Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

550 halaman gambaran

Ekonom sritua arief mengedarkan bukunya yang berjudul "the indonesia petroleum industri: a study of resource management in a develoving economy". arief membahas kegiatan perminyakan di indonesia. (eb)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah berlanggsungnya perundingan bagi untung antara Pemerintah dengan maskapai minyak asing di Indonesia -- dan kemelut hutang Pertamina yang belum juga usai -- muncul sebuah buku tentang minyak. Dikarang oleh seorang ekonom muda, Sritua Arier buku ini berjudul The Indonesia Petroleum Industry A Study Of Resource Management In A Developing Economy, 550 halaman. Ia banyak memuat data dan angka tentang kegiatan perminyakan di Indonesia: mulai dari yang disebut "kontrak karya" seperti Caltex dan Stanvac, "bagi hasil" yang umumnya dikerjakan perusahaan-perusahaan minyak asing di lepas pantai (off-shore) dan tentang kegiatan Pertamina sendiri. Mengingat vitalnya peranan minyak untuk mengisi pundi-pundi kas negara, buku tersebut seperti dikatakan pengarangnya dalam kata pengantar, bermaksud memberi gambaran yang lebih baik tentang ekonomi Indonesia umumnya dan industri ekstraktif khususnya, yang tak lain adalah dunia minyak itu sendiri. Tak lupa dilampirkan neraca dari beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia. Ada juga diktip laporan Bank Dunia, 1973 tentang keuntungan maskapai seperti Caltex dan Stanvac di Indonesia, yang oleh beberapa kalangan minyak asing di Indonesia dipandang sebagai kurang benar itu. Sehbungan dengan Pertamina, buku itu juga mengutip hasil-hasil dari laporan Komisi IV, yang dibentuk tahun 1970 untuk menyelidiki korupsi di berbagai instansi. Di- situ juga dikemukakan komentar Mochtar Lubis dalam buletin Indo- consult awal tahun 1970. Memang buku itu memuat macam-macam soal menyangkut dunia perminyakan, dari mulai yang menarik sampai yang tidak -- tapi bisa penting. Yang menarik dari buku itu, sehubungan dengan negosiasi minyak yang sampai pertengahan April lalu belum lagi mencapai hasil yang berarti, adalah beberapa observasi dan kesimpulan sebagai berikut:  Keuntungan bersih perusahaan minyak PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) telah melonjak dari USS 577 juta pada 1973 menjadi US$ 1,02 milyar pada 1974. Keuntungan bersih per barrel pada 1974 itu diperkirakan mencapai US$ 3,09 -- jadi bukan US$ 8,18 per barrel seperti disiarkan beberapa koran di Jakarta seperti Merdeka beberapa waktu lalu. Angka US$ 8,18 itu adalah hasil penjualan bersih rata-rata per barrel sebelum dipotong biaya produksi dan pajak.  Perbandingan laba bersih perusahaan-perusahaan minyak asing di Indonesia dibandingkan dengan pembayran pajak kepada Pemerintah setelah diperhitungkan penyerahan minyak secara pro-rata lebih menguntungkan perusahan-perusahaan asing, dibandingkan dengan situasi perbandingannya di Timur Tengah. Bagian yang diterima Pemerintah dibandingkan dengan keuntungan bersih perusahaan-perusahaan minyak asing (diIndonesia pada tahun 1973 adalah 1,002: 1. Di Timur Tengah pada tahun 1970 perbandingan itu sudah mencapai 2,6: 1. Pada 1974, setelah adanya perjanjian baru dengan perusahaan-perusahaan itu, perbandingan antara pembayaran kepada Pemerintah dengan keuntungan bersih mereka ialah 2,32:1. Dan ini masih berada di bawah perbandingan yang terjadi di Timur Tengah pada 1970, yang sejak itu berlaku suatu perjanjian baru dalam pembagian laba yang lebih tinggi dari sebelumnya.  Tentang konsep bagi hasil menurut Sritua Arief, dalam praktek tidaklah memberikan hasil yang cemerlang seperti sering diharapkan. Tapi hasil bersihnya ternyata lebih rendah dibanding- kan hasil bersih yang diterima Pemerintah dari kontrak karya. Persentase pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah oleh perusahaan kontrak karya pada tahun 1973 rata-rata berkisar antara 38,3% sampai 50,5% dari nilai produksi bersih per barrel. Sedang andil yang bagi hasil pada tahun yang sama -- setelah diperhitungkan penyerahan minyak secara pro-rata -- hanya sebesar 36% dari nilai produksi bersih per barrel. Adapun sebab utamanya, menurut pengarang, adalah penaikan yang disengaja dalam nilai recoverable costs (seluruh pengeluaran selama eksplorasi dan eksploitasi yang diperhitungkan sebelum bagi hasil itu). Katanya, ini sudah disinyalir oleh Bank Dunia dalam laporannya tahun 1973. Pemasukan biaya penyusutan bersama dengan biaya sewa peralatan (rental expenses) sebagai komponen dari recoverable costs itu telah menambah penaikan perhitungan tersebut.  Persentasi minyak mentah yang diproses dalam kalang-kilang penyulingan di dalam negeri telah turun dari 39,23% pada 1964 menjadi 18,32% pada tahun 1974. Kendati telah dibangun 2 kilang minyak yang baru di Sungei Pakning dan Dumai. Kilang-kilang penyulingan di dalam negeri baru dimanfaatkan 76%, hingga menimbulkan pertanyaan apakah perjanjian dengan perusahaan Sipco, Singapura untuk menyulingkan minyak mentah Indonesia di kilang penyulingan Pulau Bukom dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis dan strategis. Adapun tentang krisis keuangan yang melanda Pertamina, menurut Sritua Arief disebabkan oleh 2 faktor utama:  Kelemahan manajemen intern Pertamina dan  Kelemahan manajemen ekonomi dan keuangan secara menyeluruh dalam negara yang telah memungkinkan terjadinya kelemahan manajemen Pertamina itu. Salah urus di Pertamina itu adalah refleksi dari salah urus (mismanagement) yang terdapat dalam keseluruhan manajemen keuangan dan ekonomi di Indonesia. Terakhir, sebagai akibat krisis Pertamina -- yang pemecahannya telah menimbulkan efek bujeter dan efek dalam neraca pembayaran Indonesia -- maka dalam tahun-tahun mendatang ketergantungan Indonesia pada luar negeri dan sumber-sumber pembiayaan luar negeri bertambah besar. Tentunya selama cara pembiayaan pembangunan yang dianut sekarang tetap dipertahankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus