Lippo Group, menambah modal dengan menjual saham lagi. Tapi dibanding dengan tingkat bunga, apakah dividen masih menarik? LIPPO Group sedang kesulitan likuiditas. Itulah isu yang terbetik pekan lalu. Grup yang dikelola oleh bankir bertangan dingin Mochtar Riady itu memang telah menjual Lippo General Insurance, salah satu dari tiga perusahaan asuransinya, seharga Rp 3 milyar, kepada raja tekstil The Nin King (60%), dan pemilik Dwitunggal Group, James Sugianto (40%). Isu ini tentu saja mengagetkan sekaligus merugikan. Itulah sebabnya, manajemen Lippo segera membuat bantahan. "Tidak benar kami kesulitan likuiditas," kata Roy E. Tirtadji, komisaris Lippo. Ia mengakui, Lippo General Insurance telah dijual. Tapi itu semata-mata hanya karena Lippo Group ingin berkonsentrasi pada satu perusahaan saja. Artinya, dua perusahaan asuransi lainnya (Lippo Life dan Marga Pusaka) tak lama lagi akan dilebur. "Dengan satu perusahaan, kami akan bisa lebih berkonsentrasi," kata Roy. Lagi pula, masalah kekurangan likuiditas itu segera terbantah, karena keberhasilan Lippo Land Development dalam men- jual saham. Menurut Wakil Presiden Komisaris Lippo James Riady kepada pers Sabtu pekan lalu, penjualan itu bahkan oversubscribed 161 persen. Dari penjualan 15 juta lembar saham itu saja, Lippo mengantungi tidak kurang dari Rp 73,5 milyar. Membludaknya peminat, "benar-benar di luar dugaan saya," katanya. Padahal, di saat uang ketat seperti sekarang, mencari dana bukanlah perkara gampang. Apalagi tingkat suku bunga deposito masih menggantung di awang-awang. Nah, dibanding bunga deposito itu, siapa mau membeli saham, yang hanya memberikan dividen beberapa ratus rupiah? Keberhasilan Lippo menggaet dana itu tertutama didukung adanya presentasi tentang keadaan perusahaan (road show) yang dilakukan di beberapa kota di dunia seperti London, Paris, Edinburg, Hong Kong, dan Singapura. Dari presentasi keliling itu, terbukti, "minat investor asing terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia ternyata sangat besar," kata James. Namun, minat besar itu bukannya tanpa catatan. Menurut James, selama perjalanan promosi, timnya menghadapi pertanyaan tajam dari para calon investor. Terutama soal performance perusahaan yang go public. "Mereka mengklaim karena banyak perusahaan yang tidak bisa memenuhi proyeksi yang dijanjikan," katanya. Misalnya saja, ketika akan go public, banyak perusahaan yang menjanjikan keuntungan yang besar. Tapi pada akhirnya laba yang tercapai hanya 40% sampai 50% dari yang diproyeksikan. "Ini kan keterlaluan," kata James. Untunglah, dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sebagai lahan untuk menanamkan modal punya banyak kelebihan. Di samping tenaga kerja yang melimpah, tanah air kita ini juga kaya akan sumber energi, sehingga tetap menarik bagi investor asing, tutur James. Memang, dalam perkara menjual saham, Lippo Group boleh dibilang salah satu jagonya. Anda tentu ingat ketika terjadi demam saham di akhir 1989. Waktu itu saham Lippo Pacific Finance (LPF) diantre ribuan calon investor sejak pukul dua dini hari. Hasilnya, hanya dalam beberapa hari, 2,14 juta lembar saham LPF tandas. Kini, setelah lebih dari setahun, pekan lalu LPF mengumumkan bahwa pihaknya pada 1990 berhasil meraih laba bersih Rp 3,6 milyar. Atau naik 67% dibandingkan dengan laba tahun sebelumnya. Lantas dividen bagian investor? Dibanding dengan tingkat bunga yang berlaku sekarang, tetap sangat rendah. Bayangkan saja, selain kurs saham LPF mengalami penurunan- harga perdananya, dulu, Rp 7.900, dan kurs saat ini hanya Rp 5.800 per lembar- investor hanya memperoleh dividen Rp 150 untuk setiap lembar saham. Nah, kalau dibagi dengan besarnya investasi yang ditanamkan, Rp 7.900, nilai dividen itu hanya 1,8%. Sungguh sangat kecil jika dibandingkan dengan tingkat bunga deposito yang kini sekitar 25%. Budi Kusumah dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini