AKHIRNYA Teng Hsiao-p'ing jatuh juga. Satu lagi tokoh moderat
yang teknokrat (dia bekas Sekretaris Jenderal Partai, ahli
organisasi) dari kelompok pragmatis Peking telah tenggelam. Ia
diharuskan "belajar dari massa rakyat" lagi. Mengingat usianya,
rasanya tidak mungkin lagi ia akan kembali dan memegang jabatan
tinggi dalam hierarki partai dan pemerintahan.
Dari jatuhnya Teng, para analis Amerika dan perwakilan tetap
Amerika di Peking menilai bahwa peristiwa yang terjadi di Peking
hanya terbatas pada diri Teng. Tidak akan menjadi luas. Juga,
kata mereka, tersingkirnya Teng tidak akan mempengaruhi hubungan
Peking dengan Washington.
Setidak-tidaknya ada dua faktor utama yang mendorong Peking
mengadakan pendekatan dengan Washington: domestik dan
internasional. Pembangunan ekonomi yang terlantar semasa
Revolusi Kebudayaan harus ditata kembali. Cina adalah negara
agraris. Pembangunan ekonomi berarti membenahi sektor pertanian,
terutama memproduksi lebih banyak bahan pangan untuk memberi
makan rakyat. Untuk itu perlu teknologi. Ini hanya bisa
didapatnya dengan mengadakan hubungan dengan negara-negara
kapitalis di Eropa Barat dan Amerika. Dari Uni Soviet? Tidak
mungkin. Itu karena pertentangan ideologi. Bagaimana dengan
Eropa Timur? Teknologinya dianggap jauh di bawah Amerika dan
Eropa Barat. Internasional: cekcok ideologi dengan Moskow tidak
bisa dirujukkan lagi. Tambahan lagi, hadirnya kurang lebih satu
juta serdadu Rusia di perbatasan Utara yang lengkap dengan
senjata mutakhirnya. Cina tidak mungkin melawan dua musuh utama
pada waktu yang bersamaan. Ini berlawanan dengan strategi dasar
Mao. Yang satu harus didekati dan dijinakkan terlebih dahulu.
Salah satu kritik terhadap kebijaksanaan Liu Shao-chi di bidang
diplomasi adalah mempunyai dua musuh utama pada waktu yang
bersamaan.
"Kontradiksi"
Revolusi Kebudayaan pecah, Liu jatuh. Setelah selesai,
kebijaksanaan luar negeri pun harus disusun kembali. Hasilnya:
peredaan ketegangan dengan Amerika. Maksudnya secara strategis
tidak lain agar dengan mendekati AS, Cina bisa mengeksploatir
"kontradiksi" di antara kedua superpower Amerika dan Rusia.
Secara ekonomis, Cina akan memperoleh bantuan teknologi untuk
mengembangkan pertanian dan perindustriannya.
Tapi akhir-akhir ini ada indikasi bahwa Peking tidak puas akan
keadaan hubungannya dengan AS. Ini disebabkan oleh adanya
peredaan ketegangan antara AS dengan Uni Soviet. Pada pendapat
Peking, Amerika terlalu memberi hati kepada Rusia. Redanya
tingkat permusuhan antara Moskow dengan Washington ternyata
lebih menguntungkan Rusia. Karena Moskow lebih leluasa untuk
melakukan manuver-manuver dalam menghadapi Cina, tanpa takut
akan ancaman Amerika di Eropa terutama. Ini tentu saja
mengkhawatirkan Peking.
Pendapat Cina ini ternyata senafas dengan kritik yang
dilontarkan di Amerika terhadap kebijaksanaan politik luar
negeri Pemerintah Ford. Serangan itu terutama dilontarkan kepada
Henry Kissinger, si arsitek peredaan ketegangan dengan Peking
maupun Moskow. Karena itulah sejak tahun 1974, Peking telah
beberapa kali mengundang pemuka-pemuka politik, senator,
wartawan maupun pribadi yang menjadi pengritik keras Kissinger.
Gejala ini sudah nampak, malahan ketika Chou En-lai yang jadi
mesin diplomasi RRC masih hidup.
Contoh yang paling jelas, Senator Henry Jackson, orang Partai
Demokrat yang menjadi pengritik utama Kissinger dan punya kans
untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Ia diundang ke Peking
pada tahun 1974. Ketika kembali di AS Jackson mengatakan bahwa
pendapat dia mengenai peredaan ketegangan sangat dekat dengan
pendapat para pemimpin RRC. Senator Edward Kennedy pun, yang
punya popularitas sebagai calon presiden diundang pula ke sana.
Contoh yang paling segar, ketika Richard Nixon berkunjung ke
Cina Ia diundang ke Peking untuk memperingati tahun ke empat
pulihnya hubungan antara Cina dengan Amerika. Di Peking Nixon
mendapat perlakuan dan sambutan bagaikan seorang kepala negara.
Perlakuan terhadap Nixon ini demikian meriahnya, sehingga
melebihi perlakuan terhadap Presiden Ford, ketika Ford
mengunjungi Cina. Sementara itu, sibuknya para pejabat
Departemen Luar Negeri Amerika yang mondar-mandir
Peking-Washington, membuktikan bahwa memang ada krisis dalam
hubungan antara Amerika dengan Cina.
Hanya Albania
Dengan Uni Soviet Cina semakin jauh. Usaha-usahanya untuk
memecah blok Timur tidak banyak membawa hasil. Ternyata hanya
Albania yang secara konsekwen mengikuti garis Peking. Uni Soviet
sendiri, sikapnya terhadap rezim Peking makin keras. Dalam
Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang baru saja berakhir
Brezhnev menyerang Cina lagi. Cina mendapat cap dan identik
dengan "Afrika Selatan yang rasialis dan militeris". Maoisme
dianggap sebagai "tidak sejalan dengan Marxisme-Leninisme",
bahkan merupakan musuh dari idiologi tersebut.
Bagaimana corak politik luar negeri Cina setelah kepergian Teng
Hsiao-p'ing? Terutama dalam hubungan tripolarnya terhadap
Amerika dan Uni Soviet? Menurut pendapat saya setidak-tidaknya
untuk sementara waktu, tidak akan mengalami perubahan. Hua
Kuo-feng tidak punya pengalaman banyak dalam diplomasi. Walaupun
demikian orang-orang yang jadi pelaksana politik luar negeri
masih "orang-orangnya" Chou En-lai. Misalnya Menteri Luar Negeri
Chiao Kuan-hua. Kalau dilihat dari sudut strategi, Peking tidak
mau lagi mengulangi kesalahan pada masa lalu ketika ia bersikap
keras baik terhadap AS maupun Rusia. Ini tidak sesuai dengan
strategi dasar Maoisme.
Tapi tidak mustahil terjadi perubahan, terutalia dalam
hubungannya dengan Amerika. Suatu saat, bila merasa bahwa
peredaan ketegangan dengan Amerika tidak menguntungkan dia, baik
keuntungan ekonomi maupun keamanan nasionalnya, Peking akan
meninjau kembali kebijaksanaannya. Kalau hal itu terjadi,
selamat berpisah Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini