Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perjuangan buruh perempuan menuntut upah layak merupakan salah satu semangat perjuangan Marsinah, seorang buruh perempuan di Sidoarjo yang dibunuh pada 1993 silam. Selain itu, negara juga wajib hadir untuk memberi jaminan keselamatan terhadap para buruh perempuan yang selama ini rawan mendapat pelecehan hingga kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buruh perempuan, kerap mendapatkan ancaman bahwa risiko sebagai perempuan pembela Hak Asasi Manusia saat membangun organisasi serikat buruh. Buruh perempuan kerap mengalami pelecehan seksual pada saat aksi demonstrasi. “Juga kriminalisasi hingga ancaman pidana bagi buruh yang memperjuangkan atau mempertanyakan upah murah,” ujar Ketua Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak buruh perempuan saat menuntut hak mereka justru dianggap mencemarkan nama baik perusahaan atau mengganggu produktivitas. Bahkan ada ancaman seperti berupa mutasi pekerjaan, intimidasi untuk mengundurkan diri, membangun situasi yang tidak nyaman, dan banyak lagi.
Posisi buruh perempuan semakin terjepit karena masih banyak perusahaan yang melarang buruh untuk berserikat. Padahal berserikat adalah hak yang bisa menjadi alat bagi buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
“Itu relevansi perjuangan Marsinah dengan perjuangan buruh. Oleh karenanya dalam aksi ini kami menegaskan bahwa keadilan untuk Marsinah itu adalah keadilan untuk semua perempuan pembela HAM,” tutur Mutiara.
Kemarin, Ahad, 7 Mei 2023, Perempuan Mahardika menggelar aksi demonstrasi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day sekaligus 30 tahun kematian Marsinah. Mereka mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah.
“Ini sebenarnya sudah menjadi tuntutan setiap tahun dalam peringatan Marsinah,” ujar Mutiara.
Marsinah merupakan seorang buruh perempuan yang memimpin pemogokan buruh untuk kenaikan upah pokok sebesar 20 persen di sebuah perusahaan arloji di Sidoarjo, Jawa Timur. la dan rekan-rekannya harus menghadapi intimidasi dan ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK karena aksi tersebut.
Pada 5 Mei 1993, Marsinah diduga diintimidasi di Komando Distrik Militer (KODIM) Sidoarjo, serta dipaksa untuk mengundurkan diri. Setelah itu, Masinah hilang dan tidak diketahui keberadaannya selama dua hari. Namun, pada 8 Mei 1993, wanita itu ditemukan meninggal dalam kondisi tubuhnya yang penuh luka.
Menurut Mutiara, peradilan yang dilakukan untuk kasus Marsinah adalah peradilan rekayasa. Dia menjelaskan, tersangkanya menyangkal dalam peradilan tersebut, bahkan akhirnya divonis bebas. Dia pun menilai ada indikasi bahwa kasus Marsinah ini melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap senjata api.
“Itu kan tidak pernah dibawa ke pengadilan dan juga diselidiki dengan sungguh-sungguh. Jadi memang harapannya adalah kasus Marsinah bisa diusut tuntas,” tutur dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.