BOLEH jadi inilah biang keladi maraknya kasus kebakaran belakangan ini. Orang sering hanya mengenal korsleting: hubungan pendek yang memercikkan api. Padahal, yang terjadi barangkali pemakaian kabel listrik bermutu rendah yang tak tahan panas. Dengan bahan tembaga kelas dua dan sarung pembungkus yang rapuh, kabel jadi gampang terbakar. Betul hampir setiap kabel yang beredar di pasaran sudah pasti memakai cap SII (Standar Industri Indonesia). Tapi, seperti diakui seorang produsen yang sudah puluhan tahun bergelut dengan bisnis ini, stempel SII tak selamanya menjamin kabel berada dalam standar mutu baku yang ditetapkan. Justru gelagat munculnya kabel "rombengan" ini agaknya yang membuat Ketua Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia, Kusudiarso Hadinoto, pusing kepala. Kecenderungan ini, katanya, lantaran pasar kabel sudah terjangkit perang tarif. "Mereka gontok- gontokan saling banting harga," kata Hadinoto kepada Bisnis Indonesia, dua pekan lalu. Persoalannya, kata Hadinoto, pasar kabel tegangan menengah ke bawah sudah jenuh. Kebutuhan makin besar, memang. Dengan berbagai proyeknya, dua konsumen terbesar, PT Telkom dan PLN, boleh saja makin rakus melahap jalinan tembaga berisolasi ini. Sebaliknya, makin banyak juga pemain yang berminat ke bisnis ini. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah produsen kabel meningkat dua kali lipat. Kini ada sekitar 30 pabrik yang ikut berebut tender. Kuota yang tadinya sempat disepakati sudah tak dihiraukan lagi. Karena persaingan makin ketat, sering mereka harus jual rugi. "Itu kalau mau mesin tetap muter," kata seorang produsen yang tak mau disebut namanya. Kondisi seperti ini, kata produsen tersebut, sudah sedemikian berat. Ibaratnya, produsen sudah duduk di tepi lubang. "Kalau bisa digusur, tinggal didorong ke dalam," tambahnya. Karena tak mau terperosok, apa boleh buat, ada produsen yang memilih memangkas ongkos produksi dengan mengorbankan kualitas. Caranya dengan membeli kabel kedaluwarsa tak layak pakai, yang biasanya dilelang dengan harga miring. Belitan tembaga yang sudah lama tersimpan di gudang ini dilebur. Dari sinilah dibangun kabel "daur ulang", yang mutunya di bawah bandrol: sekitar 92% sampai 95% dari standar. Tampak luarnya memang meyakinkan, mulus tanpa cacat. Tapi, kata sumber ini, masa pakainya hanya sekitar lima tahun. Padahal, kabel yang dibuat dengan bahan normal bisa tahan 15 tahun. Dengan mutu rendah harga memang dapat dibanting. Sekitar 15% lebih rendah. Bahkan ada yang sampai separuhnya. Kabel NWA 2,5 mm yang dipakai jaringan listrik di perumahan, misalnya, normalnya berharga Rp 300. Tapi yang mutu kedua hanya Rp 150 per meter. Belum jelas seberapa besar peredaran kabel kelas kambing ini. Memang, untuk proyek besar, kata sumber tadi, tidak seorang pun berani menyelundupkan kabel model begini karena pengawasannya super-"streng". Tapi, di luar itu, ada yang mengail kesempatan. Apalagi kalau proyek crash program yang memburu waktu. Sering kabel mutu 80% pun dipasang. "Pokoknya, asal byar, nyala," kata sumber TEMPO tadi. "Walau setelah itu harus membongkar ulang instalasi dan menggantinya dengan kabel bermutu." Contoh pemakaian kabel di bawah bandrol disebut- sebut terjadi pada banyak kawasan industri di Jawa Barat. Baik PT Telkom maupun PLN membantah proyeknya banyak disisipi kabel kelas dua. Tapi, juru bicara PLN, David Tombeng, membenarkan banyak kabel "rongsokan" seperti ini yang dijual di pasaran. Tidak mengherankan bila rekanan kedua perusahaan itu yang mencoba-coba memasukkan kabel dengan mutu kelas dua itu. Apalagi, kalau ketahuan, sanksinya pun tidak berat. "Paling cuma tak boleh ikut tender berikutnya," tambah David Tombeng. Mengapa perusahaan itu tidak dimasukkan ke dalam daftar hitam saja? "Masa main blacklist, bisa mati dong mereka," ujar David Tombeng sambil tertawa.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini