Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) mengaku sudah melakukan sejumlah langkah mendorong pertumbuhan industri di tengah banyaknya pencabutan izin BPR dan BPRS oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu langkahnya, yakni dengan pengembangan teknologi core banking system (CBS) agar mampu bersaing dengan layanan fintech.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perbarindo sudah mendapatkan komitmen lembaga dan melakukan beberapa kali FGD untuk pengadaan core banking system untuk BPR dan BPRS se-Indonesia,” kata Ketua Umum Perbarindo, Tedy Alamsyah kepada Tempo, Senin, 2 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai informasi, CBS merupakan sistem yang digunakan bank untuk mengelola data nasabah dan transaksi, serta menyediakan layanan kepada nasabah. Menurut Tedy, CBS tidak hanya memenuhi kepatuhan regulasi yang saat ini sudah berjalan di masing-masing BPR, namun juga membantu meningkatkan daya saing di era digitalisasi layanan keuangan.
Sejak Januari hingga 3 Desember 2024, OJK sudah mencabut izin 16 BPR dan BPRS. Mayoritas karena masalah kondisi keuangan perusahaan dan isu pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar dengan tenggat 31 Desember 2024 mendatang.
Menurut Tedy, saat ini Perbarindo sudah memiliki platform bersama antar BPR dan BPRS untuk mendukung pelayanan nasabah di era digital. Namun, menurutnya hal itu masih perlu penyempurnaan.
Tedy mengatakan BPR dan BPRS masih dibutuhkan untuk membantu pembiayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Indonesia. “Dibutuhkan banyak lembaga keuangan bank dan non-bank untuk berperan aktif dalam kontribusi pelayanan ke UMKM termasuk BPR dan finctech,” kata dia.
Tedy mengusulkan agar OJK tetap memberikan ruang bagi BPR yang belum memenuhi modal inti namun masih bisa beroperasi. Pasalnya, ia menganggap ada banyak segmen masyarakat kecil yang membutuhkan kehadiran BPR baik untuk pinjaman maupun pembiayaan.
Menurutnya, ia juga berharap agar ada relaksasi pemenuhan modal inti minimum. Ia menilai itu menjadi bagian dari upaya agar operasional BPR tetap tumbuh berkelanjutan. “Terutama dalam melakukan pemupukan permodalan secara organik mengikuti pertumbuhan aset dan ruang lingkup kegiatan usaha BPR,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan, Dian Ediana Rae mengatakan sejak 2023 hingga 4 November 2024 telah terjadi konsolidasi 53 Bank Perkeditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) menjadi 17 BPR dan BPRS atau ada 36 yang berkurang karena konsolidasi. Selain itu, ada sejumlah BPR dan BPRS yang masih dalam proses izin Kementerian Hukum untuk melakukan konsolidasi.
“Ada 13 BPR dan BPRS yang sudah disetujui untuk konsolidasi menjadi 5 BPR dan BPRS. Namun, masih dalam proses di Kemenkumham,” kata Dian di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 18 November 2024.
Selain itu, ada pula 75 BPR dan BPRS yang saat ini sedang memproses perizinan. Jika prosesnya lancar, 75 bank kecil itu akan berkurang menjadi 26 saja. Serangkaian konsolidasi ini dilakukan untuk memperkuat peran BPR dalam pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta memperkuat kemampuan pemenuhan modal inti minimum.
Pilihan editor: Kisah Shell Menambang Minyak Bumi Sejak Era Kolonial Belanda