Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kota Maya Nanti Saja

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT kepeloporan Edward Soeryadjaya masih saja bergelora. Dulu semangat itu tercurah ke berbagai proyek, yang kemudian harus dihentikan karena Bank Summa miliknya dilikuidasi. Lama namanya tak terdengar, sampai tiga tahun lalu Edward muncul lagi dengan impian besar: mendirikan sebuah cybercity alias pusat teknologi informasi di Kemayoran. Tapi tren bisnis menunjukkan, sekarang bukan saat yang tepat bagi Indonesia untuk memiliki kota industri teknologi informasi plus permukiman terpadu seperti di kawasan elite Silicon Valley, Amerika Serikat.

Edward pun harus mengakui bahwa prospek bisnis itu tak lagi secemerlang dulu. "Cybercity sudah tidak ada di pasaran. Penilaian terhadap ekonomi baru (The New Economy) salah semua," katanya. Pada mulanya memang bisnis berbasis teknologi informasi sangat menjanjikan, tapi perkembangannya tidaklah sehebat yang diperkirakan. Bahkan, di belahan dunia lain, sejumlah besar perusahaan yang bergerak di bidang ini rontok berguguran.

Mujur bagi Edward, proyek Kota Maya baru sampai tahap perencanaan. Investasinya baru sebatas penelitian. Tadinya, kota cyber ini akan dibangun di Kemayoran. Di situ Edward punya tanah 44 hektare. Di lahan yang sama, dia juga punya proyek lain, yaitu gedung pameran berlantai enam. Ternyata belakangan pembangunan gedung ini pun bermasalah.

Memang, tak banyak yang sukses membangun bisnis cyber. Selain butuh modal kuat, infrastruktur dan sumber daya manusianya juga harus andal. Tapi merajut mimpi cyber tentu boleh-boleh saja. Dengan meniru sukses Silicon Valley, misalnya, Malaysia membangun Multimedia Supercorridor, dan Hong Kong mendirikan Cyber-Port. Namun, selain itu, tak banyak negara di Asia yang sukses menjalankan bisnis ini.

Pakar multimedia Roy Suryo mengatakan, industri teknologi informasi membutuhkan komunitas yang ramai. Infrastruktur soal mudah. Yang sulit adalah menciptakan komunitas pendukung seperti lingkungan permukiman, kantor, atau kampus. Jika komunitas yang akan menciptakan permintaan ini masih terbatas, bisnisnya bisa kandas. "Ibarat jalan raya, kalau enggak ada mobil yang lewat, pasti mubazir," ujarnya. "Infrastrukturnya sih bisa ditata seperti di Malaysia," kata Roy lagi. "Tapi, setelah itu, apakah akan ada pembelinya?" Dan Edward menjawab pertanyaan ini dengan membatalkan (sementara?) proyek Kota Maya miliknya.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus