SEJAK patok-patok PTP XXVII dicabut kembali oleh petani awal
bulan ini, Jenggawah tidak pernah tenang. Sesudah terjadi
penangkapan atas delapan petani oleh pihak berwajib, tersiar
pula desas-desus akan adanya penangkapan besar-besaran. Karena
takut beberapa penduduk sekitar Jenggawah mengungsi ke Kecamatan
Rambipuji, Kabupaten Jember.
Pengalaman PYK misalnya, awal Mei berselang, agaknya sudah cukup
menjadi alasan bagi petani lain untuk menghindar sementara dari
Jenggawah. Bekas luka di wajah PYK masih nampak jelas. "Saya
ditahan di kantor PTP XXVII selama dua hari dua malam," ujar
PYK.
Mengapa? PYK pada mulanya menolak memberi cap jempol. Karena
pada formulir itu tertulis antara lain bahwa ia bersedia
menyerahkan tanahnya kepada PTP serta mengaku sudah dimintai
uang oleh para "wakil" petani.
Karena tetap menolak PYK diceburkan ke kolam selama 30 menit
untuk kemudian disuruh merangkak lima putaran hingga lututnya
lecet. Akhirnya PYK menyerah, cap jempol itu ia berikan. Tanah
garapan yang dikorbankannya tidak seberapa, cuma 8 x 60 m. Kalau
ditanami kedelai hasilnya 50 kg sekali panen.
Tatkala ditanya perihal perlakuan yang dialami PYK, Letkol.
Soetomo, Dandim Jember berjanji akan mengecek kebenarannya. Dia
membantah adanya penangkapan besar-besaran. "Kita hanya akan
menahan yang delapan orang itu. Yang lain hanya kita mintai
keterangan sebagai saksi terhadap apa yang dilakukan delapan
orang itu," lanjut Soetomo.
Sebelumnya memang ada rencana delapan orang wakil petani
Jenggawah pertengahan Mei ini akan ke Jakarta untuk menghadap
Mendagri dan DPR. Sebelum itu mereka ke Surabaya dulu, menghadap
Gubernur Ja-Tim, Soenandar Priyosoedarmo. Tapi entah bagaimana,
beberapa jam sebelum berangkat, mereka ditangkap.
Bahwa para petani mengumpulkan uang untuk ke-8 wakil mereka itu,
dibenarkan oleh P. Yul yang kini mengungsi ke rumah kerabatnya
di Surabaya. Ia pernah mengedarkan les untuk biaya ke Jakarta,
tapi "tidak benar kalau sumbangan itu paksaan -- semuanya
berdasarkan sukarela," kata Yul.
Perkembangan terakhir di Jenggawah, sempat menggugah perhatian
fraksi P3 di DPR. Mereka melayangkan sepucuk surat ke Laksusda
Ja-Tim, minta agar keadaan di Jenggawah segera dinormalkan dan
supaya jangan lagi dilakukan kekerasan. "Perbedaan pendapat agar
diselesaikan lewat musyawarah langsung antara petani dengan
PTP," demikian antara lain bunyi surat Fraksi P3 yang
ditandatangani Nuddin Lubis.
Tapi rupanya petugas keamanan tetap berusaha agar jadwal tanam
tembakau PTP-XXVII bisa dilaksanakan bulan depan. "Selama SK
Mendagri belum dicabut, kami masih berkewajiban mengamankannya,"
ujar sumber TEMPO di Kodim Jember. Maksudnya tentu saja
mengamankan tanah seluas 3000 hektar itu dari tuntutan petani
Jenggawah yang merasa tanah itu pantas menjadi milik mereka.
"Kami ngotot minta tanah itu jadi hak milik, karena justru di
beberapa daerah lain banyak tanah bekas perkebunan yang
dibagi-bagikan pada petani yang semula petani penggarap," ucap
Munir, seorang petani yang kini ikut mengungsi. Yang dimaksud
Munir adalah petani di Kedawung (Pasuruan), Malang dan
Probolinggo. "Kalau mereka bisa menerima tanah, kenapa kami
tidak," kata petani lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini