PELARANGAN pukat harimau, dengan Keputusan Presiden no. 39,
memang disambut gembira oleh para nelayan. "Semenjak larangan
itu kami lebih mantap mencari ikan dan penghasilan pun
bertambah," kata Saleh, seorang nelayan, di pantai Cilacap.
Tetapi di balik kegembiraan nelayan itu, pendapatan Pemda di
berbagai daerah merosot, tajam. Misalnya, di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI), Sentolokawat, Cilacap. September tercatat hasil
tangkapan ikan dan udang sebanyak 724.025 kg, dengan nilai uang
Rp 319.261.675. Bulan berikutnya angka ini anjlok menjadi 39.714
kg. dengan nilai Rp 25.739.920. Padahal sebagian pendapatan
Pemda Cilacap berasal dari pungutan biaya lelang sebanyak 8%.
Dan hasil ikan di Cilacap itu sebelumnya 90% merupakan hasil
pukat harimau.
Penurunan produksi ikan itu juga dirasakan di Sum-Ut, bahkan
menyebabkan ekspor udang daerah itu anjlok drastis. Sebelum
Keppres 39, ekspor udang daerah ini rata-rata 700-750 ton per
bulan, tapi Maret 1981 menjadi 170 ton.
Di Sum-Ut, dari 600 buah kapal puat harimau, baru 373 buah yang
mau melaut kembali tanpa perlengkapan trawl. Selebihnya, tetap
nongkrong di darat. Jumlah 373 buah kapal itu pun baru tercapai
setelah Sesdalopbang, Solichin GP datang, ke Sum-Ut dan
menegaskan, "pukat harimau tidak akan beroperasi lagi."
Sebelumnya, kata Ir. Z.P. Siregar, Kepala Sub Dinas Usaha Tani
Perikanan, Sum-Ut, hanya 40% kapal pukat harimau itu yang mau
melaut kembali. Mereka tak mau memodifikasikan kapalnya, karena
yakin suatu saat kapal trawler akan boleh melaut kembali.
Keyakinan itu muncul, karena ada isu, "bakal keluar Keppres 39 A
yang mengizinkan trawler kembali" -- seperti juga Kepprs 14
yang kemudian disusul dengan Keppres 14 A. Ternyata trawler
tetap dilarang.
Melihat banyak eks pukat harimau masih di darat, perusahaan
Amerika, PT United Can Co, ingin membeli kapal-kapal itu.
Menurut sumber TEMPO di Medan, perusahaan yang mempunyai rencana
membangun pabrik pengalengan ikan di Tanjung Morawa, Medan itu,
berjanji hanya akan mengoperasikan kapal-kapal pukat harimau itu
di lepas pantai, kalau diberi izin untuk membeli.
Untuk memperlancar usahanya mendapatkan izin pembelian itu, 17
Mei 1981, PT United Can Co sudah menghubungi Ditjen Perikanan di
Jakarta dan Dinas Perikanan Medan. "Mereka berjanji juga
memodifikasikan kapal trawler yang kecil -- 10 ton sampai 40
ton -- sehingga mampu mengarungi Samudra Hindia (Indonesia),"
kata sumber tersebut. Rencananya, perusahaan itu akan mulai
beroperasi di Sibolga, Agustus 1981.
Tapi ini disanggah Ir. Z.P. Siregar, mewakili Kepala Dinas
Perikanan Sum-Ut. Rencana Dinas Perikanan yang ada, kata
Siregar, membangun proyek perikanan di pantai barat Sumatera
dengan nama "Sumatera Fisher Development Project," dengan
bantuan dana dari ADB (Bank Pembanunan Asia). Proyek itu nanti
akan bisa menggerakkan armada penangkapan ikan besar-besaran di
lepas pantai Lautan Hindia, dan di ZEE Indonesia.
Haji Jafar Masa, Ketua HNSI, Sum-Ut kaget mendengar berita itu,
"Kalau itu benar keterlaluan," katanya. Menurutnya, kalau sampai
modal asing mengoperasikan kapal eks pukat harimau, jelas tidak
sesuai lagi dengan Keppres 39. Ia tidak yakin kapal kecil itu
bisa dioperasikan ke tengah laut untuk menangkap tongkol dan
cakalang." Pasti belakangan ada apa-apanya," ujarnya. Maksudnya
secara terselubung, kapal pukat harimau akan kembali melaut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini