Kimia Farma, dalam usianya yang ke-20, belum pernah rugi, dan berhasil menjadi pembayar pajak paling besar di antara perusahaan sejenis. KINA memang pahit rasanya. Tapi bahan utama pembuat obat malaria itu mendatangkan keuntungan yang sangat manis bagi PT Kimia Farma, yang pekan lalu berumur 20 tahun. Omset perusahaan tersebut, tahun lalu, mencapai Rp 100 milyar, di antaranya (17%) diperoleh dari hasil ekspor kina (plus yodium). Tidak berlebihan jika BUMN yang menjadi persero sejak 1971 ini perlu berterima kasih kepada Junghun, orang Belanda perintis pembudidayaan kina di Pulau Jawa. Soalnya, kina Jawa ini pula yang mengisi 30% pangsa pasar kina dunia. Sumber keuntungan Kimia Farma memang bukan cuma dari kina. Satu-satunya perusahaan berstatus PT di antara beberapa perum milik Departemen Kesehatan itu memiliki beberapa usaha lain. Ada divisi manufaktur (pembuatan bahan baku obat), formulasi (perakitan obat, termasuk obat-obatan berdasarkan lisensi), dan bisnis eceran melalui Apotek Kimia Farma yang tersebar di 280 kota. Memang, perusahaan yang pada 1989 dinilai sebagai perusahaan yang prima alias sehat oleh BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) itu, selama 20 tahun ini, menurut Direktur Utama Imam Hidayat, tak pernah rugi. Bahkan tahun lalu, peringkatnya sebagai pembayar pajak naik, dari ke-90 menjadi ke-58. Namun, keberhasilan Kimia Farma mengeruk keuntungan sering dihubungkan orang dengan hak monopoli penjualan obat-obatan narkotik, dan memproduksi obat generik yang pernah diperolehnya. Dari 235 jenis obat yang dihasilkan, 104 di antaranya adalah obat generik. Lantas, karena perusahaan ini milik Depkes, hasil produksinya pun dengan mudah ditampung di proyek-proyek pemerintah- mulai dari obat Inpres, sampai perkakas KB (IUD dan pil KB). Toh adanya hak itu tak membuat Kimia Farma tinggal diam. Bagian penelitian (R & D) ditingkatkan. Bahkan biaya Rp 5 milyar disisihkan untuk menyediakan sarana riset dan teknologi, yang Kamis pekan lalu diresmikan Menteri Kesehatan di Cihampelas, Bandung. Tapi, sebagaimana perusahaan farmasi lainnya, menurut Imam Hidayat, Kimia Farma kini sedang mengalami persoalan: pertumbuhan pasar di dalam negeri yang relatif kecil, yakni 5% sampai 6% setahun. Tingkat konsumsi obat-obatan di negeri kita masih rendah. Rata-rata penduduk Indonesia hanya membelanjakan sekitar Rp 6.000 setahun untuk keperluan obat. Dibanding dengan negara tetangga sekalipun- Filipina Rp 16 ribu, Singapura Rp 20 ribu- angka itu terhitung rendah. Di lain pihak, deregulasi pemerintah di bidang farmasi antara lain melonggarkan izin pendirian apotek, izin usaha industri farmasi- telah menyebabkan margin keuntungan semakin kecil, karena persaingan semakin tajam. Belum lagi obat-obatan impor yang kerap kali masuk secara dumping. Gejala di atas bukan mustahil akan mendorong sejumlah perusahaan melakukan merger, demi efisiensi. Bahkan Imam Hidayat, yang perusahaannya menguasai 25% pangsa pasar farmasi dan alat-alat kesehatan- tahun lalu memiliki nilai penjualan Rp 272 milyar- tak menutup kemungkinan membuat langkah ke sana. Namun, langkah mana pun yang diambil kelak, Imam tetap merasa perlu memperkuat Kimia Farma. Antara lain memperkuat divisi formulasi dan manufaktur dengan mesin-mesin baru. Untuk tahap pertama, 1991-1992, persero ini telah menyediakan anggaran Rp 10 milyar. "Kalaupun nanti merger, kami tidak berada dalam posisi yang lemah," kata Imam. Bambang Aji, Mohamad Cholid (Jakarta), Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini