompok Islam garis keras itu mulai berkembang di Asia lima tahun silam, seiring dengan memanasnya konflik di Afghanistan. Kelompok mujahidin (pembela agama Islam) di sana merekrut banyak pemuda dari Malaysia, Aceh, dan Filipina Selatan. Ini juga diakui oleh Jafar Umar Thalib, Panglima Laskar Jihad Ahlussunah Wal Jamaah, yang pernah tinggal di negeri itu selama dua tahun. Kata Jafar, kelompok ini dikenal radikal dan gampang mengafirkan orang lain, termasuk pemerintah. Nah, setelah konflik di Afghanistan mereda, para pemuda yang terlatih ini kembali ke negaranya masing-masing. Dikendalikan dari Malaysia, kata sumber di kepolisian, mereka masih mengadakan koordinasi dan melibatkan diri dalam berbagai aksi. Kelompok yang oleh kepolisian Malaysia disebut Kumpulan Mujahidin Malaysia ini menyokong perjuangan suku Moro di Filipina. Mereka bergabung dalam kubu Abu Sayyaf, yang sering melakukan penyanderaan. Sebagian alumni mujahidin Afghanistan juga bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dan ketika pemerintah Indonesia me-lakukan operasi besar-besaran, mereka balik lagi ke Malaysia. Demikian pula saat konflik SARA di Maluku meletup, mereka pun me-libatkan diri. Selain mengirimkan orang, mereka juga berupaya menyelundupkan senjata. Akhir Juli lalu, polisi Malaysia menahan belasan warga Malaysia dan Indonesia di Sabah. Mereka ditangkap karena membawa dua senjata M-16 dan enam pistol yang diduga akan diselundupkan ke Ambon. Tak cuma itu. Di Indonesia, mereka juga terlibat dalam sejumlah aksi pengeboman gereja, seperti diakui oleh Dani. Menurut sumber TEMPO di interpol, pola kegiatan dan jenis bom yang mereka gunakan mirip dengan yang meledak di kota-kota di Filipina. Bom itu umumnya berdaya ledak rendah, sehingga harus dicampuri paku, mur, atau baut agar bisa melukai orang. Hanya, sejauh ini Dani tidak mau dikaitkan dengan Kumpulan Mujahidin. Dalam kaitan dengan teror bom ini, satu simpul lain telah mencuat di Bandung. Ini gara-gara pengakuan Iqbaluzzaman, pelaku peledakan bom pada malam Natal tahun lalu, yang telah divonis 15 tahun penjara. Dulu, Iqbal pernah aktif di kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin Abdul Fatah Wiragapati. Lelaki berkumis tipis dan berjenggot pendek berusia 45 tahun itu mengisyaratkan adanya keterlibatan orang Malaysia bernama Hambali. Dialah yang mengatur rencana pe-ledakan bom dan menjanjikan iming-iming duit 25 ribu ringgit (sekitar Rp 60 juta). Lahir di Cianjur, Jawa Barat, Hambali sudah 10 tahun tinggal di Malaysia dan beristri wanita sana. Kaitan antara Hambali dan Kumpulan Mujahidin memang belum terbukti. Yang jelas, sampai sekarang ia masih dicari oleh polisi Indonesia dan Malaysia (lihat boks wawancara Iqbal: "Saya Dizalimi Orang Malaysia"). Lalu, apa sebetulnya motivasi kaum mujahidin? Dibentuk pada 1988, Kumpulan Mujahidin Malaysia bertujuan memperjuangan tegaknya syariat Islam. Pemimpinnya bernama Nik Adli Abdul Aziz, 34 tahun, anak Menteri Besar Kelantan. Kelompok ini mempunyai cabang di Selangor, Kedah, Perak, Johor, Terangganu, dan Kelantan. Dengan membuat kekacauan di Malaysia, Indonesia, dan Filipina, diduga mereka ingin mendirikan Negara Daulah Islam Nusantara. Malah, menurut Jafar Umar Thalib, Kumpulan Mujahidin ini telah masuk dalam jaringan Osama bin Laden. Tokoh teroris kaya asal Arab Saudi ini sampai sekarang masuk daftar orang yang paling dicari oleh pemerintah Amerika Serikat. Sebelum mengembangkan sayapnya ke mana-mana, gerakan Osama mula-mula berkosentrasi di Sudan, Afghanistan, dan Yaman. Di Indonesia pun, kata Jafar, jaringan Kumpulan Mujahidin Malaysia sudah menancapkan akarnya. Organisasi yang dibentuk bernama Laskar Mujahidin—bukan Laskar Jihad Mujahidin seperti yang pernah dilontarkan polisi. Beranggotakan sekitar 100 orang, mereka bermarkas di daerah Airkuning, Ambon. "Orang-orang dari Kumpulan Mujahidin Malaysia juga menyelinap di antara mereka," katanya. Ada juga yang mengaitkan dengan Majelis Mujahidin yang diproklamasikan pada kongres di Yogyakarta, Agustus tahun lalu. Gerakan ini merupakan payung dari berbagai komunitas, termasuk kelompok NII. Majelis Mujahidin menjadi sorotan karena salah satu tokohnya, K.H. Abubakar Ba'asyir, kini tengah dicari oleh polisi Malaysia. Lelaki berusia 62 tahun itu sekarang tinggal di Pondok Pesantren Al-Mukmim, Ngruki, Sukohardjo, Jawa Tengah. Ia memang pernah menetap di Malaysia sejak 1985, setelah menjalani hukuman penjara 3 tahun 10 bulan. Ia dihukum karena dituduh terlibat Komando Jihad, yang ingin mendirikan NII pada 1978. Di Malaysia, Abubakar sering memberikan ceramah dalam berbagai pengajian, tapi ia mengelak jika dikaitkan dengan Kumpulan Mujahidin. Kata Irfan Suryahadi Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, tidak mungkin Abubakar terlibat dalam organisasi itu. Sebab, ia sudah kembali ke Indonesia dua tahun silam, ketika nama Majelis Mujahidin belum terdengar. Tapi Irfan mengakui salah satu anggotanya, Ustadz Iqbal Abdurrachman, kini tengah ditahan polisi Malaysia. "Ia dikait-kaitkan dengan Kumpulan Mujahidin karena sering memberikan ceramah di sana," ujarnya kepada L.N. Idayanie dari TEMPO. Bagi Irfan, mencuatnya organisasi Kumpulan Mujahidin Malaysia hanyalah rekayasa pemerintahan Mahathir Mohamad. Wadah itu sebetulnya tidak ada, cuma semacam organisasi tanpa bentuk. Manuver Mahathir ini, menurut Irfan, merupakan bagian dari konspirasi anti-Islam. Dampaknya di Indonesia bisa seperti di era Orde Baru, berbagai rekayasa dilakukan untuk memojokkan gerakan Islam. Irfan hanya bisa berharap agar Ketua Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, tidak ter-jebak pada kesalahan yang dulu dilakukan oleh Ali Moertopo. Sepintas berbagai aksi teror memang gampang dihubungkan dengan gerakan Islam radikal. Dani sudah mengaku, Iqbal di Bandung pun sudah bernyanyi. Yang jadi soal, benarkah mereka melakukan aksi demi perjuangan Islam. Ini susah dibuktikan. Bisa jadi, mereka sekadar menerima pesanan dari pihak lain. Lagi pula, di balik peledakan bom di Indonesia, kelompok Islam cuma salah satu kemungkinan. Masih banyak lagi yang di-tuding, antara lain kelompok Tommy Soeharto, preman bayaran, dan juga Gerakan Aceh Merdeka. Kini, masyarakat menanti polisi menguji asumsi tadi. Sulit memang. Tapi mengaitkan aksi pengeboman di negeri ini dengan jaringan teroris Islam tampaknya terlalu menyederhanakan masalah. Dan polisi tentu tak segegabah itu, sebelum ditemukan bukti lengkap. Gendur Sudarsono, Rinny S., Raihul Fadjri, Muchid Albintani (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus