JUSUF Mangga Barani tercenung dan menghela napas panjang. Inspektur jenderal yang Ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Polri Dua ini tak tampil santai seperti biasanya. Wajahnya tampak keras dan ucapannya tegas. Ini tentu bukan lantaran grogi disorot kamera televisi, melainkan lebih karena beban berat yang diemban di pundaknya.
Di Markas Komando Brigade Mobil (Brimob) di Kelapadua, Depok, Jawa Barat, tempat para perwira itu disidang, Kamis pekan lalu, Jusuf harus mengumumkan selesainya pemeriksaan delapan perwira menengah (pamen). Kita ketahui, mereka dituding melakukan pelanggaran kode etik dan disiplin perwira, terutama melawan atasan. Namun, sang petinggi polisi berbintang dua ini tidak menjelaskan apa hasil sidang selama tiga jam lebih itu. "Saran kami akan disampaikan kepada Kapolri selaku pepera (perwira penyerah perkara)," kata Jusuf.
Sidang DKP tersebut merupakan buntut perseteruan tajam antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro. Setelah sebelumnya dinonaktifkan, Bimantoro kemudian dicopot oleh Presiden pas pada hari ulang tahun Bhayangkara Polri, 1 Juli lalu. Namun, yang diturunkan menampik pemberhentian itu, juga penunjukannya sebagai duta besar di Malaysia.
Dalam pusaran konflik tingkat tinggi itulah kedelapan perwira, yang sekarang mendekam di tahanan Provost Brimob Kelapadua, berpendapat bahwa Bimantoro seharusnya legowo dengan keputusan Presiden. "Jika perintah atasan tidak ditaati, ini berbahaya bagi institusi Polri," ujar Komisaris Besar Alfons Loemau saat itu.
Puncak kekecewaan para perwira "diproklamasikan" di Kafe Waroeng Menteng, 22 Juli lalu. Dalam pernyataan beberapa jam sebelum Presiden Abdurrahman meluncurkan dekrit, disampaikan antara lain penilaian mereka bahwa Sidang Istimewa (SI) MPR tidak sah dan polisi telah terlibat mengamankan kegiatan ilegal.
Pernyataan para pamen itu memang melawan arus. Soalnya, pimpinan Polri saat itu sudah menyatakan sikapnya akan mengamankan SI MPR. Tapi, apa lacur, langkah inilah yang kemudian dijadikan dasar penahanan mereka karena dinilai telah melakukan insubordinasi.
Malangnya, Presiden Abdurrahman kemudian terjungkal dari kursi presiden setelah dekrit yang ia sampaikan justru mempercepat SI. Jadi, ibarat perang, Bimantoro menang tanpa harus menggelar pasukan tempur—seperti hanya membalikkan telapak tangan. Seteru Bimantoro, Chaerudin Ismail, yang sebelumnya diangkat menjadi Pemangku Jabatan Sementara Kapolri, ikut terdepak.
Chaerudin kini menjadi jenderal "nganggur". Ia tidak punya jabatan apa pun setelah Presiden Megawati mencabut keppres Presiden Abdurrahman yang menonaktifkan dan memberhentikan Bimantoro, 3 Agustus silam. Keppres itu juga sekaligus menghapus jabatan Wakil Kapolri.
Tak lama setelah perintah tersebut turun, Chaerudin langsung berkemas-kemas cabut dari Mabes Trunojoyo. Bahkan kemudian ia tidak pernah lagi nongol di mabes. Papan namanya sebagai Wakil Kepala Polri pun sudah lama diturunkan dari pintu kantornya. "Bapak ada di rumah terus," kata salah seorang bekas stafnya di mabes.
Chaerudin sendiri tidak bisa ditemui ketika TEMPO menyambanginya di rumahnya di Wisma Buncit Raya. Salah satu ajudannya mengatakan, Chaerudin sudah beberapa hari ini di luar kota. "Saya tidak diberi tahu ke mana perginya, karena dengan keluarga," ujar Ade. Telepon genggam perwira tinggi itu pun selalu dimatikan. "Beliau tak mau angkat telepon jika (orangnya) tidak ia kenal," ujar seorang per-wira yang dekat dengan Chaerudin.
Kembali ke Jusuf, jika sekarang Bimantoro berada di atas angin, lantas apa yang menge-cutkan Ketua DKP yang juga Komandan Korps Brimob itu? Rupanya ia harus menghadapi sikap berani kedelapan perwira yang bersikukuh menolak DKP. Satu sumber di jajaran Korps Baret Biru yang menyaksikan langsung sidang "pengadilan" tersebut me-laporkan kesaksiannya kepada TEMPO. Setelah dibacakan kesalahan-kesalahan para pamen, tuturnya, sidang dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan sikap perwira oleh Komisaris Besar Parlindungan Sinaga.
Dalam pernyataannya, komisaris besar polisi yang bertugas sebagai staf ahli Badan Pembinaan Hukum Polri itu mempertanyakan dasar hukum persidangan DKP. Ia menunjuk bahwa penyidangan tersebut cuma berdasarkan naskah sementara buku petunjuk administrasi dari surat keputusan Kapolri No. Pol. Skep/480/IV/1996 tertanggal 31 April 1996.
Di depan anggota sidang DKP, Sinaga dengan tegas mengatakan bahwa tindakan itu merupakan rekayasa sekaligus pelegitimasian suatu ketentuan yang tidak berlandaskan hukum. "Apakah keadaannya sedemikian genting sehingga tidak memungkinkan adanya alternatif perangkat hukum yang lain?" katanya.
Penolakan para pamen itu sebenarnya sudah bisa ditebak sebelumnya. Pada Rabu dua pekan lalu, para perwira lewat kuasa hukumnya mengajukan kembali gugatan praperadilan Bimantoro ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alasan penolakan itu, seperti dikatakan Irfan Melayu, S.H. sebagai salah seorang pengacara para pamen, kepolisian merupakan institusi sipil. Ia lantas menunjuk landasan hukumnya: Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000. Jadi, kalaupun kliennya harus diadili, itu lewat peradilan sipil—dan bukan melalui DKP, yang "berbau" militer.
Namun, para petinggi Mabes Polri tetap bergeming dengan protes-protes itu. Irjen Polri Komisaris Jenderal Ahwil Luthan, yang menghadiri sidang DKP, berdalih bahwa jika perkara mereka sudah disidangkan, tidak boleh ada lagi persidangan yang lain atasnya, "Karena kita hanya mengenal satu hukum acara," kata Ahwil.
Bagaimana menakar kemungkinan nasib kedelapan perwira tersebut jika DKP tetap berlangsung? Ada empat kemungkinan putusan, seperti dikemukakan Wakil Kepala Badan Hubungan Masyakarat Mabes Polri, Brigjen Edward Aritonang. Pertama, kasus tersebut akan dilimpahkan ke pengadilan militer. Kedua, mereka diberhentikan secara hormat. Ketiga, diberhentikan dengan tidak hormat. Dan keempat, mereka hanya dikenai tindakan disiplin apabila kesalahan yang dilakukan Kombes Alfons dkk. tidak terbukti.
Namun, mencermati nada tinggi para petinggi Polri yang lagi berkuasa, yang disebut pertamalah yang paling besar kemungkinannya. Apalagi, dua pekan lalu, Ahwil Luthan sudah memberi sinyal bahwa langkah peradilan militer akan ditempuh Mabes Polri untuk menyelesaikan masalah itu. "Praperadilan menjadi percuma karena polisi masih di bawah peradilan militer," ujarnya.
Kemungkinan pemecatan pun bisa terjadi. Namun, Jusuf mengingatkan, masalah ini menyangkut nasib seseorang, sehingga harus dipertimbangkan pula jasa-jasa mereka yang sudah bertugas 30 tahun. Toh, itu bukan berarti para petinggi Polri akan dapat mulus menyeret para pamen "bermasalah" tersebut ke pengadilan militer. Selain muncul protes dari kalangan pengacara, politisi Senayan juga mulai tersengat. Mereka melihat upaya DKP dan pengadilan militer sebagai langkah mundur polisi, yang kembali menggunakan cara-cara lama yang militeristis. Ketua DPR Akbar Tandjung Jumat lalu mengatakan akan menegur Kapolri, yang menggunakan mekanisme DKP, sistem yang lazim digunakan lembaga kemiliteran.
Perlakuan hukum terhadap polisi memang diatur dalam Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 Pasal 7 Ayat 4. Dalam ketetapan itu jelas dikatakan, "Anggota Kepolisian Negara RI tunduk pada kekuasaan peradilan umum." Karenanya, kata Akbar, pimpinan Polri harus memperhatikan diktum tersebut.
Langkah Bimantoro memang bisa dikatakan mendua. Di satu sisi ia menggunakan Tap MPR No. VII/MPR sebagai benteng ketika ia diberhentikan dari jabatan Kapolri oleh Gus Dur. Sedangkan di sisi lain ia tidak mau menggunakan ketetapan yang sama saat menangani orang-orang yang berseteru dengannya (lihat tabel).
Karena itulah, seperti dikatakan oleh Adrianus Meliala, jalan penyelesaian terbaik adalah rekonsiliasi. Menurut pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia ini, cara itu dapat menghindari munculnya barisan sakit hati, yang membuat institusi Polri tidak solid di masa depan. Meliala mencontohkan, ketika mantan Pangkostrad Letjen Agus Wirhadikusumah dan Saurip Kadi dianggap melanggar kode etik perwira militer, kasusnya tidak dilanjutkan ke pengadilan militer. "Sementara TNI saja bisa, mengapa polisi tidak bisa?" katanya.
Terlebih-lebih, menurut Meliala, pengadilan Polri terhadap para anggotanya itu dilakukan di tengah perbedaan penafsiran hukum yang dapat menjadi PR (public relation) yang jelek bagi polisi. "Polisi kan punya humas. Kalau polisi mengadili anggotanya karena perbedaan pendapat, ini kan PR yang jelek," ucapnya.
Di ruang tahanan Provost Kelapadua, para pamen yang terundung perkara itu tak cuma termenung-menung. Bercelana pendek, Kombes Bambang Widodo, misalnya, sering terlibat diskusi yang serius. Sedangkan Parlindungan Sinaga membunuh waktu dengan membuat puisi. Alfons sering mengkritik puisi Sinaga jika puisinya bernada sedih. "Jangan terlalu cengenglah," seloroh Alfons.
Mungkin ada benarnya ucapan Alfons: mereka harus bersiap-siap menghadapi nasib buruk yang siapa tahu akan menimpa mereka.
Beda Pendapat Seputar DKP
Setuju
Irjen Polri Komisaris Jenderal Ahwil Luthan
Sistem hukum polri masih di bawah peradilan militer.
Ketua DKP Irjen Pol. Jusuf Mangga Barani
Sebagai penegak hukum, polisi yang melanggar juga harus ditindak
Tidak Setuju
Ketua DPR Akbar Tandjung
Sesuai dengan Tap MPR No. VII/MPR/2000 Pasal 7 Ayat 4, Polri berada di bawah peradilan umum. Jangan terkesan polisi tidak menghormati tap MPR
Adrianus Meliala, kriminolog dan pengamat Polri dari UI
Rekonsiliasi atau di-nonjob-kan lebih ringan cost-nya. Seharusnya ada jalan di luar pengadilan. Ini akan menimbulkan barisan sakit hati.
Irfan Melayu, S.H., pengacara delapan pamen
Sebagai aparat sipil, polisi seharusnya tunduk kepada hukum sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini