Banyak konglomerat yang ragu mengangkat "anak". Padahal, selama ini industri kecil adalah salah satu sektor yang jarang menunggak kredit. JARANG sejumlah konglomerat sekaligus tumplek di Kota Tegal. Tapi ini terjadi pekan lalu, ketika 48 pengusaha besar Ibu Kota bersama Menteri Perindutrian Hartarto mendatangi kota di pesisir utara Jawa Tengah itu. Apa lagi niatnya kalau tidak untuk menolong pengusaha kecil lewat program "bapak angkat". Ini memang bukan sebuah program yang gampang dilaksanakan. Dalam pertemuan dengan 50 pengusaha industri kecil (PIK) di Tegal, terungkap banyak kendala yang masih harus dibabat. Salah satunya adalah soal kualitas produk buatan Tegal, yang akan dipakai oleh para bapak angkatnya. Menurut Gunadi Sindhu Winata, Wakil Direktur Pelaksana Indomobil Group, soal kualitas ini bukanlah perkara kecil. Mak- sudnya, komponen yang diproduksi oleh PIK haruslah berkualitas standar. Sebab, kalau tidak, "Komponen mereka malah akan mengganggu proses produksi kami," katanya. Suara senada dikemukakan Herman Z. Latif, Wakil Presdir Krama Yudha Tiga Berlian, yang juga Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Kata dia, bukan hanya kualitas yang menjadi masalah. Soal biaya pembuatan dan kontinuitas pengiriman pun memerlukan perhatian yang khusus. "Kami tidak mau produksi terlambat hanya karena pengiriman yang terlambat," kata Herman. Itulah penyebab Krama Yudha, Indomobil, serta sebagian besar pengusaha yang mengikuti pertemuan tersebut belum bisa menentukan "anak" mana yang mau diangkatnya. Hari itu, dengan disaksikan Menteri Hartarto, baru ada 15 perusahaan yang mengangkat 30 PIK sebagai anak. Di antaranya adalah PT Nasional Astra Motor (salah satu perusahaan dari Astra Group), PT Yanmar Diesel, dan Kubota Indonesia. Lantas, apa yang diinginkan calon bapak angkat lainnya? Menurut Gunadi, memberi order kepada anak angkat itu bukan masalah (hingga kini Indomobil sudah memakai produk dari sekitar 100 subkontraktor). Persoalannya, ya itu tadi, banyak masalah di industri-industri kecil di Tegal yang harus dibenahi. Untuk menjamin kualitas, harga, dan waktu pengiriman yang tepat, mereka- PIK maksudnya- terlebih dulu harus menjalani bimbingan di bidang teknologi dan manajemen. "Itulah yang akan kami garap lebih dulu," katanya. Nah, kalau masalah itu sudah diatasi, program bapak angkat pun dengan sendirinya akan menggelinding dengan mulus. Sebab, seperti dikemukakan Menteri Hartarto, Tegal- yang memiliki 111 pengusaha industri kecil logam- merupakan daerah yang potensial. "Coba lihat, di sini, bahan baku tersedia, tenaga kerja pun murah. Kenapa tidak dimanfaatkan," katanya. Pernyataan Menteri diperkuat oleh Suparno Prawirodirdjo, Dirjen Industri Mesin Logam Dasar & Elektronika. Industri Logam Tegal, kata dia, perannya cukup besar dalam menekan impor suku cadang. Lihat saja buktinya. Kendati masih dalam tahap perkembangan, industri-industri kecil di daerah ini telah mampu mem- buat berbagai komponen elektro, roda gigi, as mobil, hingga aneka komponen yang dipakai oleh alat-alat berat. Tidak semua produk yang beragam itu dibuat oleh perusahaan kecil, memang. Di Tegal, juga sudah ada beberapa perusahaan yang tidak lagi terbilang kecil. PT Dwika, misalnya. Ini merupakan salah satu perusahaan pengecoran logam yang sudah kondang. Perusahaan ini bisa membuat berbagai produk yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan hilir. Mulai dari mesin uap, pompa irigasi, pompa untuk pengeboran minyak, hingga berbagai mesin untuk pabrik gula. "Asal ada contohnya, kami bisa membuat mesin apa saja," kata Abdul Jalil Purbo, pimpinan Dwika, yang sebulannya menghabiskan bahan baku logam 200 ton dengan omset rata-rata Rp 700 juta per tahun. Makanya, tak aneh kalau dalam pertemuan kemarin, banyak perusahaan yang berminat menjadi bapak angkat Dwika. Tapi niat itu diprotes oleh banyak pengusaha industri kecil lainnya. "Dwika itu perusahaan besar, jadi tidak perlu lagi bapak angkat. Yang kecil-kecil kan masih banyak," kata seorang PIK. Contohnya Maskur, yang memproduksi engsel, kursi, dan mur untuk mobil. Karena order yang diterimanya hanya dari pengusaha di sekitar Tegal, ia hanya mampu menimba omset ratusan ribu rupiah setiap tahun. Makanya, "Kami akan senang kalau ada yang mau membina sampai berkembang," kata Maskur. Namun, yang berminat membantu PIK ternyata bukan cuma pemerintah dan para konglomerat itu. Sejumlah bank, seperti BNI, BRI, BBD, dan BPD Jawa Tengah bukan sekarang saja memberi kredit. Tahun lalu, misalnya, kredit yang diserap, oleh industri kecil di Ja-Teng tak kurang dari Rp 1,1 trilyun. Sebuah angka yang lumayan besar, tentu. Tapi ini wajar, sebab bank-bank di Ja-Teng sudah merasakan nikmatnya memberi kredit kepada industri kecil. Bagaimana tidak? "Kredit macet yang tersangkut pada industri kecil di sini hanya 0,9%," kata Murti Wijono, pimpinan Bank Indonesia Jawa Tengah. Artinya, 0,6% lebih rendah ketimbang kredit macet di tingkat nasional. Hanya saja, itu tidak berarti bahwa dana untuk PIK di Tegal akan mengucur begitu saja. Menurut seorang direktur BPD Ja-Teng, industri kecil di daerah ini masih terlalu lemah dalam hal manajemen dan pemasaran. Kendati demikian, bila program bapak angkat terselenggara dengan mulus, soal modal tak akan lagi jadi masalah. "Asal ada rekomendasi dari perusahaan besar, kredit bagi industri kecil tak perlu lagi pakai jaminan," kata Murti. Pernyataan serupa juga dilontarkan Dirjen Suparno, yang siap memberi rekomendasi bagi PIK yang berniat mengambil kredit bank. Dan ini tentu saja sangat menggembirakan Gubernur Ja-Teng H.M. Ismail. Maklum, tahun ini, daerahnya menargetkan ekspor dari PIK senilai 305 juta dolar, atau 26% lebih jika dibandingakn dengan total ekspor Jawa Tengah. Budi Kusumah, Nani Ismiani, dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini