DI tengah berlanggsungnya perundingan bagi untung antara
Pemerintah dengan maskapai minyak asing di Indonesia -- dan
kemelut hutang Pertamina yang belum juga usai -- muncul sebuah
buku tentang minyak. Dikarang oleh seorang ekonom muda, Sritua
Arier buku ini berjudul The Indonesia Petroleum Industry A
Study Of Resource Management In A Developing Economy, 550
halaman. Ia banyak memuat data dan angka tentang kegiatan
perminyakan di Indonesia: mulai dari yang disebut "kontrak
karya" seperti Caltex dan Stanvac, "bagi hasil" yang umumnya
dikerjakan perusahaan-perusahaan minyak asing di lepas pantai
(off-shore) dan tentang kegiatan Pertamina sendiri. Mengingat
vitalnya peranan minyak untuk mengisi pundi-pundi kas negara,
buku tersebut seperti dikatakan pengarangnya dalam kata
pengantar, bermaksud memberi gambaran yang lebih baik tentang
ekonomi Indonesia umumnya dan industri ekstraktif khususnya,
yang tak lain adalah dunia minyak itu sendiri.
Tak lupa dilampirkan neraca dari beberapa perusahaan minyak
asing di Indonesia. Ada juga diktip laporan Bank Dunia, 1973
tentang keuntungan maskapai seperti Caltex dan Stanvac di
Indonesia, yang oleh beberapa kalangan minyak asing di Indonesia
dipandang sebagai kurang benar itu. Sehbungan dengan Pertamina,
buku itu juga mengutip hasil-hasil dari laporan Komisi IV, yang
dibentuk tahun 1970 untuk menyelidiki korupsi di berbagai
instansi. Di- situ juga dikemukakan komentar Mochtar Lubis dalam
buletin Indo- consult awal tahun 1970. Memang buku itu memuat
macam-macam soal menyangkut dunia perminyakan, dari mulai yang
menarik sampai yang tidak -- tapi bisa penting.
Yang menarik dari buku itu, sehubungan dengan negosiasi minyak
yang sampai pertengahan April lalu belum lagi mencapai hasil
yang berarti, adalah beberapa observasi dan kesimpulan sebagai
berikut:
Keuntungan bersih perusahaan minyak PT CPI (Caltex Pacific
Indonesia) telah melonjak dari USS 577 juta pada 1973 menjadi
US$ 1,02 milyar pada 1974. Keuntungan bersih per barrel pada
1974 itu diperkirakan mencapai US$ 3,09 -- jadi bukan US$ 8,18
per barrel seperti disiarkan beberapa koran di Jakarta seperti
Merdeka beberapa waktu lalu. Angka US$ 8,18 itu adalah hasil
penjualan bersih rata-rata per barrel sebelum dipotong biaya
produksi dan pajak.
Perbandingan laba bersih perusahaan-perusahaan minyak asing di
Indonesia dibandingkan dengan pembayran pajak kepada
Pemerintah setelah diperhitungkan penyerahan minyak secara
pro-rata lebih menguntungkan perusahan-perusahaan asing,
dibandingkan dengan situasi perbandingannya di Timur Tengah.
Bagian yang diterima Pemerintah dibandingkan dengan keuntungan
bersih perusahaan-perusahaan minyak asing (diIndonesia pada
tahun 1973 adalah 1,002: 1. Di Timur Tengah pada tahun 1970
perbandingan itu sudah mencapai 2,6: 1. Pada 1974, setelah
adanya perjanjian baru dengan perusahaan-perusahaan itu,
perbandingan antara pembayaran kepada Pemerintah dengan
keuntungan bersih mereka ialah 2,32:1. Dan ini masih berada di
bawah perbandingan yang terjadi di Timur Tengah pada 1970, yang
sejak itu berlaku suatu perjanjian baru dalam pembagian laba
yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Tentang konsep bagi hasil menurut Sritua Arief, dalam praktek
tidaklah memberikan hasil yang cemerlang seperti sering
diharapkan. Tapi hasil bersihnya ternyata lebih rendah
dibanding- kan hasil bersih yang diterima Pemerintah dari
kontrak karya. Persentase pajak yang dibayarkan kepada
Pemerintah oleh perusahaan kontrak karya pada tahun 1973
rata-rata berkisar antara 38,3% sampai 50,5% dari nilai produksi
bersih per barrel. Sedang andil yang bagi hasil pada tahun yang
sama -- setelah diperhitungkan penyerahan minyak secara pro-rata
-- hanya sebesar 36% dari nilai produksi bersih per barrel.
Adapun sebab utamanya, menurut pengarang, adalah penaikan yang
disengaja dalam nilai recoverable costs (seluruh pengeluaran
selama eksplorasi dan eksploitasi yang diperhitungkan sebelum
bagi hasil itu). Katanya, ini sudah disinyalir oleh Bank Dunia
dalam laporannya tahun 1973. Pemasukan biaya penyusutan bersama
dengan biaya sewa peralatan (rental expenses) sebagai komponen
dari recoverable costs itu telah menambah penaikan perhitungan
tersebut.
Persentasi minyak mentah yang diproses dalam kalang-kilang
penyulingan di dalam negeri telah turun dari 39,23% pada 1964
menjadi 18,32% pada tahun 1974. Kendati telah dibangun 2 kilang
minyak yang baru di Sungei Pakning dan Dumai. Kilang-kilang
penyulingan di dalam negeri baru dimanfaatkan 76%, hingga
menimbulkan pertanyaan apakah perjanjian dengan perusahaan
Sipco, Singapura untuk menyulingkan minyak mentah Indonesia di
kilang penyulingan Pulau Bukom dapat dipertanggungjawabkan
secara ekonomis dan strategis.
Adapun tentang krisis keuangan yang melanda Pertamina, menurut
Sritua Arief disebabkan oleh 2 faktor utama:
Kelemahan manajemen intern Pertamina dan Kelemahan manajemen
ekonomi dan keuangan secara menyeluruh dalam negara yang telah
memungkinkan terjadinya kelemahan manajemen Pertamina itu. Salah
urus di Pertamina itu adalah refleksi dari salah urus
(mismanagement) yang terdapat dalam keseluruhan manajemen
keuangan dan ekonomi di Indonesia. Terakhir, sebagai akibat
krisis Pertamina -- yang pemecahannya telah menimbulkan efek
bujeter dan efek dalam neraca pembayaran Indonesia -- maka dalam
tahun-tahun mendatang ketergantungan Indonesia pada luar negeri
dan sumber-sumber pembiayaan luar negeri bertambah besar.
Tentunya selama cara pembiayaan pembangunan yang dianut sekarang
tetap dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini