Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Agar mereka tetap betah

Bursa indonesia menjadi incaran investor asing. setelah pemerintah membuka pintu pihak asing bisa membeli 49% saham yang dijual.banyak investor asing memborong saham di bursa. harga saham naik.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Agar mereka tetap betah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PARA investor, Senin pekan ini, tiba-tiba menyerbu bursa efek, baik yang di Jakarta (BEJ) maupun di Surabaya (BES). Yang diuber, terutama, saham PMA (penanaman modal asing). Tak ayal lagi, harga saham PMA itu langsung melonjak ke peringkat atas. Sebagai misal, saham BAT, perusahaan rokok putih. Pada pukul 10.00 Senin lalu, ada nasabah dari pialang Summa Bank menjual 500 lembar seharga Rp 5.100 per lembar kepada pialang Citra Mas Sekurindo. Tak lama kemudian, muncul pula pialang PT Rita Wijaya Kencana yang membeli sekitar 7.000 saham BAT dengan harga Rp 9.200 per lembar. Ketika harga naik mencapai Rp 9.350, ternyata masih ada nasabah PT Intan Artha yang berani menyabet 3 . 600 lembar. Dengan demikian, saham BAT sudah terkerek naik 83% dalam tempo tak sampai 2 jam. Kenaikan harga yang gila-gilaan itu juga terjadi atas 12 jenis saham PMA lainnya. Transaksi paling ramai meliputi saham-saham 12 PMA, seperti BAT, Bayer Centex, Good Year, Multi Bintang, Pfizer, PGI (Vicks), Sepatu Bata, Singer, Squibb, Tifico, dan Unitex. Saham pabrik ban Good Year, misalnya, naik dari RP 5.600 menjadi RP 8.100. Saham obat Bayer, hari itu, naik dari RP 6.200 menjadi RP 8.200. Sementara bir Multi Bintang naik RP 3.000, menjadi RP 15.000. Saham pabrik kimia Pfizer, dari RP 8.000 naik menjadi RP 9.500. BES (Bursa Efek Surabaya) -- yang baru berusia 3 bulan -- rupanya, juga diserbu demam saham itu. Ledakan ditandai dengan transaksi bersambungan. Sehingga penyelenggara BES harus memberi tambahan waktu 10 menit kepada para pialang untuk menutup transaksi pada pukul 12.10. Hari itu, jual beli saham meliputi 38.250 lembar dengan nilai Rp 520 juta lebih. "Ini rekor tertinggi. Pada 12 Agustus lalu sempat terjadi boom. Waktu itu transaksi mencapai Rp 377,7 juta, meliputi 37.600 lembar saham," tutur Tubagus M. Hasyim, Kepala Biro Perdagangan BES. Transaksi di BES paling banyak meliputi saham-saham Multi Bintang (Rp 168,65 juta),Unilever (Rp 119,5 juta), dan Tifico (Rp 95,4 juta) -- semuanya merupakan perusahaan modal asing. Saham perusahaan pribumi, PT Bakrie Brothers, yang baru mulai diperdagangkan pada hari Senin, ternyata juga ikut berkibar. Bulan lalu, saham Bakrie dijual di pasar perdana Rp 7.975. Beruntunglah mereka yang telah membelinya waktu itu, karena para investor asing masih diliputi keraguan apakah boleh membeli atau tidak. Maklum, saham PT Bakrie Brothers yang dianggap sebagai perusahaan dagang sama seperti pada saham Hero Mini Supermarket -- tak boleh dibeli investor asing. Dh. Supari, Presdir PT Inter Pacific Finance Corporation yang bertindak sebagai penjamin utama emisi saham Bakrie mengaku sampai 2 minggu sakit perut. "Kalau tak laku, saya bisa digantung," katanya Sabtu lalu. Ternyata pesanan saham Bakrie mengalami oversubscribed sampai 5 X lipat. Justru banyak pemesan yang kecewa karena mereka hanya mendapat jatah rata-rata 100 lembar. Tapi, baik Supari maupun para investor sama-sama terobati. Ternyata, harga saham Bakrie yang mulai diperdagangkan, awal pekan ini, langsung terbang menjadi Rp 16.000 -- Rp 17.000 per lembar. Seperti diketahui, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, awal Agustus lalu, telah menyatakan bahwa investor asing hanya dilarang melakukan investasi langsung dalam bisnis perdagangan. Mereka boleh ikut melakukan investasi dalam portofolio, yakni dengan membeli 49% saham yang tercatat di pasar modal. Menteri Keuangan kembali muncul dalam siaran berita TVRI pukul 21.00 Jumat malam pekan lalu. Kali ini ia menegaskan lagi bahwa investor asing juga boleh membeli maksimum 49% saham-saham PMA di bursa. Begitu mendengar pengumuman itu, rupanya, para raja spekulasi lokal sudah berJerak lebih dulu memutar jutaan runiah di pasar modal. Marzuki Usman, Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal, melihat serbuan para investor lokal itu sebagai pertanda bahwa mereka semakin pintar. "Kini mereka makin tanggap atas informasi. Pasar modal memang bukan hanya tempat perdagangan saham, tapi tempat perdagangan informasi," ujar Marzuki. Tapi, para investor lokal yang, Senin lalu, menyerbu saham PMA agaknya terlalu mata gelap. Mereka tak lagi memperhitungkan apakah saham-saham itu masih murah atau sudah kemahalan. Harapanmereka, toh investor asing, nantinya, akan membelinya dengan harga lebih mahal. Rupanya, pemerintah juga mengharapkan beleid baru di bidang pasar modal itu akan meningkatkan penerimaan devisa langsung dari para investor asing. Investor asing mulai diizinkan masuk ke pasar modal Indonesia sejak deregulasi 24 Desember 1987. Namun, ketika itu rupanya belum banyak investor yang tertarik. Baru, setelah keluar paket 27 Oktober 1988, yang menghilangkan fasilitas perpajakan atas bunga deposito -- sama seperti yang berlaku di bursa, mulailah investor asing berdatangan. Siapa sebenarnya investor asing yang main di bursa? Mula-mula rupanya mereka datang secara terselubung lewat pialang PT Deemte Arthadharma. Deemte adalah anak perusahaan DMT dari Hong Kong, termasuk divisi internasional dari Dharmala Group, Jakarta. Adalah perusahaan pialang ini yang mulai memborong saham-saham pada Oktober 1988 sehingga akhirnya terjadi boom pada Desember 1988. Belakangan bermunculan lembaga-lembaga keuangan internasional. Yang pertama muncul di BEJ adalah Jardine Fleming dari koloni Inggris di Hong Kong. Jardine adalah lembaga pengelola dana pensiun dari mancanegara. Ia antara lain mempunyai kantor perwakilan di Singapura, Muangthai, Selandia Baru, dan Jepang. Sekitar awal tahun ini, Jardine mendirikan Indonesian Fund, yakni dana yang khusus hcndak ditanamkan di pasar modal Indonesia. Mula-mula terkumpul US$ 15 juta. Maret lalu, Jardine berdemontrasi di BEJ dengan memborong saham dari PT Danareksa. Investasi waktu itu, menurut majalah Asian Finance, mencapai US$ 12 juta (lebih dari Rp 21 milyar). Investasi itu rupanya menguntungkan, sehingga modal yang telah ditanamkan sampai Agustus ini mencapai US$ 25 juta. Jardine rupanya akan betah di Indonesia. Di awal bulan Agustus, Jardine telah mendirikan PT Jardine Fleming Nusantara Finance (JFNF), berpatungan dengan PT Rajawali Wira Bhakti Utama. Rajawali adalah perusahaan patungan kelompok Gajah Tunggal, Ometraco, dan Danaswara -- dewasa ini antara lain mengelola perusahaan televisi RCTI. PT JFNF yang dipimpin Preskom Peter Sondakh dan Presdir Allan H. Smith itu kini sudah beroperasi di lantai III Gedung Dharmala Jakarta. "Kami sudah mendapatkan izin sebagai pialang dan pedagang saham. Tapi, hanya hidup dari situ, tak akan cukup untuk menutup biaya kantor kami," kata Vice President JFNF Philip K. Brewer kepada TEMPO. Itu sebabnya, JFNF tengah meminta izin untuk mendapatkan status sebagai LKBB (lembaga keuangan bukan bank). Dengan demikian, JFNF nantinya akan bisa ikut serta bertindak sebagai penjamin emisi saham atau obligasi. Jardine masuk ke Indonesia rupanya punya tujuan lebih jauh. "Kami ingin meneropong seluruh strategi ekonomi ASEAN," kata seorang pejabat Jardine Fleming di Hong Kong, yang dikutip majalah Asian Finance. Sebab apa? Jardine, ternyata, selain menjadi anggota Bursa Efek Tokyo, juga punya perusahaan konsultan keuangan dan manajemen di Jepang, yakni Jardine Fleming Investment Advisers (JFIA) Ltd. JFIA adalah satu-satunya konsultan asing yang masuk kategori 10 terbaik di Jepang. Perusahaan konsultan itu ternyata sudah dipakai oleh JAIC -- suatu sindikat yang hendak menanamkan US$ 2 milyar di ASEAN (Lihat Bisnis Sepekan). Lembaga keuangan internasional lainnya rupanya akan segera menyusul. Antara lain di sebut-sebut W.I.Car (anak perusahaan Banque Indosuez), James Capel (Hongkong Bank Group), First Pacific (ini perusahaan Liem Sioe Liong di Hong Kong), Royal Trust Asset Management, Baring Securities, Connaught, dan Bankers Trust. Mereka bukan hanya sekedar ingin menjadi pialang dan pedagang saham, tapi juga mendirikan LKBB. W.I. Car, menurut Marzuki Usman sudah mengumpulkan dana yang disebut Malaca Fund sebesar US$ 30 juta. Dana tersebut hendak dipakai untuk saham di Malaysia dan Indonesia. "Mereka, katanya, sudah mendapat premi sampai 17o di sini," tutur Marzuki yang, pekan lalu, datang ke TEMPO untuk berdiskusi mengenai dunia pasar modal dengan para wartawannya. Sayang, dana Malaka itu baru sekitar 250 yang ditanamkan di BEJ. Ini menurut Micky Thio, Presiden Direktur PT Deemte Arthadharma. "Pengalaman kami di luar negeri, lembaga-lembaga keuangan itu lebih cenderung ingin sampai ke taraf Underwriter," kata Micky Thio, Presiden Direktur PT Deemte Arthadarma. PT Jaserah Utama (JU) ternyata juga sudah mempunyai rekan Gartmore Investment dari London. "Mereka sudah meminta kami memutarkan dana sekitar US$ 1 juta. Mereka hanya minta diputarkan dalam saham," kata J.A. Sereh, bekas Presdir PT Danareksa yang kini menjadi bos PT JU. Dengan demikian, bursa efek di Indonesia tampaknya akan tetap likuid alias banjir dengan dana. Ketua Bapepam Marzuki Usman memperkirakan situasi ini akan terus berlangsung sampai 5 tahun. Maksudnya, mungkin, para investor asing yang datang kemari optimistis bahwa iklim investasi di Indonesia masih akan stabil dan membuat mereka betah sampai saat tinggal landas seusai Repelita VI pada 1999. Max Wangkar, Bambang Aji, Sidartha Pratidina (Jakarta), Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum