Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekrup kecil

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA seminar tentang organ-organ tubuh. Mata, limpa, jantung, ginjal, semuanya berkumpul untuk mendiskusikan peran setiap bagian tubuh. Mata berkata, "Tanpa saya, hidup tak akan berarti. Dengan saya, kita dapat melihat merahnya merah, cantiknya wanita, atau indahnya panorama." Sesudah itu, jantung pun angkat bicara, "Tanpa saya, kehidupan itu sendiri tak ada." Semua lalu terdiam. Mana ada yang berani menggugat kemustahakan jantung? Tiba-tiba dubur angkat bicara, meruyak the silent majority, "Jadi, kalau begitu, saya ini tak ada gunanya?" Semua lalu tertawa. Menertawai dubur yang dianggap mereka tak tahu diri. Dubur, karena kesal, lalu mogok kerja. Total mampet. Dua hari kemudian, mata jadi kunang-kunang. Jantung jadi lesu. Hati -- pabrik kimia bagi tubuh - kalang kabut karena sistemnya menjadi kacau. Hari ketiga, mereka terpaksa mengadakan seminar lagi -- memberi pengakuan tentang peran dubur bagi bangunan yang bernama manusia. Semua merasa miris, takut bahwa dubur benar-benar akan mogok total. Dubur dengan senang menerima pengakuan itu, lalu bekerja lagi. Semua lantas kembali lancar. Memang begitu, Saudara. Sebuah sistem bekerja karena semua suku dan sekrup berfungsi dengan baik. Pada sebuah percetakan pernah pula terjadi peristiwa ngambek-nya sebuah sekrup. Entah kenapa, sekrup yang tak diakui fungsinya sebagai sekrup itu terpelanting dan masuk di antara dua rol bantalan cetak silinder. Sekrup baja itu kontan menghancurkan bantalan cetak yang sangat vital. Mesin cetak terpaksa berhenti seminggu karena bantalan baru harus didatangkan dari Jerman. "Kita ini apalah? Hanya sebuah sekrup kecil dalam mesin besar." Ini ungkapan yang sering kita dengar dari mulut orang-orang yang merasa dirinya tak berguna. Perasaan nobodyness yang jelas-jelas mengganggu motivasi kerja. Padahal, tanpa sekrup ia bukanlah mesin, tetapi satuan-satuan suku cadang yang pritil. Di Hotel Indonesia ada sebuah "sekrup kecil" yang terkenal. Ia adalah seorang doorman yang kerjanya adalah tegak di depan pintu. Ia membukakan pintu mobil tamu-tamu yang datang, lalu menyuguhkan senyum lebar yang tulus. Beberapa tamu yang sering berkunjung bahkan sudah dikenalnya dan disapanya by name. Kualitas layanan yang personalized ini memang sudah jarang didapat. Tetapi, teman kita yang satu ini memang tak punya pretensi macam-macam. Ia menyadari fitrahnya sebagai seorang doorman. Ia bukan orang yang berkata: sekarang doorman, besok manajer -- yang lalu ngambek dan ikut golf (golongan frustrasi) lantaran besok ternyata ia tak jadi manajer. Bukannya saya pro terhadap orang yang tak punya ambisi. Orang yang tak punya ambisi memang enak diatur, karena mereka tak banyak ulah. Bagi perusahaan yang sedang bertumbuh, orang tanpa ambisi akan menjadi beban perusahaan karena ia tak bisa diajak ikut bertumbuh. Tetapi, saya suka melihat orang yang melakukan pekerjaannya -- apa pun pekerjaan itu -- dengan qhusto, dengan semangat yang lahap. Kelahapan semangat itu sendiri bukanlah hal yang tak dapat diciptakan. Di Jepang, misalnya, orang menumbuhkan semangat seperti itu dengan semangat ba. Dengan semangat ba itu seseorang dibuat bangga dengan tempatnya bekerja. bukan dengan jabatannya. Seorang sopir NHK memakai jas biru yang sama dengan seorang juru kamera NHK, lengkap dengan sulaman lambang NHK di dada. Ia memang sadar bahwa ia adalah sopir -- tetapi sopir yang punya kontribusi yang diakui dalam sistem penyiaran informasi NHK. Di Multi Bintang, ada seorang pelayan yang mempunyai pribadi mengasyikkan. Ia tahu persiskapan orang-orang yang harus dilayaninya itu akan membutuhkan layanannya. Ia tahu bahwa Sedyana Pradjasantosa, direkturnya, akan mulai merasa lapar pada pukul sebelas pagi, dan memerlukan segelas Frezzy Malta untuk menunda rasa laparnya. Pelayan itu bahkan punya catatan yang membuat Sedyana heran. Menurut catatan sang pelayan, di kantor Multi Bintang ada kecenderungan naiknya minat minum Frezzy. Itu terbukti dari jumlah yang disuguhkan melalui tangannya. Ia mempunyai kepedulian tentang produk dari perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hari saya bertamu ke Sedyana. Lama tak ada minuman datang. Saya curiga, pelayannya itu sedang tak ada. Sebentar kemudian, Sedyana menelepon sekretarisnya memintakan Frezzy untuk kami berdua. "Jangan lupa pakai es batu, ya?" pintanya secara khusus. Mengapa seorang direktur harus repot memastikan bahwa minuman itu harus disuguhkan dengan es batu, bila sebenarnya itu adalah pekerjaan seorang pelayan yang bertanggung jawab? Biarlah Kiat ini saya persembahkan untuk Rudy, sahabat saya, seorang pelayan di Union Carbide, tempat saya dulu bekerja. Sekalipun sudah 8 tahun saya meninggalkan perusahaan itu, ia selalu muncul lima menit setelah mendengar suara saya hadir di kantor itu . . . dengan secangkir kopi. Terima kasih, Rud! Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus